Tokoh
Kho Ping Hoo, Penulis Cerita Silat Legendaris Indonesia: Bu Kek Siansu, Pendekar Gila, Suling Emas
Banyak cerita silat karangan Kho Ping Hoo yang terkenal pada masanya seperti Bu Kek Siansu, Pedang Kayu Harum, Pendekar Super Sakti.
Dia kemudian memilih menjadi tukang becak. Profesi ini memang tidak lama ia lakoni, tidak sampai seminggu. Namun, hari-hari bersejarah itu selalu terkenang dalam hatinya.
Menjadi penulis
Mengutip Harian Kompas, Sabtu, 23 Juli 1994, debutnya sebagai pengarang dimulai tahun 1958, ketika itu ia pindah ke Tasikmalaya, Jawa Barat dan bersama sejumlah penulis di sana mereka menerbitkan majalah Teratai.
Ia mencoba melemparkan cerita silat serial berjudul Pusaka Naga Putih, dan ternyata banyak diminati. Sejak itu karya-karyanya meluncur, terutama lewat penerbit Analisa Jakarta.
Sejumlah karyanya yang terkenal berjudul Bu Kek Siansu, Pendekar Gila, Suling Emas, Cinta Bernoda Darah, Mutiara Hitam, Sepasang Pedang Iblis, Pendekar Super Sakti (dengan tokohnya bernama Suma Han, sebagai kenangan akan putranya nomor dua yang meninggal karena kanker), Istana Pulau Es, Sepasang Rajawali, dan Jodoh Rajawali.
Selain kisah silat Cina, Kho Ping Hoo yang sebenarnya mulai terjun menulis sejak 1951, banyak pula melahirkan kisah-kisah dengan setting Indonesia.
Beberapa judul di antaranya, Badai Laut Selatan, atau Darah Mengalir di Borobudur menunjukkan bahwa ia tidak hanya sekadar terampil menulis tetapi cukup menguasai literatur dan sejarah Indonesia.
Ia sendiri memang menguasai bahasa Inggris dan Belanda dengan baik, karena pendidikannya sampai HIS, bahkan sempat menginjak MULO walau sebentar.
Tidak disangka, justru lewat kedua bahasa itulah, ia banyak membaca literatur China.
Satu 'modal' berharga dalam kariernya sebagai penulis cerita silat China. Karena, percaya atau tidak menurut pengakuannya, ia tidak bisa membaca aksara China. Kalaupun berbahasa Mandarin, ia mengaku hanya bisa secara pasif.
Mengenai penambahan nama Asmaraman Sukowati di depan namanya, hal itu setelah pemerintahan Orde baru mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 240 Tahun 1967 yang menganjurkan warga keturunan asing mengganti namanya menjadi nama Indonesia.
Pada sebuah kesempatan, Kho mengatakan, meski piawai menulis cerita silat China, dia mengaku belum pernah pergi ke Negeri Tirai Bambu itu.
"Saya baru menginjakkan kaki ke China pertama kali tahun 1985, ketika saya diajak anak saya melancong ke sana. Ya, baru sekali itu," kata dia dalam wawancara dengan Harian Kompas.
Selain literatur China, buku sejarah China kuno, filsafat, buku-buku pengobatan, pernapasan, juga buku tentang ilmu kung thau, modal dan referensi utama Kho dalam mengarang cerita adalah sebuah peta China.
Dengan dua modal itulah karya-karya Kho Ping Hoo 'menguasai' fantasi para pembacanya.