Tokoh
Kho Ping Hoo, Penulis Cerita Silat Legendaris Indonesia: Bu Kek Siansu, Pendekar Gila, Suling Emas
Banyak cerita silat karangan Kho Ping Hoo yang terkenal pada masanya seperti Bu Kek Siansu, Pedang Kayu Harum, Pendekar Super Sakti.
Kehidupannya begitu getir, hingga ia sering menitikkan air mata saat melihat teman-temannya berangkat sekolah, sedangkan ia harus bekerja menjaga toko.
Ketika Jepang masuk ke Tanah Air jelang berakhirnya Perang Dunia II, ia pindah ke Surabaya dan beralih profesi sebagai penjual obat. Ia menjajakan pil-pil semacam kina dan lain-lain ke toko-toko.
Pada masa ini, ia juga bergabung dan digembleng dalam Kaibotai, semacam hansip Jepang, yang pendidikannya sudah sangat militer.
Dari Surabaya, ia kembali ke Sragen dan bergabung dengan BPTH (Barisan Pemberontak Tionghoa) yang ketika itu senantiasa kompak dengan BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia).
Pada tahun-tahun krisis itu, 1945, ia bertemu dengan jodohnya. Bermodalkan cinta, ia menikahi Ong Ros Hwa, kelak berganti nama menjadi Rosita, perempuan Sragen kelahiran Yogyakarta.
Dari Sragen, dia bersama keluarganya lantas berpindah ke Kudus.
Melihat ayahnya mengemis
Ada satu peristiwa besar yang membuat Kho Ping Hoo bertekad menjadi seorang pekerja keras. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1945.
Ketika itu ia bekerja di Kudus, sebagai mandor tembakau pada sebuah perusahaan rokok. Ia dipekerjakan di sebuah desa kecil di daerah Kudus.
Setiap hari Minggu, ia baru bisa berkumpul bersama orang tua dan keluarganya yang bermukim di pusat kota Kudus.
Pada satu hari yang selalu membekas dalam ingatannya, ia baru turun dari kereta api, sepulang kerja. Sekonyong-konyong ia melihat ayahnya, Kho Kiem Po, seorang guru silat sedang meminta-minta.
Pemandangan itu begitu sulit ia percaya, meskipun pada akhirnya bisa ia maklumi. Sang ayah ketika itu sedang sakit keras, dan karena keluarga mereka termasuk miskin, maka biaya pengobatan tidak bisa mereka dapatkan seketika.
Satu-satunya jalan untuk mendapat uang dengan cepat adalah melalui jalan pintas, yakni menjadi pengemis.
Sebagai anak laki-laki pertama, atau anak kedua dari 12 bersaudara ia merasa sangat bertanggungjawab atas peristiwa itu. Ia punya kewajiban mencari uang kontan untuk biaya pengobatan.
Dengan keyakinan bahwa ia tak akan mudah mendapat uang langsung dari perusahaannya, maka sejak hari itu ia memutuskan memilih pekerjaan yang bisa mendapat uang dengan cepat.