Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Anies Baswedan

Temuan BPK di APBD Pemprov DKI Era Anies Baswedan, Bantuan Salah Sasaran hingga PNS Meninggal Digaji

Pemprov DKI telah menyalurkan dana program Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus kepada 1.146 siswa yang sudah lulus sekolah.

Editor: Aldi Ponge
Tangkap Layar Instagram dkijakarta
Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta ternyata salah menyalurkan bantuan kepada masyarakat tidak berhak.

Bantuan berasal dari APBD DKI 2021 tersebut mencapai miliaran rupiah.

Berikut daftar temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)" 

1. Dana KJP Plus disalurkan ke siswa yang sudah lulus

Menurut temuan BPK, Pemprov DKI telah menyalurkan dana program Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus kepada 1.146 siswa yang sudah lulus sekolah.

Padahal, target dari program tersebut adalah siswa yang masih bersekolah.

Total anggaran yang disalurkan kepada 1.146 siswa tersebut adalah sebesar Rp 2,3 miliar.

"Hasil pemeriksaan data daftar penerima dan besaran dana pada SK KJPP tahap I ditemukan sebanyak 1.146 siswa tingkat akhir di sekolah (Kelas 6, 8, dan 12) yang masih tercatat pada SK KJPP tahap II," tulis BPK.

Padahal tahap II penyaluran KJPP dimulai ketika tahun ajaran baru, yang artinya siswa tingkat akhir sudah lulus atau pindah ke jenjang berikutnya.

BPK menyoroti data siswa pada SKK KJPP Tahap I dicatat kembali sebagai penerima KJPP tahap kedua untuk tahun ajaran baru.

"Atas ketidaktepatan sasaran ini, maka dana KJPP senilai Rp 2.321.280.000 seharusnya ditarik dan disetorkan ke Kas Daerah karena tidak sesuai kondisi kelas siswa," tulis BPK.

2. Penyaluran gaji kepada pegawai yang sudah wafat dan pensiun

Selain temuan di atas, BPK juga menemukan penyaluran dana yang tidak tepat sasaran.

Pasalnya, Pemprov DKI masih membayar gaji dan tunjangan kinerja kepada pegawai yang telah wafat atau pensiun pada tahun 2020.

Total jumlah dana yang dibayarkan adalah Rp 862,7 juta.

Berikut adalah rincian kelebihan pembayaran gaji dan tunjangan oleh Pemprov DKI Jakarta berdasarkan temuan BPK:

a. Pegawai pensiun satu orang di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan. Orang itu sudah pensiun per 1 Januari 2020 tetapi masih menerima gaji senilai Rp 6,334 juta.

b. Pegawai pensiun atas permintaan sendiri atau APS tetapi masih menerima gaji sebanyak 12 orang.

Mereka terbagi dalam enam OPD (Organisasi Perangkat Daerah) yaitu Dinas Bina Marga, Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (DPHK), Dinas Kesehatan, Dinas Ketahanan Pangan Kelautan dan Pertanian (DKPKP), Dinas Pendidikan dan Sekretariat Kota Administrasi Jakarta Timur.

Gaji yang diberikan kepada pegawai yang telah pensiun tersebut seluruhnya mencapai Rp 154,9 juta.

c. Pegawai wafat yang masih menerima gaji/TKD/TPP sebanyak 57 orang dan berasal dari tujuh OPD. Gaji dan TKD/TPP yang diberikan kepada pegawai yang telah wafat tersebut seluruhnya senilai Rp 352,9 juta.

"Hasil pemeriksaan lebih lanjut diketahui bahwa sampai dengan 31 Desember 2020, atas kelebihan pembayaran gaji dan TKD/TPP pegawai wafat tersebut telah dilakukan pengembalian senilai Rp 17,09 juta dan telah dilakukan koreksi atas nilai belanja pegawai," tulis laporan BPK tersebut.

d. Pegawai yang melaksanakan tugas belajar tetapi masih menerima TKD/TPP sebanyak 31 orang dari delapan OPD. Nilai dibayarkan seluruhnya sebesar Rp 344,6 juta.

"Hasil pemeriksaan lebih lanjut diketahui bahwa sampai dengan 31 Desember 2020, telah dilakukan pengembalian senilai Rp 54,8 juta dan telah dilakukan koreksi atas nilai belanja pegawai," tulis laporan BPK.

e. Pegawai yang dikenai hukuman disiplin berupa teguran tertulis seharusnya dilakukan pemotongan TKD/TPP sebesar 20 persen selama dua bulan. Namun terdapat dua pegawai yang pada bulan keduanya menerima TKD/TPP penuh. Hal itu menyebabkan kelebihan pembayaran TKD/TPP senilai Rp 3,9 juta.

"Permasalahan tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran gaji dan TKD/TPP senilai Rp862,7 juta atas 103 orang pegawai dari 19 OPD," tulis laporan BPK.

3. Pemborosan Pengadaan Alat Rapid Test oleh Pemprov DKI Senilai Rp 1,1 Miliar

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan pemborosan anggaran pengadaan rapid test Covid-19 oleh Pemprov DKI Jakarta senilai Rp 1,1 miliar.

Catatan laporan pemeriksaan tersebut tertuang dalam Buku II Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemda DKI Jakarta Tahun 2020.

"Pemborosan atas pengadaan rapid tes Covid-19 TA (Tahun Anggaran) 2020 Senilai Rp 1.190.908.000," tulis sub judul laporan BPK tersebut.

BPK menyebut, Dinas Kesehatan DKI Jakarta membuat pengadaan rapid tes dua kali untuk merek alat tes yang sama dan dalam waktu yang berdekatan.

Namun kejanggalan terjadi karena harga rapid test dengan merek yang sama itu berbeda.

Pengadaan rapid tes jenis IgG/IgM pertama dilaksanakan oleh PT NPN dengan surat penarawaran penyedia jasa tertanggal 18 Mei 2020 dengan nilai kontrak Rp 9.875.000.000 tidak termasuk PPN dengan jenis kontrak harga satuan.

Pemprov DKI Jakarta melakukan pengadaan sebanyak 50.000 pieces dengan harga per unit Rp 197.500.

Kemudian pengadaan kedua rapid tes Covid-19 jenis IgG/IgM dalam satu kemasan isi 25 tes merk yang sama yaitu merk Cungene dilaksanakan oleh PT yang berbeda yaitu PT TKM.

Surat penawaran dari penyedia jasa tertanggal 29 Mei dengan nilai kontrak Rp 9.090.090.091. Pemprov DKI kemudian mengadakan 40.000 pieces dengan harga barang per unit senilai Rp 227.272.

Ketimpangan harga ini kemudian diperiksa oleh BPK. PT NPN yang sebelumnya memberikan harga lebih rendah tidak hanya ditawarkan kontrak sebanyak 50.000 pieces.

 Padahal PT NPN sanggup jika ditawarkan tambahan pengadaan sebanyak 40.000 pieces dengan harga yang sama.

"Bila dilihat dari proses penunjukan di atas, maka seharusnya PPK (pejabat pemberi kebijakan) dapat mengutamakan dan memilih penyedia jasa sebelumnya yang mengadakan produk sejenis dan stok tersedia namun dengan harga yang lebih murah," tulis BPK.

BPK kemudian memberikan selisih harga yang dinilai sebagai pemborosan. Jika Pemprov DKI membeli di tempat yang lebih murah, maka ada selisih harga senilai Rp 1.190.908.000.

BPK kemudian merekomendasikan agar PPK lebih cermat dalam meneliti data pengadaan barang yang sama.

"BPK merekomendasikan Gubernur agar memerintahkan Kepala Dinas Kesehatan untuk menginstruksikan PPK supaya lebih cermat dalam meneliti data-data pengadaan atas barang yang sama dari penyediaan lain sebelumnya untuk dipakai sebagai acuan dalam penunjukan langsung," tulis BPK.

4. Pemborosan Rp 5,8 Miliar Proyek Pengadaan Masker N95 di Pemprov DKI Jakarta

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan pemborosan anggaran pengadaan masker N95 yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Catatan laporan pemeriksaan tersebut tertuang dalam Buku II Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemda DKI Jakarta Tahun 2020.

"Terdapat pemborosan atas pengadaan respirator (masker) N95 TA (Tahun Anggaran 2020 senilai Rp 5.850.000.000," tulis BPK.

Pemborosan terlihat dari dua kali pengadaan masker jenis N95 dengan waktu yang berbeda dan harga yang berbeda.

Pengadaan pertama dilakukan Pemprov DKI Jakarta melalui PT ALK dengan surat penawaran pada 9 November 2020.

Nilai kontrak saat itu sebesar Rp 17,5 miliar tidak termasuk PPN dengan jenis kontrak harga satuan. Pemprov DKI mendapat 195.000 pieces dengan harga satuan barang senilai Rp 90.000.

Pengadaan kedua masker dengan jenis N95 dilakukan dengan PT IDS dengan merk yang sama yaitu merek Respoke.

Dinas Kesehatan DKI Jakarta tiga kali menunjuk PT IDS sebagai penyedia masker N95 yaitu pada 5 Agustus 2020 dengan jumlah 39.000 pieces dengan harga satuan Rp 70.000.

Kemudian pada 28 September 2020 sebanyak 30.000 pieces dengan harga satuan Rp 60.000, terakhir pada 6 Oktober 2020 sebanyak 20.000 pieces dengan harga satuan 60.000.

Setelah BPK memeriksa, PT IDS yang memberikan harga lebih murah hanya ditawari Pemprov DKI 20.000 untuk penawaran terakhir. Padahal PT IDS menyanggupi jika ditawarkan lebih banyak dari itu.

 Namun PPK dan Kasie Alat Kesehatan Dinas KEsehatan DKI Jakarta memiliki pertimbangan lain kemudian menunjuk PT ALK yang memberikan tawaran harga lebih mahal.

"Permasalahan di atas mengakibatkan adanya pemborosan terhadap keuangan daerah senilai Rp 5.850.000.000," kata BPK.

BPK kemudian merekomendasikan agar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meminta Kepala Dinas Kesehatan untuk menginstruksikan anak buahnya lebih cermat dalam mengelola keuangan daerah secara ekonomis, yaitu mendapat barang dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang rendah.

TAUTAN AWAL: Temuan BPK: DKI Jakarta Bayar Gaji dan Tunjangan Kinerja Pegawai yang Sudah Wafat dan Pensiun  dan BPK Sebut Pemprov DKI Salurkan Rp 3,2 Miliar Dana kepada Warga yang Tidak Berhak

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved