Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

UU Cipta Kerja

8 Poin UU Cipta Kerja yang Jadi Sorotan, Dinilai Berpotensi Mengancam Hak-hak Buruh, Apa Saja?

Delapan poin itu ditemukan berdasarkan hasil kajian FBLP setelah UU Cipta Kerja disahkan dalam Rapat Paripurna di DPR, Senin (5/10/2020).

Editor:
Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)
Ribuan masa aksi yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama elemen serikat buruh lainnya melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan pemberhentian hubungan kerja (PHK) di Komplek Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa (25/8/2020). Aksi tersebut bukanlah menolak pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja namun menolak pengesahan draft RUU Cipta Kerja yang dikirim oleh pemerintah kepada DPR. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Belakangan ini UU Cipta Kerja disahkan dalam Rapat Paripurna di DPR menjadi sorotan.

Diketahui, ada delapan poin yang jadi sorotan dalam UU Cipta Kerja yang disahkan tersebut.

Dikabarkan, sebelumnya Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) menemukan delapan poin dalam Bab Ketenagakerjaan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang dinilai berpotensi mengancam hak-hak buruh.

Delapan poin itu ditemukan berdasarkan hasil kajian FBLP setelah UU Cipta Kerja disahkan dalam Rapat Paripurna di DPR, Senin (5/10/2020).

"Setelah membaca undang-undang nir-partisipasi tersebut, kami menemukan setidaknya delapan bentuk serangan terhadap hak-hak buruh yang dilegitimasi secara hukum," ujar Ketua Umum FBLP Jumisih dalam keterangannya kepada Kompas.com, Selasa (6/10/2020).

Gelombang penolakan terhadap omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja membesar seiring dengan pembahasan yang terus dilakukan DPR.
Gelombang penolakan terhadap omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja membesar seiring dengan pembahasan yang terus dilakukan DPR. (Tangkapan layar youtube)

Delapan poin yang mendapat sorotan dalam UU Cipta Kerja, yakni:

1. Masifnya kerja kontrak

Dalam Pasal 59 ayat 1 huruf b disebutkan bahwa pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Pergantian batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya "tiga tahun" sebagai salah satu kriteria perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi "tidak terlalu lama" bisa menyebabkan pengusaha leluasa menafsirkan frasa tersebut.

Berdasarkan Pasal 59 ayat 4, pengaturan mengenai perpanjangan PKWT dialihkan untuk diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).

Sementara itu, pelanggaran penerapan kerja kontrak selama ini cenderung tidak pernah diusut secara serius oleh pemerintah.

Dengan demikian, PP yang akan dibentuk ke depan sangat berpotensi memperburuk jaminan kepastian kerja.

2. Outsourcing pada semua jenis pekerjaan

Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, praktik outsourcing hanya dibatasi pada jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan produksi.

Batasan ini kemudian dihapuskan oleh UU Cipta Kerja. Padahal, praktik kerja outsourcing selama ini hanya menguntungkan perusahaan dan berimbas pada pengurangan hak-hak buruh.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved