Perdagangan Hewan Liar di Sulut
Ancaman Zoonosis Dalam Perdagangan Hewan Liar di Sulawesi Utara
Risiko ini selain karena keanekaragaman hayati, hal ini dipicu oleh kebiasaan masyarakat mengonsumsi daging hewan liar
Penulis: Finneke Wolajan | Editor: Finneke Wolajan
Anang Setiawan Achmadi, staf dari Pusat Penelitian Biologi LIPI dikutip dari laman LIPI mengatakan banyak faktor yang dapat memicu penyakit hinggap pada hewan, bahkan satwa liar yang bebas di alam sekalipun, apalagi dalam kondisi terkurung. Penyakit dapat menyerang terutama pada kondisi satwa yang lemah, stres, lingkungan yang kotor, serta perawatan satwa yang kurang baik.
Pada beberapa kasus, penyakit zoonosis ditularkan melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi dan pada kasus lain dapat dijumpai penularan melalui air minum yang mengandung telur dari parasit yang zoonosis, biasanya pada kasus yang berhubungan dengan cacing pita (taeniasis).
Cara penularan yang lain dapat melalui vektor insekta (serangga), contohnya melalui tungau (flea) atau kutu (tick) yang termakan oleh hewan yang terinfeksi kemudian termakan oleh manusia. Pada prosesnya, serangga tersebut mentransfer organisme infeksius.
Penyakit zoonosis tersebut sering berakibat fatal, baik bagi hewan atau satwa itu maupun bagi manusia. Namun, sering tidak diketahui bahaya yang mengancam apabila terserang penyakit karena terkadang kurang awas dan tidak tahu.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPDT) Laboratorium Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Utara, Dokter Hewan Hanna Tioho mengatakan di awal pandemic Covid-19 tahun 2020 tepatnya Maret, pihaknya turun ke pasar Tomohon dan Langowan untuk memeriksa hewan liar yang dijual, terutama kelelawar yang disebut sumber Covid-19. Cara memeriksanya yakni mengambil sampel hewan dan memeriksanya di laboratorium. Menurutnya, saat itu tak didapati ada kelelawar yang positif Covid-19.
Dalam upaya menanggulangi zoonosis, Hanna Tioho menyebut pemerintah dalam hal ini provinsi dan pemerintah daerah rutin mengedukasi para pedagang maupun pembeli di pasar tradisional untuk tetap menjaga menjaga kebersihan.
“Petugas di daerah rajin turun ke pasar untuk edukasi bahaya zoonosis dan bagaimana mereka bisa menjaga diri untuk tetap bersih,” ujarnya. Edukasi yang dilakukan yakni mendatangi langsung pasar-pasar yang menjual daging ekstrem dan langsung mengedukasi, hingga pertemuan khusus dengan para pedagang.
Hanna Tioho mengakui butuh waktu bagi masyarakat untuk berhenti dari kebiasaan mengonsumsi hewan liar maupun domestik. Sebab kebiasaan ini telah berlangsung turun-temurun. “Memang tak mudah, tapi paling tidak masyarakat terus diedukasi,” ujarnya.
Hingga terjadi perubahan dalam tradisi konsumsi daging hewan, konsumen seperti Johny Moningka akan terus membeli daging kelelawar dan babi hutan di pasar lokal, seperti yang telah mereka dan keluarganya lakukan secara turun-temurun. (tribunmanado.co.id/finneke wolajan)
Liputan ini didukung oleh Internews’ Earth Journalism Network