Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia Timur Desak RUU P-KS Jadi Prioritas

Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia Timur mendesak pemerintah dan DPR agar Rancangan RUU PKS menjadi prioritas.

Editor:
TANGKAPAN LAYAR ZOOM
Webinar bersama Jaringan Masyarakt Sipil Indonesia Timur terkait Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual 

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia Timur mendesak pemerintah dan DPR agar Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi prioritas.

Hal ini dikarenakan makin meningkatnya angka kekerasan seksual.

Berdasarkan data Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia Timur, total kasus kekerasan seksual yang terdokumentasi sampai September adalah 481 kasus.

"Kasus tertinggi adalah rudapaksa atau pemerkosaan (220) kasus, disusu perkawinan anak sebanyak 145 kasus. Angka-angka ini hanyalah sebagian kasus yang sempat terpotret," kata Lusi Peilouw.

Dikatakannya, pemerkosaan anak yang tinggi itu terjadi di semua daerah.

Kata dia, pelakunya beragam, antara lain ada Kepala Daerah di Sulawesi Tenggara di mana korban hamil kemudian dipaksa kawin dengan orang sekampung.

"Jaringan Masyarakat Sipil Wilayah Timur untuk KRUU P-KS juga menemukan sedikitnya 30% kasus yang dilaporkan mengalami kebuntuan dalam penanganan hukum," tuturnya.

Vivi Marantika, perwakulan dari Maluku mengatakan, penanganan kasus untuk di daerah kepulauan akan sangat sulit.

"Karena harus berproses di ibu kota. Ini yang menjadi kendala," katanya.

Belum lagi kata Vivi, traumatis yang dialami oleh korban dan jarak yang harus ditempuh bisa menjadi celah di mana ruang untuk melakukan negosiasi.

"Kasus kekerasan seksual tidak boleh dinegosiasi. Karena pelaku tidak hanya merusak tubuh korban, tapi juga sudah merusak hidupnya," kata Vivi.

Ansy Damari dari NTT mengatakan, kekerasan seksual di NTT tidak beda dengan daerah yang lain.

Kata dia, semakin hari semakin meningkat, apalagi saat ini sedang pandemi.

"Korban mengalami kesulitan akses untuk melapor," tuturnya.

Ia juga menyesalkan respon pemerintah yang sangat minim.

Dia mencontohkan ada kasus kekerasan seksual pada anak di pedesaan, anak berumur 14 tahun diperkosa hingga hamil.

Fisiknya yang masih muda membuat sang korban rentan mengalami gangguan kesehatan.

"Tak hanya fisik, kami juga butuh pendampingan psikolog untuk korban-korban yang di bawah umur," tuturnya.

Nowa Duwila dari LBH Apik Jayapuran juga mengatakan kekecewaannya terhadap penegak hukum.

Dikatakannya, kalaub di Jayapura tidak sigapnya polisi dalam mendapatkan pelaku, karena sering melihat pelaku adalah orang-orang terdekat dan sudah berumur tua.

"Ketika melihat pelaku itu sudah tua, maka akan cenderung untuk membiarkan," tuturnya.

Ia juga mengatakan di Jayapura ada yang namanya perbudakan seks, di mana pelakunya adalah bapaknya.

Kata dia, jadi anak-anak ini menjadi pelampiasan dari sang ayah yang tidak pernah merawat mereka.

"Satu di antara korban hamil. Nah ketika diproses, bapaknya ini memilih bunuh diri. Yang paling memprihatinkan adalah kondisi korban saat ini," ujarnya.

Yustina F mengatakan, akar paling mendasar dari semua realita miris di wilayah timur ini adalah lemahnya landasan hukum bagi perlindungan korban.

"Maluku, NTT, Papua dan Sulawesi membutuhkan Peraturan Perundang-undangan yang seacra spesifik dan komprehensif mengatur pemenuhan hak korban," tandasnya.

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved