Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Paskah dan Jumat Agung

Kisah Guru di Puncak Golgotha, Meski WajahNya Bersimbah Darah tapi KasihNya Tak Pernah Sirna

Hari ini, Jumat (10/04/2020), seluruh umat Kristen memperingati Jumat Agung.

Editor: Alexander Pattyranie
Istimewa/https://triaskun.id/ via Wartakotalive
Ponsius Pilatus cuci tangan, melepaskan tanggung jawab akan nasib Yesus 

Tetapi, sepotong kata itu, cinta, oleh Guru diberi makna. Dan, diwujudkan sehabis-habisnya, bahkan hidupnya pun direlakan demi cinta.

Dan karena itu, Guru menawarkan jalan cinta. Ia adalah inisiator cinta.

Guru lebih dulu mencintai para muridnya, dan siapa pun yang mendambakan kehidupan damai, yang menjunjung nilai-nilai persaudaraan, yang peduli kepada sesama, yang tidak menutup mata dan hati bagi sesama meskipun berbeda dalam segala hal.  

Memang,  meskipun mengajarkan kelemah-lembutan dan rasa hormat, namun kadang-kadang kata-katanya keras dan bahkan provokatif, terutama terhadap para pemegang kuasa yang menyeleweng, yang mementingkan diri sendiri, mementingkan keluarga, kelompoknya, dan juga yang korup materi dan menyalahgunakan kekuasaan.

Guru juga mengecam para pemuka agama yang munafik, yang menganggap diri paling suci, yang sok saleh,  dan gampang menuding orang lain sebagai orang berdosa, dan kafir.

Para pemimpin agama yang memamerkan ibadahnya tetapi tidak mampu mencintai orang lain, melainkan membenci sesama yang tidak segolongan, disebut sebagai pembohong besar.

Kelompok elite-religius dan politik pun tak luput dari kritikan Guru dari desa ini. Mereka dikritik karena mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, korup, sementara rakyat hidup dalam kemiskinan

Karena itu, para pemimpin politik, para pemuka agama, dan tetua masyarakat bersekongkol untuk menangkap dan menyingkirkan Guru yang penuh belas kasih dan pengampun itu.

Mereka merasa kewibawaan dan otoritasnya tergerus oleh tindakan dan omongan Guru. Maka, lahirlah konspirasi antara penguasa, pemimpin agama, dan para tokoh politik.

Inilah konspirasi politik dan agama, yang berujung pada ketidakadilan dan penolakan terhadap kebenaran.

Ajaran agama yang semestinya bersifat monastik dan sakral berkembang menjadi entitas profan dengan menempatkan para agamawan sebagai penjaga kekuasaan dari penguasa dengan mengikat pemahaman moral masyarakat secara dogmatik.

Guru paham semua itu. Karena itu, meskipun tidak berpolitik praktis, tetapi sikap politiknya sangat jelas: memperjuangkan bonum commune kesejahteraan bersama.

Hal itu diwujudkan dengan berjuang membela dan menegakkan keadilan dan kebenaran, sesuai hukum yang berlaku. Kebenaran tidak pernah mati atau pudar, meskipun kerap kali dikorbankan.

Sebab, veritas filia temporis, non auctoritatis, kebenaran adalah anak zaman, bukannya anak mereka yang berkuasa.

Sikap politik semacam itu jelas menegaskan bahwa berpolitik itu melayani. Melayani orang lain demi terwujudnya kesejahteraan.

Sumber: Warta Kota
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved