Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

KPK

KPK Sudah Pernah Surati Jokowi Soal Masalah Defisit BPJS Kesehatan tapi Tidak Kunjung Direspons

Rekomendasi yang diusulkan KPK tersebut solusi tanpa harus menaikkan iuran BPJS kesehatan.

Editor: Frandi Piring
via Totabuan News
Rocky Gerung sebut Presiden (Jokowi) tidak ingin KPK bekerja maksimal. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikabarkan sudah pernah menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal rekomendasi mengatasi defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Tujuan dari rekomendasi yang diusulkan KPK tersebut adalah solusi tanpa harus menaikkan iuran BPJS kesehatan.

Surat rekomendasi itu diserahkan KPK secara resmi ke Presiden Jokowi pada 30 Maret 2020, atau sebelum adanya keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Namun, hingga kini tidak ada respons dari Jokowi terkait rekomendasi tersebut.

"KPK sudah kirim surat rekomendasi untuk mengatasi defisit bpjs kesehatan, tanpa menaikkan iuran."

"Tapi enggak ditanggapi itu surat," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan saat dimintai konfirmasi, Kamis (14/5/2020).

Logo Gedung KPK.
Logo Gedung KPK. (Kompas.com)

Presiden Jokowi menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I dan II melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Padahal, kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu sempat dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu juga menuai banyak komentar dari berbagai masyarakat.

Diduga, salah satu penyebab kenaikan iuran karena BPJS Kesehatan mengalami defisit.

KPK sebelumnya sudah pernah membuat kajian yang berkaitan dengan dana BPJS untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.

Dalam kajian tersebut, KPK juga menemukan usulan atau rekomendasi untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan.

Rekomendasi itu kemudian dikirim melalui surat ke Presiden Jokowi per 30 Maret 2020.

Salah satu rekomendasi KPK, pemerintah atau Kementerian Kesehatan (Kemenkes) agar menyelesaikan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK) untuk seluruh jenis penyakit yang diperlukan.

Kemudian, penertiban kelas rumah sakit perlu disegerakan.

Selanjutnya, kebijakan mengenai urun biaya (co-payment) untuk peserta mandiri yang diatur dalam Permenkes 51/2018 tentang urun biaya dan selisih biaya dalam program Jaminan Kesehatan, segera diimplementasikan.

Serta, kebijakan Coordination of Benefit (CoB) dengan asuransi kesehatan swasta perlu segera diakselerasi implementasinya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) atau peserta mandiri pada tahun 2021.

Keputusan itu tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Rocky Gerung sebut Presiden (Jokowi) tidak ingin KPK bekerja maksimal.
Rocky Gerung sebut Presiden (Jokowi) tidak ingin KPK bekerja maksimal. (via Totabuan News)

Pada pasal 34 mengatur besaran kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Bunyi pasal 34 poin B menyebutkan untuk tahun 2021 dan tahun berikutnya, iuran peserta mandiri kelas I naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 150 ribu.

Lalu, peserta iuran mandiri kelas II naik dari Rp 51 ribu menjadi Rp 100 ribu.

Sedangkan, peserta iuran peserta mandiri kelas III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 35 ribu.

Perpres Nomor 64 Tahun 2020 menjelaskan ketentuan besaran iuran di atas mulai berlaku pada 1 Juli 2020.

Dalam Perpres tersebut, Jokowi juga resmi membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan bagi peserta mandiri sebesar 100 persen yang berlaku mulai April 2020.

Dengan demikian, maka iuran BPJS yang naik sejak Januari 2020 menjadi Rp 42 ribu untuk kelas III kembali menjadi Rp 25.500, kelas II dari Rp 110 ribu menjadi Rp51 ribu, dan kelas I dari Rp 160 ribu menjadi Rp 80 ribu.

Hal itu tertuang dalam Pasal 34 ayat 7 dan 8.

Pembatalan kenaikan iuran itu merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Agung (MA).

Putusan MA diterima pemerintah pada 31 Maret 2020 berdasarkan surat dari Panitera Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor: 24/P.PTS/III/2020/7P/HUM/2020 tanggal 31 Maret 2020 perihal Pengiriman Putusan Perkara Hak Uji Materiil Reg. No. 7P/HUM/2020.

Sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01/2011 tentang Hak Uji Materiil, pemerintah mempunyai waktu paling lambat 90 hari untuk melaksanakan Putusan MA tersebut yang terhitung berakhir pada 29 Juni 2020.

Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) menerima dan mengabulkan sebagian uji materi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.

Permohonan uji materi itu diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI).

Mereka merasa keberatan terhadap kenaikan iuran.

Kemudian, mereka menggugat ke MA dan meminta kenaikan itu dibatalkan.

Juru Bicara MA Hakim Agung Andi Samsan Nganro mengonfirmasi putusan tersebut.

"Perkara Nomor 7 P/HUM/2020 perkara Hak Uji Materiil."

"Kamis 27 Februari 2020 putus," kata dia, saat dihubungi, Senin (9/3/2020).

Persidangan dipimpin ketua majelis Supandi, dengan anggota Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi.

Pada putusannya, MA membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020.

"Menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan."

"Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," begitu bunyi putusan tersebut.

Menurut MA, Pasal 34 ayat 1 dan 2 bertentangan dengan Pasal 23 A, Pasal 28H dan Pasal 34 UUD 1945.

Juga, bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 ayat 3 UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

"Bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial."

"Bertentangan dengan Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 171 UU Kesehatan," bunyi putusan tersebut.

Pasal yang dinyatakan batal dan tidak berlaku berbunyi:

Pasal 34

(1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:

a. Rp 42.OOO,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.

b. Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau

c. Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.

(2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2O2O.

Dengan dibatalkannya pasal di atas, maka iuran BPJS kembali ke iuran semula, yaitu:

a. Sebesar Rp 25.500 untuk kelas 3

b. Sebesar Rp 51 ribu untuk kelas 2

c. Sebesar Rp 80 ribu untuk kelas 1.

Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menegaskan, pemerintah tidak bisa melawan putusan pengadilan terkait dibatalkannya kenaikan iuran BPJS.

Ia menilai putusan Mahkamah Agung terhadap Judicial Review (JR) terkait iuran BPJS, bersifat final dan tidak bisa diajukan banding.

"Berbeda dengan gugatan perkara perdata atau pidana itu masih ada PK (Peninjauan Kembali) ya kalau sudah diputus oleh MA di Kasasi."

"Kalau judicial review itu sekali diputus final dan mengikat."

"Oleh sebab itu ya kita ikuti saja."

"Pemerintah kan tidak boleh melawan putusan pengadilan," kata Mahfud MD di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (9/3/2020).

Sebelumnya, iuran BPJS Kesehatan naik per 1 Januari 2020 sebesar 100 persen dari tarif sebelumnya.

Kenaikan ini sesuai Peraturan Presiden (Perpres) 75/2019 tentang Perubahan atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 24 Oktober 2019.

Dalam peraturan yang ditandatangani Presiden Jokowi, disebutkan penyesuaian tarif iuran ditujukan untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan.

Penjelasan mengenai kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen terangkum dalam Pasal 34 Perpres Nomor 75 Tahun 2019.

Kenaikan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) tersebut untuk seluruh segmen peserta BPJS.

Berdasarkan Pasal 34 Perpres Nomor 75 Tahun 2019, kenaikan iuran BPJS secara rinci menjadi:

Kelas III dari Rp 25.500 per bulan menjadi Rp 42.000

Kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000

Kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000. (Ilham Rian Pratama)

Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul KPK Ternyata Pernah Surati Jokowi Soal Defisit Keuangan BPJS Kesehatan, tapi Tak Kunjung Ditanggapi, https://wartakota.tribunnews.com/2020/05/14/kpk-ternyata-pernah-surati-presiden-jokowi-soal-defisit-keuangan-bpjs-kesehatan-tapi-tak-ditanggapi?page=all

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved