Sejarah Mei 1998
Sejarah 19 Mei 1998, Tekanan Lengsernya Soeharto Semakin Kuat, MPR Minta Pak Harto Mengundurkan Diri
Setelah aksi demo besar-besaran yang dilakukan mahasiswa dengan menduduki Gedung MPR/DPR pada 18 Mei 1998, desakan agar Soeharto mundur kian kuat.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Sejarah Mei 1998, masa di mana rezim Presiden Soeharto segera berakhir.
Pada pertengahan Mei 1998 menjadi hari-hari menjelang kejatuhan kekuasan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia.
Setelah aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa dengan menduduki Gedung MPR/DPR pada 18 Mei 1998, desakan agar Soeharto mundur kian kuat.
Merespons desakan itu, Soeharto mengumumkan rencana untuk membentuk Komite Reformasi, membentuk Kabinet Reformasi, dan secepatnya melaksanakan pemilihan umum.
Rencana itu ia sampaikan saat bertemu dengan sejumlah tokoh nasional pada 19 Mei 1998.
Namun, sejumlah tokoh yang diharapkan Soeharto mau mendampinginya membentuk Komite Reformasi memilih untuk menolak permintaannya.
Soeharto bertemu tokoh nasional
Dikutip dari Kompaspedia, Presiden Soeharto bertemu tokoh masyarakat dan ulama di ruang Jepara, Istana Merdeka, Jakarta pada 19 Mei 1998.
Tokoh-tokoh yang hadir dalam pertemuan itu adalah Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid (Gus Dur), budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun), Direktur Yayasan Paramadina Nurcholish Madjid, dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ali Yafie.
Turut hadir dalam pertemuan itu Malik Fajar dan Sumarsono dari Muhammadiyah, Guru Besar Tata Negara dari Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra, Cholil Baidowi dari Muslimin Indonesia, serta Ahmad Bagdja dan Ma'aruf Amin dari NU.
Dalam jumpa pers, Soeharto mengemukakan akan membentuk Komite Reformasi, membentuk Kabinet Reformasi, dan secepatnya melaksanakan pemilihan umum. Ia juga menegaskan tidak mau dicalonkan kembali menjadi presiden.
Pernyataan tersebut langsung membawa dampak positif.
Harga-harga saham di Bursa Efek Jakarta dan nilai tukar rupiah yang sempat jatuh sampai Rp 16.000 per dollar AS langsung terangkat berkat pernyataan itu.
Beberapa kepala negara dan menteri luar negeri negara sahabat juga menyambut positif pernyataan Soeharto.
Mereka mengapresiasi niatan sang Smiling General yang akan menyelenggarakan pemilu secepatnya, sehingga krisis politik di Indonesia cepat teratasi.
Tekanan semakin kuat
Pada hari yang sama, pimpinan DPR bersama dengan pimpinan Fraksi DPR mengadakan rapat selama lima jam.
Rapat pimpinan yang diketuai oleh Ketua MPR/DPR Harmoko mengambil kesimpulan bahwa seluruh fraksi sepakat agar Soeharto mengundurkan diri.
Hal tersebut sebagaimana telah disampaikan pimpinan DPR kepada Soeharto, dan proses itu dilaksanakan secara konstitusional.
Suara-suara yang mengehendaki Soeharto mundur dari jabatannya semakin kencang terdengar pada 19 Mei 1998.
Jenderal Besar (Purn) AH Nasution dalam siaran persnya menegaskan, substansi pernyataan yang disampaikan oleh pimpinan DPR adalah cerminan dari kehendak rakyat yang harus dihormati dan diamankan oleh semua kekuatan bangsa, termasuk ABRI.
Berbagai organisasi juga kompak mengeluarkan desakan agar Soeharto mundur, antara lain, Kelompok Kerja Forum Demokrasi, Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) 66, Gema Madani, dan Karyawan Film dan Televisi (KFT).
Soeharto yang ditinggalkan
Diwartakan Kompas.com, Komite Reformasi dan reshuffle kabinet adalah solusi yang dipersiapkan Soeharto sebagai jawaban atas tuntutan reformasi yang disuarakan masyarakat, termasuk tuntutan pergantian kepemimpinan nasional.
Namun demikian, sejumlah tokoh yang hadir di Istana Merdeka pada 19 Mei 1998 ternyata menolak permintaan Soeharto untuk terlibat dalam pembentukan Komite reformasi.
Penolakan juga datang dari 14 menteri bidang ekonomi, keuangan, dan industri (ekuin) di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Ekuin, Ginanjar Kartasasmita.
Penolakan itu datang dalam bentuk surat yang diterima Soeharto pada 20 Mei 1998, sehari setelah para tokoh masyarakat dan ulama menolak terlibat dalam Komite Reformasi.
Penolakan-penolakan itu membuat Soeharto merasa ditinggalkan. Apalagi, dia merasa menjadi presiden bukan atas keinginan pribadi.
Ini tersirat dalam pidatonya usai bertemu sejumlah tokoh pada 19 Mei 1998.
"Sebelumnya saya sudah mengatakan, apakah benar rakyat Indonesia masih percaya kepada saya, karena saya sudah 77 tahun," tutur Soeharto, dalam buku Detik-detik yang Menentukan (2006) yang ditulis BJ Habibie.
"Rasanya kalau saya meninggalkan begitu saja lantas bisa dikatakan 'tinggal gelanggang colong playu'. Artinya meninggalkan keadaan yang sebenarnya saya harus bertanggung jawab," kata Soeharto.
Dinamika politik yang terjadi hari-hari itu akhirnya membuat Soeharto memutuskan mundur dari presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com