Tolak Herd Immunity, Direktur WHO: Manusia Bukan Ternak
Sejumlah negara di dunia saat ini mulai melonggarkan pembatasan dan kebijakan lockdown terhadap pandemi Covid-19.
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
"Hasil awal dari studi sero-epidemiologi menunjukkan yang sebaliknya. Jumlah orang yang terinfeksi dalam total populasi mungkin jauh lebih rendah dari yang kami perkirakan," ungkap Ryan.
Ia memaparkan, hanya sekitar 1 persen dari 10 persen orang di dunia yang menunjukkan bukti infeksi, menurut hasil awal dari 90 survei serologi yang terjadi di seluruh dunia. Sehingga, dia berkata implikasi kesehatan dari virus itu jauh lebih parah daripada yang diyakini banyak orang.
Sementara pimpinan teknis WHO, Maria Van Kerkhove mengatakan tubuh belum dapat mengevaluasi metodologi seroprevalensi yang sedang berlangsung--yang mencari antibodi dalam darah untuk mengetahui riwayat infeksi Covid-19.
• Wajar Tanpa Pengecualian Ketujuh Kali, Eman: Semua Karena Anugerah Dari Tuhan
"Apa yang ditunjukkan oleh penelitian seroepidemiologis ini kepada kami adalah bahwa ada sebagian besar populasi yang tetap rentan. Jadi kita masih harus menempuh jalan panjang dengan virus ini," ujar Kerkhove.
WHO menyatakan, sebuah hasil penelitian menunjukan bahwa orang yang memiliki antibodi Covid-19 jauh lebih sedikit dari yang diharapkan. Selain mengarah pada kegagalan, herd immunity juga berbahaya untuk diterapkan.
Soal herd immunity ini juga pernah disinggung ahli molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo dalam diskusi daring "Meliput Covid-19" yang digelar pada Maret 2020. Terkait penanganan virus corona ini, ia mengatakan lebih memilih pendekatan aggressive testing dibaandingkan herd immunity.
Pernyataan itu ia utarakan ketika ditanya soal perbandingan strategi menekan sebaran virus Covid-19 di antara kedua cara tersebut. "Pendekatan [herd immunity] ini betul-betul radikal. Apa landasan berpikirnya, ini terkait sudah kelabakannya fasilitas kesehatan, seperti di Itali. Jadi, sekarang Eropa memikirkan, sudah biarkan saja yang tidak punya harapan hidup itu mati," tutur Ahmad.
"Artinya apa, orang itu memang tidak punya imunitas yang cukup, sehingga daripada membebani dia mending mati saja sehingga menyisakan orang-orang yang survive--ini sudah terseleksi secara alami. Ini radikal sekali," kata dia lagi.
Sementara epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono berharap agar pemerintah tidak menggunakan herd immunity sebagai upaya menyiasati tingginya kasus Covid-19 di Indonesia. “Tidak mungkin. Jangan sampai (pemerintah menyiasati Covid-19 dengan herd immunity),” ungkap epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, Selasa (12/5). (tribun network/cnn/rtr)