Dampak Virus Corona
Stok Pangan Menipis Lantaran Covid-19, Warga di NTT Terpaksa Olah Ubi Beracun untuk Dimakan
Ondo ini memang menjadi pilihan terakhir bagi warga sebagai pengganti nasi karena jenis pangan lainnya sudah mulai menipis bahkan sudah habis.
"Kami gali dan olah Odo ini karena stok pangan menipis. Pasar tutup, mau jual hasil tidak bisa. Harga Sembako naik. Memang kemiri komoditi disini ada, pisang, kelapa dan masih banyak hasil bumi lainnya tapi mau dikemanakan," ujar Maksimus.
Maksimus menyebutkan hampir 75 % warga Woedoa mengkonsumsi Odo sebagai pengganti nasi. Jika tidak ada pangan alternatif masyarakat akan kelaparan.
Maksimus mengatakan memang gali dan olah Odo sudah menjadi tradisi namun tahun ini dampak Covid-19 sangat dirasakan oleh masyarakat sehingga warga Waedoa beramai-ramai pergi ke hutan mencari Odo.
"Kalau sebelumnya kami memang sering gali Odo. Tapi tahun ini sangat ramai untuk cari Odo. Karena memang stok pangan kami menipis. Ini bukan rekayasa. Ini bencana luar biasa. Ini tahun galinya cepat sekali. Ini sejak April sudah digali. Biasanya bulan Juni baru mulai digali karena stok pangan masih ada, tapi dengan adanya pandemo Covid sembilan belas orang semua pergi cari Odo ke hutan," ungkap Maksimus.
Maksimus menuturkan Odo harus mulai digali dan diolah karena bisa simpan serta tahan lama. Biasanya sampai dua bulan disimpan dan olah menjadi makanan seperti nasi.
Odo saat ini sudah menjadi pengganti nasi untuk sarapan pagi, siang malam. Jika ada beras atau nasi, Odo diolah sebagai makanan selingan.
"Kalau saat ini kita Odo untuk makan pagi, siang dan malam. Kalau ada beras selang-seling."
"Stok pangan kita sampai satu dua bulan habis kalau tidak ada Odo. Maka harus ada makanan selingan. Maka kami cari Odo atau Ondo ini," ungkapnya.
Ia mengatakan kerja untuk gali dan olah harus bersama supaya prosesnya cepat. Ada yang tukang gali, ada yang ambil dan hantar ke rumah.
Sampai dirumah diolah secara bersama sehingga kerjanya tidak berat.
Satu kelompok bisa cepat menyelesaikan pekerjaan untuk mengolah Odo.
Warga bergotong-royong untuk mengolah Odo dan hasilnya dibagi secara merata kepada anggota kelompok yang sudah kerjasama tersebut.
"Ada anggota keluarga yang baru ikut gali dan olah Odo. Mereka ikut bergabung dengan kita supaya bisa kerjasama untuk olahnya. Karena ada yang tidak tau olah Odo," ungkapnya.
Baru Ikut Gali Odo
Warga lainnya Leo Rengga (40) mengatakan dirinya baru pertama kali ikut menggali Odo di hutan. Sebelumnya hanya bisa makan Odo yang sudah diolah oleh orangtua.
"Saya baru pertama ikut gali Odo di hutan. Karena memang stok pangan menipis bahkan sudah habis. Dua bulan lebih tidak ada kerja. Selama ini sudah tidak biasa. Sayur dan tomat yang ada dikebun hancur semua mau jual dimana," ungkap Leo.
Pria yang berprofesi sebagai tukang bangunan ini mengatakan selama satu bulan terkahir ini, ia tak lagi bekerja sehingga tidak ada pendapatan sama-sekali.