Masa Jabatan Presiden
Ingat Wiranto? Mantan Menteri Dulu Pernah Ditusuk, Kini Jelaskan soal Jabatan Presiden 3 Periode
Masih ingat Wiranto mantan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan HAM yang ditusuk.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Masih ingat Wiranto mantan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan HAM yang ditusuk.
Diketahui kini Wiranto saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Wiranto pun menanggapi soal masa jabatan presiden 3 periode.
Baca juga: Pemkot Kotamobagu Berikan Bantuan kepada Warga yang Terdampak Banjir di Motongkad Boltim
Baca juga: Pengakuan Veronika Mandang, Ibu dari Bayi Kembar 4 di Tompaso Baru Minsel
Baca juga: KABAR GEMBIRA, Kartu Prakerja Gelombang 26 Sudah Dibuka, Ini Syarat dan Cara Daftar
Foto : Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Wiranto. (istimewa)
Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Wiranto menyebut wacana masa jabatan presiden 3 periode maupun penundaan pemilu 2024 tak mungkin terjadi.
Terlebih, untuk mewujudkan wacana-wacana itu harus mengubah konstitusi yang notabene sangat sulit.
Hal tersebut disampaikan Wiranto setelah menemui mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara di Kantor Wantimpres, Jakarta, Jumat, (8/4/2022).
"Mungkinkah jabatan 3 periode ataupun penundaan pemilu ataupun perpanjangan masa jabtan Presiden, dapat dilaksanakan dalam konteks UUD 1945, karena ketiga-tiganya akan menyangkut perubahan pasal-pasal UUD 1945."
"Mungkinkah perubahan ini terjadi ? Jawabannya tidak mungkin," kata Wiranto dalam konferensi persnya yang disiarkan YouTube Kompas TV.
Lanjut Wiranto, ada 4 alasan wacana jabatan presiden 3 periode saat ini tidak mungkin terjadi.
Alasan pertama, untuk melakukan amandemen UUD 1945 sulit dilakukan karena persyaratan yang berat.
Menurut Wiranto, melihat situasi saat ini, dari 9 partai politik yang duduk di MPR, hanya ada tiga partai politik yang setuju pemilu 2024 ditunda.
Sementara enam lainnya tidak setuju sehingga tidak mungkin wacana jabatan presiden 3 periode diwujudkan.
"Kita berpikir rasional, apakah itu (amandemen) mungkin? jawabannya tidak mungkin karena MPR itu kan ada DPR dan DPD. DPR sendiri dari 9 partai politik, hanya 3 parpol yang setuju untuk mengubah."
"Enam pratai politik tidak setuju. Dibawa ke MPR, ditambah DPD tidak setuju. Jadi mana mungkin terjadi perubahan UUD 1945 mengenai jabatan presiden 3 periode," jelas Wiranto.
Alasan kedua, kata Wiranto, sampai saat ini tak ada kegiatan di DPR hingga pemerintah sendiri yang mengisyaratkan persiapan penundaan pemilu 2024.
Kemudian, alasan yang ketiga, lanjut Wiranto, pemerintah saat ini sedang sibuk melakukan pemulihan ekonomi di tengah situasi global yang tak menentu.
Dan juga pemerintah masih fokus dalam penanganan pandemi Covid-19.
"Pemerintah sedang sibuk urusan melakukan penyehatan ekonomi dalam situasi global yang tidak menguntungkan dan juga menyelesaikan mitigasi Covid-19."
"Tidak ada sama sekali kehendak membahas perpnajangan 3 periode," lanjut Wiranto.
Lanjut Wiranto, alasan keempat wacana tersebut tak mungkin terjadi karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah berkali-kali menolak.
Misalnya, saat awal isu presiden 3 periode muncul, Jokowi menyebut pihak yang memunculkan wacana sama saja menampar wajahnya.
Hingga pada akhirnya, Jokowi menegur para menterinya untuk berhenti bersuara soal wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden.
"Yang kedua, beliau mengatakan tidak tertarik. Yang ketiga pada saat wacana penundaan pemilu, beliau juga komentar akan patuh taat pada konstitusi."
"Bahkan yang terakhir, hai para menteri, sudahlah, cukuplah jangan bicara lagi soal penundaan pemilu, tiga periode," jelas dia menirukan Jokowi.
Sehingga dari keempat alasan itu, menurut Wiranto, sangat tidak mungkin wacana-wacan itu terlaksana.
"Artinya dengan keempat argumentasi ini sudah jelas wacana itu akan berhenti di wacana, tidak mungkin dapat diimplementasikan, diwujudkan karena 4 alasan itu," kata Wiranto.
Wiranto pun heran mengapa wacana tersebut masih diperdebatkan padahal tidak mungkin dilaksanakan.
Ia menekankan masih banyak pekerjaan pemerintah yang harus dikerjakan, ditimbang membahas wacana tersebut.
"Mengapa kita masih meributkan soal, mempermasalahkan, memperdebatkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Ini kan sia-sia," tandasnya.
Foto : Senjata tajam Pisau yang diduga dipakai pelaku untuk tikam Wiranto. (Istimewa)
Wiranto Dulu Pernah Ditusuk
Mantan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan HAM Wiranto pernah mengalami penyerangan menggunakan senjata tajam, pada Kamis (10/10/2019) siang, di wilayah Menes, Pandeglang, Banten.
Ia diserang oleh 2 orang pelaku masing-masing berinisial SA dan FA menggunakan senjata tajam yang terkonfirmasi sebagai kunai, sejenis pisau kecil dengan ujung lancip dan tajam di kedua sisinya.
Akibat serangan itu, sang jenderal itu mengalami luka tusuk yang cukup serius hingga membuatnya harus dirujuk ke RS Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Jakarta, setelah mendapatkan perawatan darurat di RS Berkah, Pandeglang.
Namun, menanggapi kabar penyerangan terhadap pejabat negara yang sudah eksis sejak jaman kepemimpinan Presiden Soeharto ini, masyarakat banyak yang tidak bersimpati, bahkan menyebutnya sebagai kejadian yang direkayasa.
Salah satunya disampaikan oleh akun @Nazar81019243 di Twitter.
“Enggak percaya. Di situ ada TNI dan orang-orang dekat Pak Wiranto, kok kayak tidak ada reaksi terhadap pelaku,” tulisnya.
Komentar lain juga menyoroti soal Wiranto yang dikabarkan kehilangan darah sebanyak 3,5 liter.
“Mungkin Pak Wiranto termasuk manusia super. Enggak kebayang kehilangan 3,5 liter darah masih hidup. Sungguh manusia super, super ngibul,” kata @FahmiFaqih_ID.
Menurut Psikolog Sosial Hening Widyastuti, kesinisan masyarakat akan musibah yang dialami oleh Wiranto disebabkan oleh jabatan politiknya sebagai Menko Polhukam yang banyak dikaitkan dengan banyaknya kekacauan di tanah air.
Mulai dari demo mahasiswa, kericuhan di Wamena, dan lain sebagainya.
“Pak Wiranto menjabat sebagai Menko Polhukam, ada kaitan secara langsung atau tidak langsung, yang bertanggung jawab dengan situasi kondisi keamanan saat ini yang tidak stabil di Indonesia," ujar Hening, Jumat (11/10/2019).
Sementara menurut Guru Besar Psikologi Universitas Gadjah Mada Koentjoro kesinisan ini disebut sebagai agresivitas yang terpendam.
“Jadi begitu ada kabar, itu meledak sebagai suatu kegembiraan. Ini semuanya adalah dampak dari yang kemarin-kemarin, pemilu kemarin. Ini hubungan dari, kalau istilah saya, terjadi echo chambering yang kemudian membuat bias kognitif," kata Koentjoro, Jumat (11/10/2019).
Hal ini membuat orang-orang kehilangan simpatinya dan justru bersyukur atas kejadian buruk yang menimpa seseorang yang tidak mereka sukai.
Menanggapi hal itu, kepolisian mengeluarkan sanggahan dan menolak jika peristiwa yang dikabarkan melukai 3 orang itu disebut sebagai rekayasa.
“Tidak mungkin, tidak mungkin ya ada pihak-pihak yang rekayasa. Jaringannya (kelompok terorisme) cukup banyak,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo.
Sebagian di kompas.com
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com