Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Sosok Tokoh

Sosok SAE Nababan, Pendeta yang Dipanggil Pulang Sang Pencipta, Terkenal Kritis Terhadap Orde Baru

Pendeta Sae Nababan adalah salah satu pendeta yang cukup kritis terhadap Orde Baru, terkait persoalan kemanusiaan, hukum dan keadilan

Editor: Rhendi Umar
Kolasetribunmanado/Foto: Istimewa
Pendeta SAE Nababan 

Ia mempersunting Alida Lientje Tobing, perempuan yang awal dikenalnya sebagai guru sekolah minggu.

“Saat itu saya memang tidak memberikan perhatian khusus kepadanya, karena pembawaannya yang rendah hati,” kenang SAE dalam bukunya Selagi Masih Siang.

SAE Nababan dan Istri
SAE Nababan dan Istri (Isitmewa)

Mereka menikah pada 8 Januari 1964, lalu segera mengikuti tugas penempatan SAE sebagai sekretaris pemuda EACC di Manila.

Alida setia melengkapi peran SAE baik di EACC, di DGI/PGI dan sebagai pimpinan HKBP. Bahkan di era krisis HKBP 1992-1998, ia juga tetap tabah mendukung jalan perjuangan suaminya.

Pendeta Sae Nababan adalah salah satu pendeta yang cukup kritis terhadap Orde Baru, terkait persoalan kemanusiaan, hukum dan keadilan.

Hal ini yang banyak membuatnya harus berhadap-hadapan dengan kepentingan penguasa. Bahkan kerap menjadi target orde baru.

Bahkan saat itu ada intervensi rezim Orba pada krisis HKBP 1992-1998, dimana ia menjadi pimpinan sinode gereja tersebut.

Hal ini lah yang membuatnya dekat dengan dengan tokoh progresif masa itu seperti K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri dan Amien Rais.

Itu pula yang membuatnya terlibat dalam memfasilitas pertemuan yang mengkonsolidasikan kekuatan sosial-politik jelang reformasi.

Namun S.A.E. – demikian namanya biasa disingkat, adalah juga teolog yang terlibat dalam banyak gerakan ekumenis dunia.

Ide dan pemikirannya tentang bagaimana gereja harusnya bersikap di tengah masyarakat yang majemuk, serta seimbang dalam menyuarakan keadilan dan perdamaian.

Demikian pula peran dan usulan yang ia ajukan terkait pentingnya kesetaraan dan dialog yang terbuka antar umat beragama di Indonesia.

Serta peran yang bisa dikerjakan lembaga keagamaan bagi perkembangan demokrasi dan kemanusiaan.

Refleksinya segar dan tajam serta menyorot hal-hal esensial terkait penghayatan iman Kristiani di tengah zaman yang terus berubah.

Disiplin yang diterapkan di keluarganya  sejak kecil, studi teologia yang digelutinya di STT Jakarta hingga Universitas Heidelberg Jerman juga menempanya menjadi pemikir terkemuka.

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved