Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

MTQ

Review 43 Tahun Monumen Kembar MTQ 1977: Dari Alumni untuk Umat

Dengan persentase muslim yang tidak begitu banyak, Kota Manado mampu menjadi tuan rumah yang baik bagi pelaksanaan sebuah even Nasional dan bergengsi.

Penulis: Isvara Savitri | Editor: Rizali Posumah
Kolase Tribun Manado
Foto Supriadi SAg MPdI dan asrama Pesantren LPI PKP Manado. 

Oleh: Supriadi SAg MPdI (Staf Pengajar SMA Negeri 1 Manado, Ketua DPW AGPAII Provinsi Sulawesi Utara).

Masyarakat Sulawesi Utara tentu memiliki kebanggaan tersendiri bahwa nilai-nilai toleransi yang kini dipegang telah lama dipraktikkan di daerah Nyiur Melambai.

Nilai ini menjadi sebuah cara pandang dalam bermasyarakat yang siap menerima perbedaan dalam bentuk apapun.

Betapa tidak, dengan persentase muslim yang tidak begitu banyak, Kota Manado mampu menjadi tuan rumah yang baik bagi pelaksanaan sebuah even Nasional dan bergengsi bertajuk Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) X tahun 1977.

Acara yang dibuka langsung Presiden R.I Soeharto ketika itu betul-betul mampu menyedot perhatian khalayak dan memunculkan beragam apresiasi positif bagi Kota Manado khususnya dan provinsi Sulawesi Utara pada umumnya.

Sesuai arahan Presiden Soeharto dalam sambutannya yang menekankan pada aspek kerjasama antar umat dalam mencapai kehidupan religius berdasarkan Pancasila, pelaksanaan MTQ X tahun 1977 menjadi sebuah tonggak sejarah bagi terhindarnya eksklusifisme beragama.

Guna mengenang momentum terbaik itu, didirikanlah Islamic Center dan Pesantren Lembaga Pendidikan Islam-Pondok Karya Pembangunan sebagai sebuah “Monumen Kembar” yang diresmikan pada 1978.

Sejak saat itu, mulailah sebuah proses panjang kaderisasi generasi Islam yang moderat dan mengedepankan nilai-nilai toleransi yang tinggi di berbagai penjuru bumi ini.

Pola pendidikan pesantren dengan Kiai sebagai sentralnya ketika itu pada akhirnya mampu melahirkan generasi-generasi yang tangguh dan mampu menghadapi tantangan zamannya.

Penerapan kurikulum yang tidak semata mengunggulkan sisi kognitif semata kemudian menjadikan 28 orang generasi “assabiqunal awwalun” tetap survive menjalani kehidupan pesantren yang keras.

Kurikulum yang juga menitik beratkan pada life skill atau kecakapan hidup menjadikan pesantren ini semakin dikenal sebagai lembaga pendidikan untuk menempa manusia-manusia unggul dan mampu menghadapi tantangan zamannya.

Empat dekade bukanlah waktu yang singkat untuk berproses dan bersimbiosis mutualisme dengan lingkungan.

Ribuan alumni yang tangguh dan kapabel itu bisa ditemui pada berbagai instansi pemerintah maupun swasta dengan berbagai profesi.

Baik sipil maupun militer, mulai dari RT, Kepala Lingkungan, Lurah, Kepala Desa, Camat hingga calon Wakil Bupati.

Jangan ditanya berapa banyak alumni yang mengabdi di masjid menjadi Imam, Pegawai Syar’i, Badan Takmir Masjid, Kepala KUA hingga Pengacara, Hakim dan Jaksa serta Ketua Pengadilan.

Halaman
12
Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved