Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

RKUHP

Rencana Pengesahan RUU KUHP di Tengah Pandemi Corona Menuai Kritik, Napitupulu: Tidak Layak Dibahas

Rencana melanjutkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ke pembahasan tingkat II menuair kritik.

Editor: Rizali Posumah
NET
Ilustrasi. Lanjutkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ke pembahasan tingkat II terus menuai kritik dari berbagai pihak. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - DPR telah berencana melanjutkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ke pembahasan tingkat II.

Tahapan ini adalah persetujuan pengesahan RKUHP menjadi UU di Rapat Paripurna DPR.

Langkah DPR ini terus menuai kritik.

Apalagi proses pengambilan keputusan itu terjadi di tengah pemerintah dan masyarakat berjibaku untuk melakukan social distancing dan physical distancing dalam mengatasi pandemi Covid-19.

"Menurut kami Rancangan KUHP tidak layak dibahas," kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (5/4/2020).

Ia menilai, RKUHP yang ada saat ini belum mampu memperbaharui KUHP yang sudah ada.

Para pembuat UU masih menggunakan paradigma lama bahwa pemidanaan dengan hukuman penjara menjadi solusi atas penyelesaian sebuah tindak pidana.

Padahal pada saat yang sama, lembaga pemasyarakatan (lapas) tengah disibukkan dengan persoalan penuhnya kapasitas atau overcrowding.

Bahkan, di tengah pandemi saat ini, pemerintah berupaya untuk membebaskan 30.000 narapidana dengan tujuan mengurangi overcrowding untuk meminimalisir dampak penyebaran Covid-19 di lapas.

"Masalah overcrowding itu adalah hasil. Apapun selalu dipidana kalau di Indonesia. Hukuman penjara itu dianggap sebagai solusi, makanya jumlah napi selalu naik," kata dia.

Di dalam Pasal 21 ayat (4) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana dalam hal tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

Atas dasar itulah, ia menambahkan, para pembuat UU kemudian berlomba-lomba merancang sejumlah UU yang memiliki ancaman hukuman di atas lima tahun.

Dengan tujuan, para pelaku kejahatan dapat dihukum dengan hukuman penjara.

Sebagai contoh, UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang memiliki ancaman hukuman enam tahun penjara, pornografi (10 tahun) dan perjudian (9 tahun).

"Itu adalah bentuk tindak pidana yang menurut kami tidak perlu dilakukan penahanan dan tingkat kerusakannya tidak tinggi," ucapnya.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved