Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Sapardi dan Puisinya yang Bernyanyi

Bagi kebanyakan orang, puisi adalah karya yang sulit dipahami. Namun tidak dengan puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono.

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
Gramedia via KOMPAS.com
Penyair Sapardi Djoko Damono dikabarkan meninggal dunia pada Minggu (19/7/2020) pagi ini sekitar pukul 09.17 WIB. 

Puisi dan musik adalah dua entitas yang berbeda, namun keduanya berada dalam satu rumah yang sama, yakni; bunyi. Meski Sapardi bukan musisi, namun ia berhasil mencipta orkestra musik yang tak melulu bermodal nada, tapi kata-kata. Puisi indah Sapardi memancing siapapun untuk bernyanyi.

Maka tak heran, tak lama setelah Sapardi menulis Hujan Bulan Juni, puisi itu digubah oleh M. Umar Muslim, kemudian direkam-nyanyikan oleh Ari Malibu dan Reda Gaudiamo. Lagu tersebut merupakan salah satu materi dalam album musikalisasi puisi Sapardi berjudul Hujan Bulan Juni yang proyeknya disponsori oleh Ford Foundation. Album itu sempat beberapa kali dirilis ulang karena laku di pasaran. 

Daftar Harga Terbaru Oppo Edisi Juli 2020, Ada Oppo A5 hingga Oppo Find X2 Pro

Sementara puisi Aku Ingin dimusikkan cukup memukau oleh Dwiki Dharmawan. Melalui vokalis perempuan, puisi itu disenandungkan dengan anggun tapi feminin. Seolah berisi rintihan dan kepedihan. Di kala syair musik pada lagu pop mutakhir cenderung picisan, kita mendengar selarik puisi Sapardi menjadi oase.

Di ranah sastra Indonesia, Sapardi Djoko Damono mempunyai peran penting. Dalam Ikhtisar Kesusasteraan Indonesia Modern (1988) karya Pamusuk Eneste, Sapardi dimasukkan dalam kelompok pengarang Angkatan 1970-an. Dalam Sastra Indonesia Modern II (1989) karya A Teeuw, Sapardi digambarkan sebagai cendekiawan muda yang mulai menulis sekitar 1960.

Setelah lulus SMA, Sapardi sempat mengecap pendudukan di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia pernah puka memperdalam kajian kemanusiaan (humanities) di University of Hawaii, Amerika Serikat (1970-1971).

Pada 1980, Sapardi Djoko Damono memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra dengan disertasi berjudul Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur. Pada 1995, ia dikukuhkan sebagai guru besar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.

Selain mengajar sebagai dosen di beberapa kampus di Indonesia, Sapardi aktif dalam berbagai lembaga seni dan sastra pada 1970-1980an. Antara lain sebagai Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia Jakarta (1973-1980), redaksi majalah sastra Horison (1973), Sekretaris Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin (sejak 1975), anggota Dewan Kesenian, anggota Badan Pertimbangan Perbukuan Balai Pustaka Jakarta (sejak 1987) dan lain-lain.

Pada 1986, Sapardi mengemukakan perlunya mendirikan organisasi profesi kesastraan di Indonesia. Ia kemudian mendirikan organisasi bernama Himpunan Sarjana-Kesusasteraan Indonesia (Hiski) pada 1988. Sapardi terpilih sebagai Ketua Umum Hiski Pusat selama tiga periode.

Selain aktif di dunia sastra dalam negeri, Sapardi Djoko Damono juga sering menghadiri berbagai pertemuan internasional. Seperti Translation Workshop dan Poetry International di Rotterdam, Belanda (1971), Seminar on Literature and Social Exchange in Asia di Australia National University Canberra, dan lainnya.

Lewat karya-karyanya, Sapardi telah menerima berbagai penghargaan dan hadiah sastra dari dalam dan luar negeri. Pada 1963 Sapardi mendapat Hadiah Majalah Basis atas puisi Ballada Matinya Seorang Pemberontak.

Pada 1978 ia menerima Cultural Award dari pemerintah Australia. Pada 1983, ia memperoleh hadiah Anugerah Puisi-Puisi Putera II atas bukunya Sihir Hujan dari Malaysia.

Pada 1984 Dewan Kesenian Jakarta memberi penghargaan atas buku Perahu Kertas. Mataram Award diterima Sapardi pada 1985. Hadiah SEA Write Award (Hadiah Sastra Asean) dari Thailand diterima pada 1986. Sapardi meraih Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1990.

Kalyana Kretya dari Menristek RI diraih pada 1996. Pada 2003, ia mendapat penghargaan Achmad Bakrie Award for Literature. Disusul Khatulistiwa Award pada 2004. Penghargaan dari Akademi Jakarta diraih pada 2012.

Kemarin, aetelah melewati 'Hujan di Bulan Juni', sastrawan kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940 itu pergi selamanya di bulan Juli. Sapardi menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Minggu (19/07) pukul 09:17 di Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan. Ia meninggal setelah dirawat di rumah sakit sejak Kamis lalu karena menurunnya fungsi organ tubuh.

Setelah disemayamkan di rumah duka, Kompleks Dosen UI, No. 113, Jalan Ir . H. Djuanda, Ciputat, Kota Tangsel, Banten, jenazah Sapardi kemudian dimakamkan pada sore harinya di Taman Pemakaman Giritama, Giri Tonjong, Bogor, Jawa Barat.

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved