Tajuk Tamu
Dialog Sains dan Agama dari Inspirasi Dixon dan Snow: “Teolog sebagai Penjaga Evolusi Manusia”
Dalam perdebatan yang begitu panjang antara agama dan sains, lahirlah “evolusi” yang tidak bisa dihindari manusia di era manapun.
Maraknya kasus mengenai pembebasan lahan untuk dijadikan bangunan pencakar langit telah membuat saya bertanya. Apakah kekuatan uang dan evolusi telah mengalahkan kekuatan alam, kemanusiaan, dan ke-Tuhanan?
Hal tersebut bisa kita sebut sebagai kesalahan akibat ego manusia. Walaupun kesalahan ini sudah merusak peradaban, namun kesalahan ini dianggap tidak merusak manusia, asalkan tujuan evolusi tersebut dilakukan untuk kebaikan generasi selanjutnya.
Alasan positif digunakan untuk menetralkan tindakan negatif. Kemudian hal sederhana tersebut telah menjadi “nafas” manusia.
Mari merenung lebih dalam lagi. Sigmund Freud adalah salah satu peneliti dalam ilmu fisiologi dan psikologi.
Freud mengemukakan bahwa apapun yang dilakukan manusia tidak ada benar atau salah, karena ditunjang oleh ‘pembenaran rasional’ yang ada dalam pemikiran manusia. Jadi, sekalipun suatu sebab sudah terlihat akibat negatifnya, manusia akan mencari alasan pembenaran sebagai defence mechanism.
Mari buat jadi sederhana. Manusia butuh “aturan” untuk menjadi parameter dalam segala hal. Suatu hukum yang tidak hanya bertolak dari pemikiran dan pendapat manusia sendiri. Suatu aturan yang menekankan pada kemanusiaan. Jawabannya adalah agama. Manusia butuh agama.
Agama dapat menjelaskan dan menjawab permasalahan kehidupan sesuai dengan norma kemanusiaan. Jika agama dihilangkan dari aspek kehidupan manusia, akan hilang keseimbangan dan keharmonisan, pada kemanusiaan maupun alam.
Dalam agama, aturan yang berlaku merupakan perwujudan dari sosok yang kita puji yaitu Tuhan, konsep ke-Tuhanan disini mengandung makna rasa hormat, menghargai, kebaikan, mengasihi, membantu, dan hal baik lainnya yang sesuai dengan norma manusia.
Dalam agama, gambaran Tuhan itu sebagai petani yang menanam benih pengetahuan dan para manusia di alam semesta ini memetik buahnya.
Salah satu hal pokok dari perumpamaan ini adalah benih tidak akan menjadi tanaman dan berbuah, kecuali ditaburkan pada tanah yang tepat, diberi sinar matahari dan air yang cukup, dan dipanen dengan cara yang baik dan benar.
Manusia membutuhkan benih dan aturan bagaimana menjadi petani yang baik. Tujuan benih Ke-Tuhanan ini nantinya akan menjadi parameter hidup manusia.
Teolog diambil dari bahasa Yunani yaitu “Theos” yang berarti “Elohim/Tuhan/Bapa” dan “Logia” yang berarti “ucapan/ajakan/pendidikan”. Teologi, merupakan ilmu bahasa Tuhan, ilmu yang berbicara mengenai Tuhan, atau ilmu tentang agama. Manusia membutuhkan aturan untuk dapat mengendalikan sains karena sains adalah pengetahuan tanpa batas.
Jika tidak terkendali, maka dampak buruknya bukan hanya pada tingkat individu namun tingkat global dan generasional. Teologi adalah satu jawaban positif yang mampu menekan evolusi negatif manusia.
Thomas Dixon dalam bukunya “Science and Religion: A Very Short Introduction”, berpendapat bahwa sains dan agama tidak perlu berseberangan. Bahkan, keduanya dapat berjalan Bersama dan saling melengkapi.
Namun, seringkali terdapat faktor eksternal dan kekuatan politis yang menyebabkan keduanya enggan untuk menggunakan pendekatan “dialog”. Sehingga dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, banyak terjadi konflik sains dan agama, misalnya pada kasus yang terkenal Galileo Galilei dan teori evolusi Charles Darwin.
Filsuf lain yang mendukung agama dan sains saling berkaitan dan tak bisa dipisahkan yaitu Charles Percy Snow. Beliau memberikan ceramah di Universitas Cambridge yang kemudian dibukukan dengan judul “The Two Cultures” yang membahas mengenai posisi agama dan sains yang saling membutuhkan. C.P.Snow mengatakan bahwa sains dan agama mempunyai budaya dan jalan yang saling bertolak belakang namun terikat satu dengan yang lain.