Apa Itu
Trending di Twitter, Apa Itu Klitih yang Terjadi di Yogyakarta?
Ternyata tangan korban disayat benda tajam hingga melukai lengannya. Dia mengatakan bahwa aksi klitih ini terjadi di daerah underpass Jalan Kaliurang,
Sosiolog kriminalitas dari Universitas Gadjah Mada, Soeprapto mengatakan terdapat dua faktor yang mendorong tindakan kriminalitas jalanan yang disebut klitih, yakni faktor internal dan eksternal.
Soeprapto menjelaskan bahwa faktor internal adalah dorongan yang muncul murni dari diri si pelaku.
Sementara, faktor eksternal berkaitan dengan struktur organisasi yang ada di dalam lingkar pelaku kekerasan.
Dia mengelompokkan lingkar organisasi ke dalam tiga struktur, yakni inti, inti plus, dan inti plus-plus.
Struktur inti terdiri dari pelajar itu sendiri. Struktur inti plus melibatkan alumni yang pernah terlibat dalam lingkat kekerasan itu. Sementara inti plus-plus berkaitan dengan preman dan pelaku kriminal lainnya.
Menurut dia, aksi klitih juga bisa muncul ketika sebuah kelompok melakukan rekrutmen anggota baru atau sebagai ajang eksistensi diri.
"Harus mengetahui motivasi dari perilaku klitih itu apa. Karana itu tadi yang saya bilang, mereka ingin membuktikan diri, berarti ada faktor dari luar," ungkap Soeprapto kepada Kompas.com, Selasa (28/12/2021).
Maka, penting untuk mengungkap sindikat atau pergerakan kriminalitas di kalangan remaja ini dari sumbernya.
Penyimpangan makna klitih
Makna klitih sendiri, menurut Soeprapto, mengalami pergeseran makna. Klitih berasal dari kata berulang klitah-klitih yang artinya kurang lebih jalan bolak-balik agak kebingungan.
Sejak Soeprapto masih menempuh pendidikan sekolah menengah, sekitar tahun 1973, dia sering melihat perkelahian antarpelajar di Yogyakarta.
"Kalau dulunya ini kan lebih kepada upaya membela temannya yang memiliki masalah dengan orang lain, seperti dari daerah atau sekolah berbeda. Zaman saya sekolah dulu juga ada, tetapi hanya sebatas perkelahian antarpelajar," kisah dia.
Akibat perkelahian antarpelajar yang tidak kunjung usai, pemerintah setempat sekitar 2008 dan 2009, sempat menegaskan aturan bahwa setiap pelajar yang terlibat perkelahian maka akan dikembalikan kepada orangtua.
"Akhirnya beberapa pelajar yang kemudian sadar, tidak lagi terlibat. Tapi anak-anak yang masih dalam lingkaran kekerasan, mencari atau melampiaskan ke jalanan. Inilah kemudian terjadi penyimpangan makna klitih," ujar Soeprapto.
Geng-geng pelajar ini kemudian mencari musuh secara acak, sehingga belakangan motifnya menjadi lebih beragam.