Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Aksi Tolak UU Cipta Kerja Memanas: Mahasiswa Dekati Gedung Cengkih

Gelombang unjuk rasa menolak Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja berlangsung di sejumlah daerah.

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie Tombeg
tribunmanado.co.id/Isvara Savitri
Foto massa aksi demonstrasi tolak Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja yang terdiri dari mahasiswa meminta masuk ke Gedung DPRD untuk menyuarakan aspirasi mereka. 

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO – Gelombang unjuk rasa menolak Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja berlangsung di sejumlah daerah termasuk Sulawesi Utara. Massa mahasiswa yang diperkirakan hampir seribuan dari berbagai perguruan tinggi di Bumi Nyiur Melambai melakukan demonstrasi ke Gedung Cengkih, DPRD Sulut, Kamis (8/10/2020).

Kemenlu AS Keluarkan Visa untuk Prabowo

Unjuk rasa berjalan lancar meski sempat diwarnai aksi bakar ban dan insiden dorong mendorong antara massa dengan aparat kepolisian dari Polres Manado maupun Polda Sulut.

Demo diawali dari depan Taman Makam Pahlawan (TMP), titik temu, dilanjutkan long march ke Gedung Cengkih di Kelurahan Kairagi Manado.
Kondisi terpantau kondusif. Massa mulai berunjuk rasa di depan TMP dengan membawa spanduk bertuliskan tolak ‘Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja’. Akibat demo ini jalanan terpantau macet, namun sedikit demi sedikit bisa diurai oleh pihak kepolisian.

Aksi kali ini merupakan aksi gabungan mahasiswa dari berbagai universitas dan organisasi mahasiswa serta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado. Sesuai arahan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), kemarin, mahasiswa di seluruh Indonesia diharapkan turun ke jalan mengikuti aksi tolak Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja.

Massa meminta masuk ke Gedung DPRD, namun tidak dikabulkan pihak kepolisian dan DPRD Provinsi Sulut. "Kami hanya minta 10 orang yang masuk ke dalam gedung untuk menyampaikan aspirasi, tidak boleh semua," ujar anggota DPRD Sulut melalui pengeras suara.

Massa menolak, menyebabkan kedua pihak bentrok. Polisi dan massa terlibat aksi saling dorong sebanyak dua kali. Tujuh mahasiswa sempat ditahan polisi.

Setelah melalui diskusi yang alot, akhirnya polisi melepaskan ketujuh mahasiswa dan sesuai janji, massa langsung mundur. Massa justru mengecoh polisi dengan mundur ke pertigaan SPBU Kairagi dan membakar ban di tengah jalan. Polisi langsung menghampiri dan membubarkan massa. Pukul sekira 15.30 Wita massa bubar dan situasi sudah lebih kondusif.

SIMAK Janji Manis UU Cipta Kerja untuk Para Buruh, Hak Cuti Haid, Waktu Ibadah hingga Upah Minimum

Polisi bubarkan aksi bakar ban
Polisi bubarkan aksi bakar ban (Tribun Manado / Fistel Mukuan)

Kapolresta Manado Kombes Pol Elvianus Laoly mengatakan, ada beberapa mahasiswa yang dinilai menjadi provokator lalu diinterogasi namun segera dibebaskan dan disuruh pulang. "Sudah kami padamkan (api) dan kami bubarkan, situasi berangsur-angsur membaik. Tidak ada korban jiwa dan material juga," katanya.

Ia menambahkan 650 personel yang dikerahkan baik dari Polresta Manado maupun Polda Sulut untuk mengawal demonstran yang berjumlah 700 orang.

Setelah demo bubar, Wakil Ketua DPRD Billy Lombok dan Anggota DPRD dari PSI Melly Pangemanan keluar untuk melihat kondisi. "Demo ini merupakan hal positif yang dijamin oleh perundangan-undangan, kami sangat menghargai hal itu sebagai bagian dari negara demokrasi," ujar Billy.

Billy menyampaikan terima kasih kepada mahasiswa karena sudah mau menyuarakan suara rakyat yang termarjinalkan. Ia pun berterima kasih kepada aparat kepolisian karena sudah melaksanakan tugas dengan baik.
Politisi Partai Demokrat ini mengaku pihaknya sudah menerima rekomendasi dari mahasiswa dan akan segera ditindaklanjuti.

Satriano Pangkey dari LBH Manado mengaku belum sempat menyatakan aspirasi. "Belum sempat ada poin-poin yang disampaikan karena gesekan terjadi pas massa aksi inginkan masuk dalam gedung DPRD," ujar pria yang akrab disapa Yano ini.

Yano pun membeberkan nama-nama mahasiswa yang tadi sempat ditahan pihak kepolisian. Alpianus Tempongbuka, Rafly Setiawan, Junaidi Mamuntu, Wahyu Muhammad, Ramadhan Labolu, Fajar Mantu dan Zulfikar dari PMII.

1.000 Pengunjuk Rasa Ditangkap: MK Siap Memutus Secara Jernih UU Cipta Kerja

Kabid Humas Polda Sulut Kombes Pol Jules Abraham Abast menjelaskan, ada sekitar 180 polwan ikut mengamankan aksi. "Para polwan diturunkan dalam aksi unjuk rasa untuk menjadi tim negosiator mengantisipasi aksi unjuk rasa," ujar Jules.

Meski hujan deras, para Polwan yang berada di bawah pimpinan Pakor Polwan Polda Sulut AKBP Nonie Sengkey tetap siaga di depan para demonstran. "Diturunkannya polwan menghadapi massa aksi unjuk rasa, agar para pendemo tidak bertindak anarkis," tambah Jules.

Arus lalu lintas sempat padat merayap. Khusus jalur ke Airmadidi, Bitung sebelumnya memang ditutup tidak bisa dilalui. Terlihat di lokasi, ada Tim Maleo Polda Sulut, Kapolresta Manado yang turun langsung mengamankan pendemo.

Pengamat hukum Rodrygo Elias mengatakan, perlu dilihat substansi pengesahan UU itu seperti apa. "Substansinya harus dilihat apakah sesuai dengan UU Dasar 1945 atau tidak, jadi kalau dari segi formalitas pengesahan UU Cipta Kerja itu prosedurnya sudah benar, baik dari persiapannya, hingga rapat paripurna hingga diketuk menjadi UU itu sah-sah saja secara formal," kata Elias.

Namun, secara material substansi atau muatan pasalnya yang tidak sesuai dengan UU Dasar maka itu dapat digunakan upaya hukum melalui uji materi. "Kalau memang nantinya ditemui ada aspirasi masyarakat yang belum terakomodir, pemerintah harus fair, bahwa UU ini harus ditinjau kembali,” kata Dosen Fakultas Hukum Unsrat ini. "Untuk itu, aspirasi dari masyarakat terkait UU Cipta Kerja perlu ditanggapi pemerintah dengan membuka sarana diskusi dan sosialisasi untuk duduk bersama mendengarkan aspirasi," ujarnya. 

Pengamat politik Yossi Kairupan
Pengamat politik Yossi Kairupan (Istimewa/Internet)

Josef Kairupan
Pengamat Politik dan Kebijakan Publik

Pemerintah-DPR Harus Bijaksana

Setiap kebijakan dibuat berdasarkan urgensinya masing-masing. Sehingga tak menutup kemungkinan UU Cipta Kerja ini dibuat karena mempunyai urgensi yang berskala luas.

Entah itu urgensi publik, urgensi kelompok atau urgensi politis. Banyaknya sorotan bernada negatif terhadap pengesahan UU Cipta Kerja ini, setidaknya menarik perhatian publik. Mulai dari input, proses dan output kebijakan ini.

Ada beberapa catatan yang perlu digarisbawahi. Apakah UU ini telah ditetapkan dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020? Apalagi mengingat di tengah bangsa Indonesia sedang berjuang melawan pandemi Covid-19, telah menimbulkan resistensi yang berakibat akan dilanggarnya protokol kesehatan.

Proses pembuatan kebijakan publik harus melalui tahapan dan proses yang tidak singkat. Langkah yang paling awal adalah proses perumusan kebijakan, apa yang terjadi pada fase ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik pada masa yang akan datang.

Perumusan kebijakan publik yang baik adalah perumusan yang berorientasi pada implementasi dan evaluasi. Sebab sering kali para pengambil kebijakan beranggapan bahwa perumusan kebijakan publik yang baik adalah sebuah landasan konseptual belaka yang sarat dengan pesan ideal dan normatif, namun tidak populer.

Namun ketika terjadi penolakan terhadap suatu kebijakan publik, hal ini merupakan suatu hal yang wajar, karena setiap kebijakan yang dibuat pada dasarnya mengakomodir kepentingan yang skalanya lebih luas dan meminimalisir gesekan yang berimbas pada gelombang protes.

Namun pada kenyataannya UU Cipta Kerja ini telah menimbulkan resistensi yang besar hampir terjadi di seluruh daerah Indonesia, hal ini dipicu karena adanya proses yang diduga tidak sesuai aturan, dimana dalam internal legislatif tidak mengikuti prosedur mekanisme pembentukan UU dalam tata tertib DPR. Sehingga regulasi pembentukan peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, keputusan Badan Legislasi (Baleg) membentuk dan menyerahkan pembahasan RUU ini ke Panja telah melanggar sejumlah prosedur formal legislasi.

Dalam agenda raker pertama DPR RI seharusnya menyusun penjadwalan dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) tentang Rancangan UU Cipta Kerja. Tetapi yang terjadi justru pimpinan raker langsung membentuk Panja, hal ini tentu saja tidak sejalan dengan Tata Tertib (Tatib) DPR-RI khususnya pasal 151 ayat (1), pasal 154 ayat (1), dan pasal 156 ayat (1), disamping itu menutup transparansi dan partisipasi publik dalam proses pembentukan RUU Cipta Kerja.

Hal ini jelas terbukti bahwa ada beberapa fraksi yang menginginkan dilaksanakannya rapat dengar pendapat umum untuk mendapatkan masukan terhadap RUU yang sedang dibahas. Serta ada pula fraksi yang menolak pembahasan RUU Cipta Kerja dalam situasi darurat bencana nasional Covid-19, tanpa Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari fraksi, raker seharusnya belum bisa masuk ke agenda pembahasan berikutnya.

Pelaksanaan rapat dengar pendapat umum (RDPU) adalah bentuk pelaksanaan dari partisipasi masyarakat yang merupakan perintah langsung dari Pasal 96 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011. Pasal tersebut menyebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Selain itu, Pasal 96 ayat (4) UU 12/2011 juga telah mengatur bahwa setiap RUU harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Sehingga hal ini mengindikasikan menutup transparansi dan partisipasi publik. "Saat ini reaksi yang begitu keras menolak disahkannya UU Cipta Kerja ini setidaknya telah menimbulkan keresahan bagi publik, dan kaum pekerja pada khususnya. Perlu adanya respect dari eksekutif dan legislatif untuk dapat meninjau kembali UU Cipta Kerja ini.
Pimpinan DPR-RI sekiranya dapat lebih arif dan bijaksana merespons tanggapan publik, bisa saja dengan melakukan koreksi atas kekeliruan prosedur dan cacat substansi pada RUU Cipta Kerja dengan mengembalikan RUU ini kepada Presiden.

Bahkan juga dapat memberikan teguran kepada Pimpinan Baleg yang dengan sengaja mempercepat proses pembahasan tingkat satu RUU Cipta Kerja ini, padahal RUU ini mendapatkan penolakan dari publik, baik dari aspek substansi maupun proses pembentukannya. 

Sangat disayangkan jika kebijakan UU Cipta Kerja ini justru mengakomodir kepentingan politis dari kaum elite, bukan mengakomodir kepentingan nasional. Hal ini justru akan menimbulkan keresahan dan gejolak dari kaum pekerja di Indonesia, dengan kekuatan mereka 126,51 juta orang (berdasarkan data Agustus 2019) atau 47,25 persen dari jumlah penduduk. (ara/fis/mjr/hem)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved