Vaksin Covid 19
Vaksin Covid-19 akan Disuntik Sebanyak 2 Kali, Erick Thohir: Rentan Waktu Dua Minggu
Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir mengatakan, tiap satu orang perlu dilakukan dua kali vaksinisasi. Rentang waktunya, berkisar dua
TRIBUNMANADO.CO.ID - Imunisasi massal vaksin Covid-19 di Indonesia ditargetkan bisa dilakukan pada awal 2021.
Terkait hal tersebut, pemerintah tengah melakukan penghitungan biaya vaksin per orangnya.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, tiap satu orang perlu dilakukan dua kali vaksinisasi.
Rentang waktunya, berkisar dua minggu.
“Nah perhitungan awal harga vaksin ini untuk satu orang, karena satu orang perlu dua kali suntik dan jeda waktunya dua minggu kurang lebih. Itu harganya US$ 25-30 range-nya,” ujar Erick di Komisi VI DPR RI, Kamis (27/8/2020).
Artinya, jika dirupiahkan, maka satu orang untuk dilakukan dua kali vaksinasi membutuhkan biaya sekitar Rp 440.448.

Angka tersebut didapat dengan asumsi kurs Rp 14.681 per dollar AS.
Erick menambahkan, PT Bio Farma (Persero) telah bekerja sama dengan Sinovac terkait bahan baku vaksin Covid-19.
Jika pada akhir 2020 ini vaksin itu bisa diproduksi, maka Bio Farma harus membeli bahan bakunya ke Sinovac seharga US$ 8 per dosisnya.
“Memang harga yang sudah dikerjasamakan dengan Sinovac itu untuk 2020 harganya per dosis bahan bakunya US$ 8, tapi di 2021 harganya US$ 6-7, jadi ada penurunan. Ini bahan baku,” kata Erick.
Mantan bos Inter Milan ini mengungkapkan alasannya lebih memilih membeli bahan baku vaksin ketimbang yang sudah jadi.
Dia ingin ke depannya Indonesia bisa membuat vaksin Covid-19 secara mandiri.
“Tapi bukan berarti kita ingin beli vaksin mahal, karena kan tentu vaksin ini hanya jangka pendek, yang ke depan itu vaksin merah putih harus dilakukan,” ucap dia.
Penjelasan Ahli Soal Plasma Darah untuk Terapi Covid-19
Di Indonesia, saat ini plasma darah atau plasma konvalesen untuk pasien Covid-19 sedang dalam pengujian klinik.
Pemberian atau transfusi plasma darah kepada pasien yang sedang terinfeksi Covid-19 belum bisa diberikan bila uji klinis belum terselesaikan dengan baik.
Prof dr David H Muljono SpPD FINASIM FAASLD PhD, SelakuWakil Kepala Bidang Penelitian Translasional di Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, mengatakan, pemberian sebelum terselesaikan uji klinik, terapi terapi plasma konvalesen dapat berisiko gagal.
"Kalau tidak di uji klinik atau tidak selesai di uji netralisasinya itu bisa berbahaya, karena kita tidak tahu apakah isi plasma itu apa," kata David kepada Kompas.com melalui virtual daring, Selasa (25/8/2020).
Seperti diketahui, plasma konvalesen adalah plasma darah yang diambil dari pasien Covid-19 yang telah sembuh, dan kemudian diproses agar dapat diberikan kepada pasien yang sedang terinfeksi virus corona, SARS-Cov-2 penyebab Covid-19.
Pemberian plasma darah pasien sembuh dari Covid-19 ini diharapkan dapat membantu pasien yang sedang terinfeksi untuk lebih kuat lagi melawan serangan virus tersebut.
Mengapa plasma konvalesen perlu uji klinis?
Plasma darah atau plasma konvalesen terbaik yang diberikan dalam terapi ini, haruslah mengandung antibodi spesifik terhadap virus SARS-CoV-2 dan juga memiliki titer (kadar) yang tidak rendah atau harus lebih dari 1/80.
"Kita itu belum tahu ya, makanya perlu dites atau diuji itu supaya kita tahu apakah plasma darahnya itu memang mengandung antibodi yang spesifik apa nggak, titernya cukup apa nggak," kata David.
Sebab, para peneliti belum mengetahui kedua inti dasar tersebut hanya dengan melihat sampel plasma darah yang diambil dari penyintas Covid-19 saja.
Selain itu juga, David berkata, pemberian plasma darah atau plasma konvalesen ini meski terbilang lebih sederhana daripada pembuatan vaksin tetapi tetap memiliki risiko berbahaya.
"Itu kalau kita beri (plasma darah penyintas) tapi antibodinya tidak spesifik atau spesifik (antibodi untuk SARS-CoV-2) tapi titernya (kadar) rendah itu bisa jadi risiko untuk pasien penerima, bisa ada reaksi tubuh yang parah," kata dia.
Contoh antibodi tidak spesifik yang dimaksudkan David adalah dalam sampel plasma darah itu hanya ada antibodi virus corona saja. Bisa saja tidak mengandung virus corona SARS-CoV-2, melainkan jenis lain.
Apabila antibodi non-spesifik ini masuk ke dalam tubuh pasien penerima, justru tidak akan terbentuk sistem pertahanan kekebalan tubuh yang lebih baik dari sebelumnya. Bahkan, bisa terjadi keluhan yang baru lagi.
Jangan terburu-buru terapkan terapi plasma konvalesen
Oleh sebab itu, David berkata, perizinan untuk penerapan terapi plasma darah ini tidak perlu terburu-buru mengejar negara lain yang sudah mengeluarkan izin penerapan plasma darah untuk pasien Covid-19.
Hal itu dikarenakan, negara seperti Amerika Serikat memang telah memiliki teknologi yang cukup memadai untuk melakukan uji netralisasi plasma darah, sesuai dengan standar yang berlaku.

Teknologi yang dipergunakan untuk menguji netralisasi plasma darah ini disebut dengan Plaque Reduction Neutralization Test (PRNT).
PRNT ini dipergunakan untuk memastikan secara akurat bahwa sampel plasma yang diambil dari donor mengandung antibodi spesifik dan titernya tidak rendah.
"Ini (PRNT) sedang dikembangkan di Lembaga Eijkman. Kita berharap dua bulan lagi (November) selesai," harapnya.
Adapun inti utama uji klinis plasma konvalesen yang dikembangkan saat ini adalah untuk memastikan dua hal berikut.
1. Mendapatkan cara terbaik pemberian plasma
Seperti disebutkan sebelumnya, jika sampel plasma darah sudah dipastikan melalui PRNT dan siap diberikan kepada pasien. Maka, risiko efek samping bisa diminimalisir.
Sehingga, fokus peneliti dan dokter beserta tenaga medis hanyalah memantau perkembangan reaksi pasien penerima donor plasma konvalesen itu selama maksimal dua kali uji coba dalam kurun waktu tiga hari.
"Itu biar kita tahu dosisnya bagaimana, berapa. Sama seperti kita minum obat, kan, ada dosisnya, kalau nggak diuji kita nggak tahu. Kalau kekurangan ya nggak efektif, kalau kelebihan ya bahaya, makanya perlu diuji dulu," jelas David.
2. Mempelajari semua pasien dan donor dengan PRNT
Tidak semua pasien yang terinfeksi virus corona dan penyintasnya memiliki gejala, keluhan ataupun faktor-faktor risiko penyakit penyerta yang sama.
Oleh sebab itu, uji klinis plasma konvalesen perlu dilakukan agar mengetahui dan mempelajari setiap kemungkinan yang berlaku pada setiap indikator yang berkaitan dengan plasma konvalesen dan penyembuhan infeksi penyakit akibat virus tersebut.
Akan tetapi, yang dapat dipastikan oleh David, pemilihan penyintas donor plasma darah untuk terapi pasien Covid-19 juga harus diperketat dengan mengutamakan penyintas tanpa penyakit penyerta, dan bukan wanita hamil.
BERITA TERKINI TRIBUNMANADO:
• Polwan Gadungan Peras Kekayaan Suami dan Keluarganya, Ditipu dengan Pangkat AKBP, Menikah Maret Lalu
• Presiden Klub Barcelona Bartomeu Janji Pergi jika Lionel Messi Pilih Bertahan di Camp Nou
• Partai Baru Besutan Amien Rais Direncanakan Deklarasi Desember Mendatang, Logonya Mirip Parpol Lawan
SUBSCRIBE YOUTUBE TRIBUNMANADO OFFICIAL:
KLIK TAUTAN AWAL: https://nasional.kontan.co.id/news/menteri-erick-prediksi-harga-vaksin-covid-19-rp-440000-per-orang