Perangi Covid 19: Nekat Resepsi Nikah Terancam Pidana Penjara
Polri memastikan petugas di lapangan akan membubarkan setiap kegiatan pengumpulan atau kerumunan massa menyusul adanya bencana
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
Kemudian, Pasal 216 ayat (1) KUHP menyebutkan, “Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Rp 9.000”.
Lalu, Pasal 218 KUHP mengatur, “Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Rp 9.000”.
• Tujuh Dokter Meninggal Perangi COVID-19: Jumlah Pasien Positif 579 Orang
MA tak Bisa Tunda Persidangan Meski Ada Corona
Mahkamah Agung (MA) tak juga mengeluarkan keputusan penghentian atau penundaan proses persidangan di pengadilan kendati saat ini pandemi virus corona tengah terjadi. Namun, lembaga yang membawahi lembaga peradilan itu menyatakan tidak bisa menunda proses sidang karena berkejaran dengan waktu penahanan para terdakwa.
Hal itu disampaikan Kabiro Hukum Dan Humas MA Abduldflah saat dihubungi, Senin (23/3).
Abdullah mengatakan, masa penahanan para terdakwa akan terus berjalan meskipun sidangnya ditunda. Adapun sistem kerja dari rumah atau "work from home" tetap berdampak pada masa penahanan terdakwa.
"MA bisa saja melakukan hal dan kebijakan yang sama (WFH). Konsekuensinya, bagaimana dengan sidang perkara pidana. Masa penahanan terbatas. Ketika dinyatakan kerja di rumah, hitungan masa penahanan berjalan terus," ujar Abdullah.
"Jika ada dalam masa kerja di rumah masa penahanan habis, akibatnya terdakwa keluar tahanan demi hukum. Penuntut Umum pasti dirugikan," sambungnya.
Ia menegaskan MA tidak bisa menunda persidangan di tengah pengadilan meskipun sedang terjadi pandemi virus corona saat ini.
Abdullah mengatakan, jika masa penahanan para terdakwa dibantarkan selama sidang ditunda pun akan menimbulkan pertanyaan baru karena faktanya para terdakwa juga tetap ditahan. "Jika dibantarkan siapa yang menanggung resiko. Status dibantarkan, maka selama masa pembantaran tidak dihitung sebagai masa penahanan. Apakah masa penahanan di lembaga pemasyarakatan boleh tidak dihitung, sedangkan secara nyata terdakwa menjalaninya," ujar Abdullah.
Abdullah melanjutkan, pengajuan upaya hukum seperti banding, kasasi dan Peninjauan Kembali (PK), juga akan terpengaruh bila akhirnya MA menunda sidang ataupun menerapkan sistem kerja dari rumah atau "work from home". Apalagi, upaya hukum tersebut dibatasi syarat pengajuan selama 14 hari.
"Bagaimana menghitung waktu upaya hukum, banding, kasasi dan PK yang waktunya terbatas 14 hari? Tentunya masalah baru lagi," ujarnya.
Menurutnya, jika ada argumentasi bahwa untuk perkara perdata, perdata agama, dan PTUN boleh bekerja di rumah, maka akibatnya akan muncul ketidakadilan secara internal.
"Percayalah pimpinan (MA) sudah memikirkan dan terus monitor dan evaluasi. Saya yakin hasilnya digunakan membuat kebijakan. Sabar lah dan terus mengikuti protokol yang dibuat oleh pemerintah atau daerah," ujarnya.
Pernyataan dari MA ini disampaikan menyusul kritik dari Koalisi Pemantau Peradilan.