Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Isu Toleransi

Jabar Juara Pelanggaran Kebebasan Beragama, 14 Tahun Berturut-turut, 42 Kasus Oleh Pemerintah Daerah

Halili Hasan, mengatakan, posisi pertama tempat terjadinya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan itu ditempati Jawa Barat selama 14 tahun.

Editor: Rizali Posumah
National Today
Ilustrasi berbeda-beda tetapi satu jua. 

Dalam Pilkada DKI pada 2016, kata dia, banyak aktor-aktornya politik yang dipasok dari Jawa Barat ke DKI Jakarta untuk mempertegas politisasi identitas.

Politisasi identitas keagamaan tersebut, kata dia, kemudian dijadikan instrumen untuk mendapat insentif elektoral.

"Dalam Pilkada serentak misalnya peristiwa politisasi agama itu paling banyak di samping Sumatera Utara. Jadi hanya di dua daerah itu yang paling kuat dan tidak ada di daerah lain," kata dia.

Faktor ketiga, kata dia, adalah faktor sejarah. Menurutnya ekspresi formalisme keagamaan, ke-Islaman terkait NII dan Kartosuwiryo menjadikan Jawa Barat sebagai pusatnya. Namun demikian, kata dia, faktor historis bukan menjadi faktor dominan.

"Dan narasi itu hampir dikatakan hari ini tidak berkembang di daerah lain," kata dia.

Faktor keempat yakni konservatisme ke-Islaman.

"Jadi kelompok-kelompok puritan itu banyak. Di Ciamis, Banjar, Cianjur, itu luar biasa. Kasus-masus Ahmadiyah itu kan kayak di Kuningan itu kan di Jawa Barat. Termasuk di Kabupaten Bekasi itu kan juga termasuk. Jadi problematik memang Jawa Barat," kata dia.

Secara keseluruhan dari sisi waktu, peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan mengalami fluktuasi di setiap bulannya sepanjang tahun 2020 dengan angka peristiwa yang tertinggi dan drastis terjadi pada bulan Februari 2020.

Pada bulan Januari (21), Februari (32), Maret (9), April (12), Mei (22), Juni (10), Juli (12), Agustus (13), September (16), Oktober (15), November (10), dan Desember (8).

Kemudian mengacu pada detail peristiwa yang dicatat, tren pelarangan perayaan Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day) di sejumlah daerah menjadi pemicu meningkatnya intoleransi.

Adapun dari 422 tindakan yang terjadi, kata dia, 238 di antaranya dilakukan oleh aktor negara dan 184 di antaranya dilakukan oleh aktor non-negara.

SETARA Institute juga mencatat ada 11 jenis tindakan tertinggi yang dilakukan oleh aktor negara.

Sebelas tindakan tersebut di antaranya diskriminasi (71), penangkapan (21), dan pentersangkaan penodaan agama (20), pelarangan kegiatan keagamaan (16), condoning (15), penyidikan atas tuduhan penodaan agama (13), tuntutan hukum atas penodaan agama (12), penahanan atas tuduhan penodaan agama (12), pelarangan usaha (10), vonis dakwaan penodaan agama (9), dan dakwaan penodaan agama (9).

Sementara tujuh aktor negara pelaku pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan tertinggi selama tahun 2020 terdiri atas Pemerintah Daerah (42), Kepolisian (42), Kejaksaan (14), Satpol PP (13), Pengadilan Negeri (9), TNI (9), Pemerintah Desa (9).

Dari 184 tindakan yang dilakukan oleh aktor non-negara terdapat empat jenis tindakan pelanggaran utama berupa intoleransi (62), pelaporan penodaan agama (32), penolakan mendirikan tempat ibadah (17) dan pelarangan aktivitas ibadah (8). Sedangkan aktor non-negara yang melakukan tindakan pelanggaran terbanyak antara lain warga (67), ormas keagamaan (42), individu (26), ormas (7), dan institusi pendidikan (3).

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved