Porifl
Profil Gus Dur, Sang Guru Bangsa, Bapak Tionghoa Indonesia, Tokoh Pluralisme yang Anti Diskriminasi
Gus Dur mengembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, pada Rabu (30/12/2009), pukul 18.45 WIB.
Sebagaimana yang diterbitkan di Kompas, tanggal 21 Januari 2020, Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur menyudahi satu permasalah diskriminasi pada etnis Tionghoa hingga akhirnya mereka bisa merayakan Imlek secara bebas dan terbuka.
Keppres tersebut mematahkan aturan dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.
Di dalam peraturan lama, kelompok Tionghoa di Indonesia tidak diperkenankan melakukan tradisi atau kegiatan peribadatan secara mencolok dan hanya diperbolehkan di lingkungan keluarga.
Alasannya, saat itu Presiden Soeharto menganggap aktivitas warga Tionghoa menghambat proses asimilasi dengan penduduk pribumi.
Kala itu, etnis Tionghoa juga diminta untuk mengganti identitas menjadi nama Indonesia.
Ketika resmi menjabat sebagai Presiden, Gus Dur banyak tidak sependapat dengan pemikiran Soeharto.
Etnis Tionghoa merupakan bagian dari bangsa Indonesia karena itu harus mendapatkan hak-hak yang setara. Termasuk dalam menjalankan ibadah keagamaan.
Gus Dur juga sempat menganggap Muslim Tionghoa boleh merayakan Tahun Baru Imlek sehingga tidak dianggap sebagai tindakan musyrik.
Bagi dia, perayaan ini adalah bagian dari tradisi budaya, bukan agama. Dia kemudian menjadikan hari raya Imlek sebagai hari libur fluktuatif. Artinya hanya yang merayakan yang diperbolehkan libur.
Baru pada 2003, tepatnya pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, Imlek dijadikan hari libur nasional.
Selain pemikirannya, Gus Dur juga sempat mengaku sebagai keturunan Tionghoa.
"Saya ini China tulen sebenarnya, tetapi ya sudah nyampurlah dengan Arab, India," ungkap Gus Dur, seperti diberitakan Kompas.com pada 30 Januari 2008 silam.
Ucapan Gus Dur itu memang bukan yang pertama kalinya. Tetapi kala itu memang cukup membuat terperangah. Berdasarkan cerita Gus Dur, dia merupakan keturunan dari Putri Cempa yang menjadi selir dengan raja di Indonesia.
Dari situ, Putri Cempa memiliki dua anak, yakni Tan Eng Hwan dan Tan A Hok. Tan Eng Hwan kelak dikenal sebagai Raden Patah, sementara Tan A Hok adalah seorang mantan jenderal yang sempat menjadi duta besar di China.
Dari garis Raden Patah itulah kemudian Gus Dur mengaku mendapatkan keturunan Tionghoa-nya. Pengakuan Gus Dur itu juga dikuatkan oleh tokoh NU lainnya, Said Aqil Siradj, pada tahun 1998 seperti yang ditulis dalam buku Gus Dur Bapak Tionghoa Indonesia.
Said Aqil bercerita, Tan Kim Han memiliki anak bernama Raden Rachmat Sunan Ampel. Salah satu keturunannya adalah KH Hasyim As'ari yang selanjutnya memiliki anak bernama KH Wahid Hasyim. Wahid Hasyim pun memiliki anak bernama Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
"Jadi, Gus Dur itu Tionghoa, maka matanya sipit," ujar Said sambil tersenyum. "Dengan demikian, tidak ada istilah pro dan nonpro serta Muslim dan non-Muslim," ungkap Said Aqil waktu itu.
Tidak hanya keturunan Tionghoa, Gus Dur juga mendapat gelar 'Bapak Tionghoa Indonesia' pada 10 Maret 2004 silam dari kelenteng Tay Kek Sie. Gelar itu bukan didasarkan pada keturunan Tionghoa yang diklaim Gus Dur, melaikan gelar didapat karena kebijakan dan pemikiran-pemikirannya yang plural.
Saat penobatan, dia hadir dengan menggunakan baju cheongsam, meski harus duduk di kursi roda. Selepas kepergian Gus Dur pada 30 Desember 2009, makam ulama NU ini masih didatangi warga Tionhoa yang ingin berdoa. Bahkan foto mendiang Gus Dur masih terpampang sejumlah kelenteng untuk mengingat jasa-jasanya.
Penghargaan
Selama hidupnya, Gus Dur telah menerima banyak penghargaan. Berikut beberapa di antaranya:
- Bintang Tanda Jasa Kelas 1, Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan dari Pemerintah Mesir
- Ramon Magsaysay, Filipina (1993)
- Pin Penghargaan Keluarga Berencana dari PKBI (1994)
- Bintang Mahaputera Utama (1998)
- Doktor Honoris Causa Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)
- Doktor Honoris Causa Bidang Hukum dari Universitas Thammasat Anant Anantakul, Thailand (2000)
- Doktor Honoris Causa Bidang Perdamaian dari Soka University, Jepang (2002)
- Global Tolerance Award dari Friends of the United Nations, New York (2003)
- World Peace Prize Award dari World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan (2003)
- Presiden World Headquarters on Non-Violence Peace Movement (2003)
- Global Tolerance Award dari Friends of the United Nations, New York, AS (2003)
- Suardi Tasrif Award dari Aliansi Jurnalis Independen (2006)
- Penghargaan dari Dewan Adat Papua (2006)
- Penghargaan dari Simon Wiethemtal Center, Amerika Serikat (2008)
- Penghargaan dari Mebal Valor, Amerika Serikat (2008)
- Penghargaan dan kehormatan dari Temple University, Philadelphia, Amerika Serikat, yang memakai namnya untuk
- penghargaan terhadap studi dan pengkajian kerukunan antarumat beragama, Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study (2008).
Baca juga: Bupati Roy Roring Serahkan Bantuan Pada Korban Bencana Angin Putting Beliung di Desa Karondoran
Baca juga: Bupati Roy Roring Serahkan Bantuan Pada Korban Bencana Angin Putting Beliung di Desa Karondoran
Baca juga: Ramalan Zodiak Besok Kamis 31 Desember 2020, Scorpio Waktu Keluarga, Capricorn Bebaskan Imajinasi
SUMBER: Kompas.com dengan judul "SBY: Gus Dur Bapak Pluralisme Indonesia"
"Mengenang Gus Dur, Ulama yang Mengaku Berdarah Tionghoa"
"Hari Ini dalam Sejarah: Indonesia Berduka, Gus Dur Berpulang pada 30 Desember 2009"