Hari Buruh 2020
Hari Buruh 1 Mei 2020, Lebih dari 2 Juta Pekerja Kena PHK di Tengah Pandemi Virus Corona
Di hari buruh 1 Mei 2020 ini, ada lebih dari 2 juta orang yang kehilangan pekerjaannya akibat pandemi virus corona.
Bagi buruh yang dirumahkan, alternatif pekerjaan yang tersedia adalah menjadi pengendara ojek daring atau membuka usaha mikro dan kecil menengah seperti berdagang di warung atau di pinggir jalan.
Namun, pekerjaan tersebut juga tidak memiliki prospek cerah di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang.
Salah satu pekerja yang beralih menjadi pengendara ojek daring adalah Kiki, yang sempat bekerja sebagai pegawai gudang di sebuah perusahaan periklanan selama tiga bulan sebelum kontraknya diputus pada 14 April.
"Saya ngojek online sekarang. Pendapatannya paling Rp 20.000 per hari, karena sepi, soalnya tidak ada penumpang, paling mengambil order makanan, atau antar barang, dan yang ngorder juga tidak banyak," katanya.
Ia mengaku sudah mendaftar untuk menjadi peserta program Kartu Prakerja namun terus gagal.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Ketenagakerjaan Soes Hindharno mengatakan bahwa calon peserta program Kartu Prakerja diminta sabar dan terus mencoba untuk mendaftar lantaran kuota yang diberikan setiap minggunya hanya untuk 200.000 orang.
"Kartu Prakerja itu stoknya ada 5,6 juta calon peserta yang akan ikut program. Jumlah masyarakat umum yang terdampak Covid-19 ada 5.6 juta, di dalamnya ada [buruh] yang dirumahkan dan di-PHK."
"Karena setiap minggu hanya mampu menampung 200.000 peserta, tentunya calon peserta yang mau mendaftar menemui sedikit kendala. Kalau buruh sudah terdaftar di Dinas Tenaga Kerja tentunya sudah punya tiket masuk, cuma belum bisa masuk minggu ini karena hanya menampung 200.000. Tetap bersabar, memonitor setiap minggunya agar masuk ke gelombang berikutnya," ujar Soes.
Buruh kontrak paling terdampak
Menurut Sarinah dari Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan, buruh kontrak, atau mereka yang dipekerjakan hanya untuk periode tertentu, lebih rentan dipecat dalam krisis ekonomi ketimbang karyawan tetap.
Jumlah buruh kontrak yang sudah tidak lagi bekerja sulit ditentukan karena keberadaannya susah terdeteksi oleh serikat buruh, kata Sarinah.
"Ketika order itu menurun maka perusahaan akan mengurangi pekerja, yang akan dikurangi dulu adalah buruh-buruh dengan status kontrak atau outsourcing karena itu lebih gampang secara hukum dan itu tidak terlalu mahal. Berbeda misalnya kalau mereka harus melakukan PHK kepada buruh-buruh yang statusnya tetap, biayanya itu lebih besar karena ada pesangon," ujar Sarinah.
Satu bulan sebelum Lebaran biasanya dimanfaatkan perusahaan untuk melepas para buruh kontrak, sehingga mereka tidak perlu menunaikan kewajiban membayar THR.
Hal tersebut disampaikan Indrasari Tjandraningsih, pengajar Manajemen Hubungan Industrial di Universitas Parahyangan, Bandung.
"Karena sebelum krisis pun sudah banyak sekali praktik pekerja kontrak dilepas hanya beberapa minggu sebelum Lebaran, karena kewajiban membayar THR [harus dilakukan] dua minggu sebelum Lebaran. Itu sudah praktik lama dan sekarang terjadi lagi, dan alasan pandemi Covid-19 itu menjadi sangat sulit. Kita sulit membantah bahwa memang situasi sekarang ini memang membawa kesulitan, pengusaha sulit, pekerja jauh lebih sulit," kata Indrasari.