Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Iuran BPJS Kesehatan Naik Politisi PDIP Beda Pendapat, Ganjar Sebut Tak Mudah, FX Hadi Kritik Tajam

Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaikan iuran BPJS menuai pro dan kontra. Termasuk dua kader PDIP, Ganjar Pranowo dan FX Hadi Rudyatmo

Editor: Finneke Wolajan
Kolase/Tribunnews/Kompas.com
Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo, Presiden Jokowi, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaikan iuran BPJS menuai pro dan kontra.

Tak hanya di kalangan masyarakat, bahkan di kalangan politisi PDIP sendiri.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, misalnya, turut angkat bicara soal kebijakan Presiden Joko Widodo menaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Menurut Ganjar, Presiden Jokowi tidaklah mudah dalam mengambil keputusan tersebut.

Namun demikian, Ganjar berharap kebijakan itu diimbangi dengan profesionalisme BPJS dalam melayani masyarakat.

“Tindakan yang cukup berisiko secara politik dan sangat tidak populer ini sepertinya Presiden harus mengambil itu dan akhirnya reaksi juga luar biasa, tapi sepertinya juga kita harus memaksa BPJS harus jauh lebih profesional,” kata Ganjar dilansir dari KompasTV.

Sementara itu kritikan tajam justru dilontarkan Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo kepada Jokowi.

Rudy, sapaan akrab Wali Kota Surakarta, menganggap Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, tidak tepat dikeluarkan di tengah pandemi corona.

“Kondisi kayak begini menaikkan BPJS ya menurut saya kurang tepat, ndak pas, karena masyarakat baru banyak yang di PHK, banyak yang dirumahkan, bagi yang mandiri juga kondisinya tidak bisa mengais rejeki,” katanya.

Sementara itu, dilansir dari Antara, Pelaksana Tugas (Plt) Deputi II KSP bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Sosial, Ekologi dan Budaya Strategis Abetnego Tarigan menanggapi kritikan terkait kebijakan tersebut.

"Dengan angka segitu itu yang memang punya prospek sustainability, keberlanjutan pengelolaan BPJS itu."

"Memang mereka dari Kementerian Keuangan mengatakan perhitungan itu juga sudah memperhitungkan terkait dengan ability to pay dalam melakukan pembayaran," kata Abetnego di Jakarta, Kamis.

Seperti diketahui, di dalam Perpres tersebut, iuran peserta mandiri kelas I naik 87,5 persen dari Rp 80 ribu menjadi Rp 150 ribu dan kelas II naik 96,07 persen dari Rp 51 ribu menjadi Rp 100 ribu.

Selanjutnya iuran peserta mandiri kelas III baru akan naik tahun depan.

Pemerintah menaikkan iuran peserta mandiri kelas III sebesar 37,25 persen dari Rp25.500 menjadi Rp35 ribu.

Abetnego menegaskan, kenaikan tersebut demi perbaikan sistem dan tidak ada lagi keributan soal defisit BPJS yang justru memperlambat pemerintah dalam penyelesaian tanggung jawab ke rumah sakit.

Denda Iuran BPJS juga Naik Jadi 5 Persen

Selain kenaikan iuran BPJS, diatur juga perubahan subsidi pemerintah, hingga denda yang dibayarkan oleh peserta yang telat bayar.

Pada pasal 42 dijelaskan mengenai denda yang harus dibayarkan. Besarannya pada 2020 dendanya 2,5 persen dari perkiraan biaya paket Indonesian Case Based Groups (ICBG).

Tapi pada 2021 naik dari 2,5 persen menjadi 5 persen dari perkiraan biaya paket ICBG.

Denda akan diberikan kepada Peserta dan/atau Pemberi Kerja yang tidak membayar iuran sampai dengan akhir bulan. Jika tidak bayar, maka penjaminan Peserta diberhentikan sementara, mulai tanggal 1 pada bulan berikutnya.

"Kalau belum bayar enggak aktif. Dikunci sistemnya. Kalau dibayar, dibuka lagi," kata Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf pada Kompas.com, Kamis (14/5/2020).

Lalu untuk mempertahankan status kepesertaan aktif, peserta wajib melunasi sisa iuran bulan yang masih tertunggak seluruhnya paling lambat 2021.

Selain itu dalam pasal 42 ayat 5 disebutkan dalam waktu 45 hari sejak status aktif kepesertaan aktif kembali, peserta wajib membayar denda kepada BPJS Kesehatan untuk setiap pelayanan kesehatan rawat inap tingkat lanjutan yang diperolehnya.

Iqbal menjelaskan, ketika peserta menunggak dan dirawat inap di RS serta masih dalam jangka waktu 45 hari sejak aktif, maka akan kena denda.

"Artinya kalau di luar 45 hari dan bukan rawat inap di RS, tidak terkena denda layanan," katanya lagi.

Misalnya jika peserta hanya menggunakan BPJS untuk periksa di puskesmas, maka tidak kena denda.

Denda tahun depan besarnya 5 persen dari perkiraan biaya paket ICBG berdasarkan diagnosis dan prosedur awal untuk setiap bulan tertunggak.

Ketentuannya: Jumlah bulan tertunggak paling banyak 12 bulan Besar denda paling tinggi Rp 30 juta.

Iqbal menjelaskan, biasanya RS memberi diagnosis awal pada pasien, juga perkiraan perlu rawat inap berapa lama.

Misalnya diperkirakan akan dirawat dan menghabiskan biaya Rp 5 juta.

Maka denda 5 persen itu dari Rp 5 juta tersebut. Iqbal menambahkan, biasanya diagnosis awal dan akhir berbeda, lebih banyak di akhir.

Jadi misalnya di akhir habis Rp 7 juta, padahal diagnosis awal hanya Rp 5 juta. Meski begitu denda yang dibayarkan tetap dihitung dari diagnosis awal tadi.

Demi Keberlangsungan BPJS

Pemerintah memiliki pembelaan sendiri atas keputusan yang dianggap merugikan masyarakat tersebut.

Dilansir dari Kompas.com, kenaikan ini tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Beleid tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020) lalu. Kenaikan mulai berlaku pada 1 Juli 2020 mendatang.

Airlangga Hartarto kini Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Dok Humas Kementerian Perindustrian)
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan alasan di balik kenaikan iuran tersebut.

Menurut dia, kenaikan iuran dilakukan untuk menjaga keberlanjutan dari program Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas) BPJS Kesehatan.

"Terkait BPJS Sesuai dengan apa yang sudah diterbitkan, tentunya ini untuk menjaga keberlanjutan BPJS Kesehatan," ujar Airlangga dalam konferensi video di Jakarta, Rabu (13/5/2020).

Lebih lanjut dia mengatakan, meski ada kenaikan namun untuk peserta mandiri BPJS kelas III, besaran kenaikan iurannya tahun ini masih disubsidi oleh pemerintah.

Di dalam beleid tersebut dijelaskan, iuran peserta mandiri Kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.

"Ada iuran yang disubsidi pemerintah, yang lain diharap bisa menjalankan keberlanjutan operasi BPJS Kesehatan," jelas Airlangga.

Ketua Umum Golkar itu pun menjelaskan, kepesertaan BPJS Kesehatan pada dasarnya terbagi atas dua golongan.

Yaitu golongan masyarakat yang iurannya disubsidi pemerintah dan kelompok masyarakat yang membayar penuh iurannya.

Menurut dia, agar operasional BPJS tetap berjalan lancar, pemerintah perlu terjun langsung dengan memberikan subsidi iuran kepada kelompok masyarakat tertentu.

Adapun berikut rincian tarif iuran BPJS Kesehatan berdasarkan Perpres Nomor 64 2020:

Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000.

Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000.

Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.

Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.

Kendati demikian, pada 2021 mendatang, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp 35.000.

Pada akhir tahun lalu, Jokowi juga sempat menaikkan tarif iuran BPJS kesehatan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Namun, Mahkamah Agung membatalkan kenaikan tersebut.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jokowi Naikan Iuran BPJS, Ganjar Sebut Keputusan yang Sulit, Rudy Anggap Tidak Tepat", 

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved