Polri Terbitkan Telegram Larang Aksi Buruh, YLBHI: Polri Tidak Punya Hak Mencegah Unjuk Rasa
Polri mengklaim penerbitan surat telegram untuk meredam aksi buruh menolak omnibus law RUU Cipta Kerja, masih dalam koridor tugas pokok institusi.
Penerbitan telegram itu menuai kritik, salah satunya datang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menyoroti perintah tentang pelaksanaan fungsi intelijen dan deteksi dini untuk mencegah terjadinya unjuk rasa dan mogok kerja yang dapat menimbulkan aksi anarkis serta konflik sosial.
"Polri tidak punya hak mencegah unjuk rasa," kata Isnur melalui keterangan tertulis, Senin (5/10/2020).
Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Polri justru bertanggung jawab memberi pengamanan terhadap peserta unjuk rasa.
Poin kelima juga menjadi sorotan YLBHI, yakni "lakukan cyber patrol pada medsos dan manajemen media untuk bangun opini publik yang tidak setuju dengan aksi unras di tengah pandemi Covid-19."
Begitu pula dengan poin enam yang berisi "lakukan kontra-narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah."
Isnur menuturkan, mengacu pada Pasal 30 UUD 1945 dan amandemennya, Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban, bukan melakukan kampanye untuk pemerintah.
Perintah tersebut juga dinilai menghambat kritik publik terhadap pemerintah.
"Selain itu 'mendiskreditkan' adalah tafsiran subjektif yang berpotensi menghambat kritik publik kepada pemerintah. Kritik publik dalam demokrasi justru bermanfaat bagi kehidupan bernegara karena menjadi kontrol kekuasaan," ucap Isnur.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Polri Klaim Telegram Larang Aksi Buruh Sesuai Tugas Pokok dan di Tribunnews.com dengan judul Telegram Larang Aksi Buruh Tuai Kritik dari YLBHI, Polri Beri Penjelasan