Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Sejarah Mei 1998

Sejarah 19 Mei 1998, Tekanan Lengsernya Soeharto Semakin Kuat, MPR Minta Pak Harto Mengundurkan Diri

Setelah aksi demo besar-besaran yang dilakukan mahasiswa dengan menduduki Gedung MPR/DPR pada 18 Mei 1998, desakan agar Soeharto mundur kian kuat.

Editor: Frandi Piring
Kolase Foto: Maya Vidon/Getty Images/Reuters
Ketua MPR RI Harmoko desat Soeharto mundur dari jabatan Presiden 1998. Pak Harto akhirnya mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. 

Tekanan semakin kuat

Pada hari yang sama, pimpinan DPR bersama dengan pimpinan Fraksi DPR mengadakan rapat selama lima jam.

Rapat pimpinan yang diketuai oleh Ketua MPR/DPR Harmoko mengambil kesimpulan bahwa seluruh fraksi sepakat agar Soeharto mengundurkan diri.

Hal tersebut sebagaimana telah disampaikan pimpinan DPR kepada Soeharto, dan proses itu dilaksanakan secara konstitusional.

Suara-suara yang mengehendaki Soeharto mundur dari jabatannya semakin kencang terdengar pada 19 Mei 1998.

Jenderal Besar (Purn) AH Nasution dalam siaran persnya menegaskan, substansi pernyataan yang disampaikan oleh pimpinan DPR adalah cerminan dari kehendak rakyat yang harus dihormati dan diamankan oleh semua kekuatan bangsa, termasuk ABRI.

Berbagai organisasi juga kompak mengeluarkan desakan agar Soeharto mundur, antara lain, Kelompok Kerja Forum Demokrasi, Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) 66, Gema Madani, dan Karyawan Film dan Televisi (KFT).

Soeharto yang ditinggalkan

Diwartakan Kompas.com, Komite Reformasi dan reshuffle kabinet adalah solusi yang dipersiapkan Soeharto sebagai jawaban atas tuntutan reformasi yang disuarakan masyarakat, termasuk tuntutan pergantian kepemimpinan nasional.

Namun demikian, sejumlah tokoh yang hadir di Istana Merdeka pada 19 Mei 1998 ternyata menolak permintaan Soeharto untuk terlibat dalam pembentukan Komite reformasi.

Penolakan juga datang dari 14 menteri bidang ekonomi, keuangan, dan industri (ekuin) di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Ekuin, Ginanjar Kartasasmita.

Penolakan itu datang dalam bentuk surat yang diterima Soeharto pada 20 Mei 1998, sehari setelah para tokoh masyarakat dan ulama menolak terlibat dalam Komite Reformasi.

Penolakan-penolakan itu membuat Soeharto merasa ditinggalkan. Apalagi, dia merasa menjadi presiden bukan atas keinginan pribadi.

Ini tersirat dalam pidatonya usai bertemu sejumlah tokoh pada 19 Mei 1998.

"Sebelumnya saya sudah mengatakan, apakah benar rakyat Indonesia masih percaya kepada saya, karena saya sudah 77 tahun," tutur Soeharto, dalam buku Detik-detik yang Menentukan (2006) yang ditulis BJ Habibie.

"Rasanya kalau saya meninggalkan begitu saja lantas bisa dikatakan 'tinggal gelanggang colong playu'. Artinya meninggalkan keadaan yang sebenarnya saya harus bertanggung jawab," kata Soeharto.

Dinamika politik yang terjadi hari-hari itu akhirnya membuat Soeharto memutuskan mundur dari presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved