Nasional
Kasus 3 Kakak Beradik Tidak Naik Kelas 3 Tahun Berturut-turut Hanya karena Agama, Orangtua Mengadu
Kasus 3 orang anak, murid di SDN Kota Tarakan tidak naik kelas 3 tahun berturut-turut. Orangtua murid mengadu. KPAI singgung Kemendikbud.
Atas keputusan sekolah, menurut Retno, orangtua siswa melakukan perlawanan ke jalur hukum dan mereka selalu menang di Pengadilan Tata Usaha Negara.
"Namun pihak sekolah selalu punya cara setiap tahun untuk tidak menaikan kelas, ketiga anak tersebut.
Keputusan ke jalur hukum ditempuh orantua korban lantaran jalur dialog dan mediasi menemui jalur buntu," katanya.
Secara psikologi, kata Retno, anak sudah sangat terpukul.
"Mulai kehilangan semangat belajar, merasa malu dengan teman-teman sebaya karena sudah tertinggal kelas selama 3 tahun berturut-turut,
bukan karena mereka tidak pandai akademik, namun karena perlakuan diskriminasi atas keyakinan yang mereka anut.
Padahal anak hanya mengikuti keyakinan orangtuanya," papar Retno.
“Ketiga anak sudah menyatakan dalam zoom meeting dengan KPAI dan Itjen Kemendikbud Ristek, bahwa mereka tidak mau melanjutkan sekolah jika mereka tidak naik kelas lagi untuk keempat kalinya,” ungkap Retno yang juga menjadi penanggungjawab Tim Pemantauan Kasus Intoleransi di Tarakan atas penugasan Itjen Kemendikbud Ristek.
Tinggal Kelas Kali Pertama (2018-2019) : Dianggap Absen tanpa keterangan
Retno menjelaskan ketiga anak tidak naik kelas karena dianggap tidak hadir tanpa alasan selama lebih dari 3 bulan.
Padahal, ketiga anak tersebut tidak hadir karena dikeluarkan dari sekolah dan baru dapat kembali setelah penetapan PTUN Samarinda.
Pada 15 Desember 2018, keputusan sekolah secara resmi mengeluarkan ketiga anak dari sekolah.
"Sejak ini, ketiga anak tidak diperbolehkan ikut kegiatan belajar mengajar. Kemudian pada 16 April 2019, melalui penetapan PTUN Samarinda (putusan sela) ketiga anak dikembalikan ke sekolah, hingga putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Pada Kenaikan kelas tahun ajaran 2018-2019, anak-anak tinggal kelas," katanya.
Lalu, pada 8 Agustus 2019, kata Retno, putusan PTUN Samarinda membatalkan keputusan sekolah, karena terbukti melanggar hak-hak anak atas pendidikan dan kebebasan melaksanakan keyakinannya.
Mengeluarkan anak-anak dari sekolah, menghukum mereka, menganggap pelaksanaan keyakinannya sebagai pelanggaran hukum adalah tidak sejalan dengan perlindungan konstitusi atas keyakinan agama dan ibadah. Juga merupakan bentuk intoleransi di lingkungan pendidikan.