Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Aksi Tolak UU Cipta Kerja Memanas: Mahasiswa Dekati Gedung Cengkih

Gelombang unjuk rasa menolak Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja berlangsung di sejumlah daerah.

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie Tombeg
tribunmanado.co.id/Isvara Savitri
Foto massa aksi demonstrasi tolak Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja yang terdiri dari mahasiswa meminta masuk ke Gedung DPRD untuk menyuarakan aspirasi mereka. 

Arus lalu lintas sempat padat merayap. Khusus jalur ke Airmadidi, Bitung sebelumnya memang ditutup tidak bisa dilalui. Terlihat di lokasi, ada Tim Maleo Polda Sulut, Kapolresta Manado yang turun langsung mengamankan pendemo.

Pengamat hukum Rodrygo Elias mengatakan, perlu dilihat substansi pengesahan UU itu seperti apa. "Substansinya harus dilihat apakah sesuai dengan UU Dasar 1945 atau tidak, jadi kalau dari segi formalitas pengesahan UU Cipta Kerja itu prosedurnya sudah benar, baik dari persiapannya, hingga rapat paripurna hingga diketuk menjadi UU itu sah-sah saja secara formal," kata Elias.

Namun, secara material substansi atau muatan pasalnya yang tidak sesuai dengan UU Dasar maka itu dapat digunakan upaya hukum melalui uji materi. "Kalau memang nantinya ditemui ada aspirasi masyarakat yang belum terakomodir, pemerintah harus fair, bahwa UU ini harus ditinjau kembali,” kata Dosen Fakultas Hukum Unsrat ini. "Untuk itu, aspirasi dari masyarakat terkait UU Cipta Kerja perlu ditanggapi pemerintah dengan membuka sarana diskusi dan sosialisasi untuk duduk bersama mendengarkan aspirasi," ujarnya. 

Pengamat politik Yossi Kairupan
Pengamat politik Yossi Kairupan (Istimewa/Internet)

Josef Kairupan
Pengamat Politik dan Kebijakan Publik

Pemerintah-DPR Harus Bijaksana

Setiap kebijakan dibuat berdasarkan urgensinya masing-masing. Sehingga tak menutup kemungkinan UU Cipta Kerja ini dibuat karena mempunyai urgensi yang berskala luas.

Entah itu urgensi publik, urgensi kelompok atau urgensi politis. Banyaknya sorotan bernada negatif terhadap pengesahan UU Cipta Kerja ini, setidaknya menarik perhatian publik. Mulai dari input, proses dan output kebijakan ini.

Ada beberapa catatan yang perlu digarisbawahi. Apakah UU ini telah ditetapkan dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020? Apalagi mengingat di tengah bangsa Indonesia sedang berjuang melawan pandemi Covid-19, telah menimbulkan resistensi yang berakibat akan dilanggarnya protokol kesehatan.

Proses pembuatan kebijakan publik harus melalui tahapan dan proses yang tidak singkat. Langkah yang paling awal adalah proses perumusan kebijakan, apa yang terjadi pada fase ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik pada masa yang akan datang.

Perumusan kebijakan publik yang baik adalah perumusan yang berorientasi pada implementasi dan evaluasi. Sebab sering kali para pengambil kebijakan beranggapan bahwa perumusan kebijakan publik yang baik adalah sebuah landasan konseptual belaka yang sarat dengan pesan ideal dan normatif, namun tidak populer.

Namun ketika terjadi penolakan terhadap suatu kebijakan publik, hal ini merupakan suatu hal yang wajar, karena setiap kebijakan yang dibuat pada dasarnya mengakomodir kepentingan yang skalanya lebih luas dan meminimalisir gesekan yang berimbas pada gelombang protes.

Namun pada kenyataannya UU Cipta Kerja ini telah menimbulkan resistensi yang besar hampir terjadi di seluruh daerah Indonesia, hal ini dipicu karena adanya proses yang diduga tidak sesuai aturan, dimana dalam internal legislatif tidak mengikuti prosedur mekanisme pembentukan UU dalam tata tertib DPR. Sehingga regulasi pembentukan peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, keputusan Badan Legislasi (Baleg) membentuk dan menyerahkan pembahasan RUU ini ke Panja telah melanggar sejumlah prosedur formal legislasi.

Dalam agenda raker pertama DPR RI seharusnya menyusun penjadwalan dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) tentang Rancangan UU Cipta Kerja. Tetapi yang terjadi justru pimpinan raker langsung membentuk Panja, hal ini tentu saja tidak sejalan dengan Tata Tertib (Tatib) DPR-RI khususnya pasal 151 ayat (1), pasal 154 ayat (1), dan pasal 156 ayat (1), disamping itu menutup transparansi dan partisipasi publik dalam proses pembentukan RUU Cipta Kerja.

Hal ini jelas terbukti bahwa ada beberapa fraksi yang menginginkan dilaksanakannya rapat dengar pendapat umum untuk mendapatkan masukan terhadap RUU yang sedang dibahas. Serta ada pula fraksi yang menolak pembahasan RUU Cipta Kerja dalam situasi darurat bencana nasional Covid-19, tanpa Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari fraksi, raker seharusnya belum bisa masuk ke agenda pembahasan berikutnya.

Pelaksanaan rapat dengar pendapat umum (RDPU) adalah bentuk pelaksanaan dari partisipasi masyarakat yang merupakan perintah langsung dari Pasal 96 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011. Pasal tersebut menyebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved