Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Natal dan Moderasi Beragama

Penulis adalah Dosen IAIN Manado dan Pengurus Majelis Ulama Indonesia atau MUI Sulawesi Utara

Tribun Manado
Muhammad Tahir Alibe, Dosen IAIN Manado dan Anggota Komisi Fatwa MUI Sulawesi Utara 

Oleh: Muhammad Tahir Alibe
Dosen IAIN Manado - Pengurus MUI Sulawesi Utara

JELANG Natal pergantian tahun baru masehi yakni pada Desember biasanya banyak acara dilakukan umat Kristiani.

Seiring hal itu kerap pula muncul pro kontra tentang ucapan selamat Natal dan perayaan pergantian tahun baru melalui media sosial.

Apa hukum mengucapkan selamat hari Natal dan merayakan pergantian tahun baru Masehi bagi umat Muslim?

Dikutiplah berbagai pendapat ulama untuk mendukung pilihannya masing-masing.

Sebagian ada yang menyebut haram sebab sama halnya membenarkan bahwa Yesus itu Tuhan.

Sebagian lainnya berpendapat boleh, selama tidak diyakini bahwa Yesus adalah Tuhan.

Setiap pendapat tentu saja harus dihargai selama itu memiliki dasar yang kuat.

Perdebatan soal boleh dan tidaknya mengucapkan selamat hari Natal, sebenarnya adalah perdebatan rutin di penghujung akhir tahun masehi.

Terlepas dari pro kontra yang ada, ada baiknya kita melihat persoalan ini dengan konsep moderasi beragama.

Kata Habib Quraish Shihab pakar tafsir Indonesia yang disegani dunia pernah menyebutkan bahwa Islam itu sendiri adalah moderat.

Di antara hal yang menyebabkan manusia tidak moderat dalam beragama karena disebabkan kurangnya ilmu pengetahuan.

Kata Imam Ali kw manusia cenderung menolak sesuatu yang tidak diketahuinya.

Realitas sosial menunjukkan bahwa manusia itu berbeda-beda, warna kulit, suku, postur tubuh, suara, wajah dan lain sebagainya berbeda-beda.

Kesadaran akan keragaman manusia sehingga terbangunlah sikap saling menghargai, hormat menghormati satu dengan lainnya.

Memaksakan satu bentuk bukan menjadi solusi tetapi akan menjadi problem sosial.

Pilihan keyakinan dan agama pun menunjukkan realitas yang beragam. Oleh karena itu, sikap saling menghargai pun menjadi pilihan yang tepat.

Baca juga: Steven Kandouw: Sepak Bola Sulut akan Maju di Tangan Joune Ganda

Baca juga: CATAT INI! Aturan Lengkap Perjalanan Libur Nataru untuk Transportasi Darat

Khairil Anwar menyebutkan beberapa prinsip apabila ingin mewujudkan moderasi beragama, yaitu:

Prinsip pertama yaitu al-Insaniyah. Al-Insaniyah adalah prinsip kemanusiaan. Maksudnya untuk mewujudkan moderasi beragama maka lihatlah pada sisi kemanusiaannya bukan pada keyakinannya.

Jika tidak bisa menerima perbedaan maka fokuslah pada persamaannya.

Agama, suku, warna kulit, postur tubuh dan lain sebagainya bisa jadi berbeda.

Oleh karena itu, agar tidak terlalu memperhatikan perbedaan maka fokuslah pada persamaannya.

Agama, suku, postur tubuh, warna kulit boleh berbeda, tetapi mereka semua adalah manusia sama dengan kita yaitu manusia.

Ada nilai universal yang disepakati bersama oleh semua orang, apapun agama, suku, serta warna kulitnya yaitu nilai-nilai kebaikan. Bahkan ateis pun mengakui nilai tersebut.

Prinsip kedua yaitu al-ukhuwah. Al-Ukhuwah adalah membangun rasa persaudaraan di antara keragaman yang ada. Bhineka tungga ika.

Sebuah negara, rumah tangga, komunitas atau apapun namanya bila rasa persaudaraan tidak dipelihara dengan baik, maka tidak akan bertahan lama.

Persaudaraan dibangun oleh karena adanya kesadaran bahwa kita semua adalah manusia.

Dalam masyarakat yang plural yang dikedepankan adalah persamaannya bukan perbedaannya.

Bangsa kita dengan masyarakat plural hingga saat ini berhasil menjaga, memelihara keragaman yang ada sehingga tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu sektarian.

Prinsip Ketiga yaitu al-adalah. Al-Adalah adalah prinsip keadilan. Secara sederhana adil adalah menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya.

Konsep keadilan adalah penting untuk menegakkan moderasi beragama.

Keadilan ditegakkan bukan karena berbeda agama, suka, atau status, tetapi karena adanya pelanggaran, kezhaliman.

Keadilan tidak mengenal istilah mayoritas atau minoritas.

Setiap pelanggaran harus diproses secara hukum. Bila konsep ini ditegakkan maka tidak akan melahirkan rasa cemburu, curiga terhadap yang lain.

Nabi saw sendiri dikabarkan pernah menyebutkan bahwa bila Fatimah (anaknya) mencuri akan ia potong tangannya.

Jadi mewujudkan keadilan tidak mengenal ikatan keluarga, agama atau kesamaan suku.

Lalu bagaimana dengan ucapan selamat hari Natal dalam konsep moderasi beragama? Yang meyakini haram maka jangan ucapkan. Yang membolehkan, maka silakan ucapkan.

Saya sendiri, termasuk sependapat yang membolehkan mengucapkan selamat Natal. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved