Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Virus Corona

Mengapa Pasien Covid-19 Sering Menyangkal dan Berdusta Ketika Lakukan Pemeriksaan?

Mengapa banyak orang (pasien) memilih untuk berbohong atau melakukan penyangkalan?

Editor: Frandi Piring
(AFP/OZAN KOSE)
Petugas medis mengenakan pakaian pelindung mengawal perempuan yang diduga terinfeksi virus corona di Istanbul, Turki, pada 12 April 2020. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Wabah penyakit Covid-19 yang disebabkan oleh virus corona jenis SARS-CoV-2 saat ini  tengah menjadi momok mengerikan bagi dunia.

Pemerintah dan Petugas medis berusaha untuk melakukan contact tracing dan melangsungkan rapid test agar semua pasien Covid-19 teridentifikasi.

Akan tetapi, hal itu diperparah oleh perilaku masyarakat yang tidak kooperatif.

Beberapa waktu lalu, sebanyak 46 dokter di RS dr Kariadi Semarang dinyatakan positif Covid-19 karena pasien yang tidak jujur saat dilakukan tes massal dan ditanya mengenai riwayat perjalanan.

Setali tiga uang dengan pasien, pihak keluarga pun kerap mengindahkan pentingnya identifikasi Covid-19. Di RS TNI Ciremai, Cirebon, keluarga pasien Covid-19 berbohong dan berkacak pinggang kepada petugas medis saat ditanyai riwayat perjalanan.

Tak hanya berbohong, keluarga pasien justru marah ketika ditanyai mengenai riwayat kontak.

Di tengah pentingnya identifikasi pasien dan upaya mencegah penyebaran Covid-19, mengapa banyak orang memilih untuk berbohong atau melakukan penyangkalan?

(Ilustrasi) Pelaksanaan rapid test di Puskesmas Kramat Jati, Jakarta Timur, Kamis (26/3/2020).
(Ilustrasi) Pelaksanaan rapid test di Puskesmas Kramat Jati, Jakarta Timur, Kamis (26/3/2020). (Warta Kota/Rangga Baskoro)

Masifnya arus informasi dan minimnya literasi

Dosen dan Psikolog Klinis dari Fakultas Psikologi UNAIR, Tri Kurniati Ambarini, M.Psi., mengatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah arus informasi mengenai virus corona yang sangat masif.

“Ada informasi negatif, dan ada informasi positif. Informasi negatif di sini mungkin bertujuan untuk mengedukasi masyarakat, namun tidak semua orang bisa menyeimbangkan antara informasi negatif dan positif itu,” tuturnya kepada Kompas.com, Kamis (23/4/2020).

Secara psikologis, lanjut Tri, manusia lebih mudah menyerap informasi negatif dan membuat hal itu menjadi sesuatu yang kita percaya. Hal ini berkaitan erat dengan minimnya literasi mengenai kesehatan, di mana masyarakat tidak dibiasakan berhadapan dengan data yang seimbang.

“Dalam aspek kesehatan kita memang jarang mendapatkan informasi yang apa adanya. Kita terbiasa oleh doktrinasi sebab-akibat, sakit apa menyebabkan dampak apa. Pola pemikiran seperti itu sulit untuk diubah,” lanjutnya.

Kemampuan menyeimbangkan informasi positif dan negatif serta minimnya literasi kesehatan menimbulkan apa yang disebut sebagai stigma.

Stigma yang muncul dalam kasus ini adalah pasien yang positif Covid-19 akan dijauhi, diisolasi, jauh dari keluarganya. Apakah pasien akan sembuh sepenuhnya, atau akan menginfeksi orang terdekatnya.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved