Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Belajar Politik Bertoleransi dari Kasus di Minahasa Utara

Kebutuhan tempat ibadah bagi sekelompok kecil pemeluk agama minoritas di suatu daerah perlu mendapat perhatian penuh pemerintah dan masyarakat.

Editor: Sigit Sugiharto
Dr Ahmad Rajafi MHI
Dr Ahmad Rajafi MHI 

Oleh : Dr Ahmad Rajafi MHI

Wakil Rektor 1 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado

Wakil Rois Syuriah PWNU Sulawesi Utara

Indonesia adalah satu dari negara di dunia yang tidak menjadikan agama sebagai rujukan utama hingga menjadi Negara Agama

dan tidak juga menafikan agama dalam bernegara sehingga menjadi Negara Sekuler.

Indonesia melalui para pendirinya menyepakati untuk membangun bangsa ini dengan satu ideologi bersama, yakni Pancasila

yang diawali dengan Sila Pertama "Ketuhanan yang Maha Esa" sebagai petunjuk bahwa meskipun negara ini bukan negara agama

tapi negara ini memberikan yang terbaik bagi warga negaranya untuk dapat menjalankan ajaran agamanya dengan penuh rasa damai, aman, dan tanpa paksaan.

Sejarah menunjukkan bahwa melalui sila pertama tersebut, Negara di era Orde Baru telah membuat keputusan untuk hanya

mengakui eksistensi lima agama, yakni; Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, dan Budha.

Seluruh Elemen Masyarakat Bolmong Sepakat Jaga Toleransi

Lalu di era Reformasi pada masa kepresidenan KH Abdurrahman Wahid ditambah satu agama lagi yang diakui, yakni Konghucu,

meskipun pada dasarnya agama tersebut telah diakui di masa Soekarno dengan terbitnya UU No. 1/PNPS/1965 yang dikukuhkan dengan UU No. 5 tahun 1969,

namun regulasi tersebut tidak dapat diterapkan kembali setelah terbitnya instruksi presiden pada tahun 1967 oleh Presiden Soeharto,

yang melarang semua jenis tradisi Tionghoa termasuk Konghucu yang dilaksanakan secara terbuka.

Kecelakaan sejarah tersebut seolah menjadi "kamus" bersama dari masa ke masa di Indonesia sebagai rujukan adanya kuasa mayoritas atas minoritas,

sehingga dalam konteks Indonesia secara umum yang dihuni oleh kelompok agama Islam dan yang selain Islam adalah kelompok minoritas,

berimplikasi pada terbatasnya eksistensi minoritas akibat kuasa mayoritas, dan ini juga berlaku di daerah tengah dan timur Indonesia yang lebih didominasi

oleh kelompok agama selain Islam, dan muslim sebagai minoritas, salah satunya adalah Provinsi Sulawei Utara yang didominasi oleh kelompok Agama Kristen.

Namun, negara seolah tidak pernah belajar dari kesalahan masa lalu yang menggunakan politik kekuasaan untuk melanggengkan kuasa mayoritas atas minoritas,

hal ini terbukti dengan lahirnya aturan tentang pendirian Rumah Ibadah, seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006

tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, yang

menekankan:

1. Daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah;

2. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;

3. Rekomendasi tertulis kepala Kantor Departemen Agama (Kantor Kementerian Agama, Pen) Kabupaten/Kota, dan;

4. Rekomendasi tertulis FKUB Kabupaten/Kota.

Berdasar pada regulasi inilah maka banyak terjadi kekerasan baik verbal maupun non-verbal di beberapa daerah di Indonesia

yang dilakukan oleh kelompok mayoritas ketika kelompok minoritas berinisiatif untuk mendirkan rumah ibadah mereka.

Salah satunya yang viral hingga dikomentari oleh tokoh-tokoh Nasional adalah aksi vandalisme dari sekelompok orang terhadap

tempat pertemuan umat Islam di Perumahan Agape Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara.

Bagi masyarakat di luar Sulawesi Utara, kejadian vandalisme tersebut tentu kontradiksi dengan image positif yang terbangun secara nasional,

bahkan internasional tentang toleransi di masyarakat.

Tapi, sesungguhnya image positif tentang toleransi yang terbangun bukan berarti tanpa konflik, karena konflik adalah keniscayaan,

akan tetapi tindakan cepat dan tepat yang dilakukan oleh semua pihak termasuk pemerintah setempat, menjadi kunci kesuksesan dalam meneguhkan image positif tersebut.

Kini, Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara telah melakukan aksi cepat dan tepat dalam menyelesaikan kasus di Perumahan Agape,

dan tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Tidak sampai dua minggu dari aksi vandalisme tersebut, provokator dan beberapa orang yang melakukan kekerasan telah diamankan oleh pihak kepolisian,

melalui kerjasama yang baik antara MUI dan FKUB melahirkan rekomendasi pendirian rumah ibadah (masjid) bagi masyarakat perumahan Agape,

dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk rumah ibadah tersebut juga telah terbit dan diserahkan langsung oleh Bupati kepada Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Minahasa Utara.

Pertanyaan besarnya, mengapa konflik-konflik intoleransi cepat sekali terselesaikan dan Sulawesi Utara?

Untuk menjawab ini, maka cukup dengan menggunakan dua adagium yang senantiasa ditanamkan secara sosial kepada seluruh masyarakat Sulawesi Utara,

baik yang telah lama menetap sebagai penduduk lokal, maupun para pendatang yang sudah tinggal dan menetap di Sulawesi Utara, yakni;

sitau timou tumoutou (manusia memanusiakan manusia) dan torang samua basudara karena torang samua ciptaan Tuhan (kita semua adalah bersaudara karena kita semua adalah ciptaan Tuhan).

Melalui kedua adagium tersebut, maka pasca konflik bukan aksi balasan yang dilakukan oleh mereka yang dirugikan,

tapi aksi damai dengan bersama-sama meminta aparat kepolisian agar segera mengamankan para pelaku pengerusakan,

dan pemerintah setempat diminta untuk segera menyelesaikan konflik yang mengatasnamakan agama tersebut.

Inilah jalan politik toleransi yang dibangun di Provinsi Sulawesi Utara seperti yang diimplementasikan oleh pemerintah Kabupaten Minahasa Utara.

Meskipun demikian, implikasi negatif dari regulasi pembangunan rumah ibadah tidak akan pernah pudar selama Negara ini belum memahami hakikat keberagaman.

Masih banyak vandalisme atas nama agama yang akan/telah melarang berdirinya rumah-rumah ibadah, bahkan ketika syarat-syarat sudah terpenuhi,

hanya karena kuasa mayoritas atas minoritas.

Padahal, istilah mayoritas dan minoritas bagai api dalam sekam, suatu saat ia akan meledak dan menciptakan kobaran api yang begitu besar

sehingga meluluh lantahkan semua yang berada didekatnya.

Pada akhirnya, dibutuhkan komitmen bersama untuk dapat meninggalkan dan menanggalkan tirani mayoritas atas minoritas,

atas nama apapun termasuk agama, melalui politik toleransi yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan,

bukan politik kepentingan dan golongan yang bersifat sesaat dan kemanfaatan jangka pendek,

dengan memahami bahwa Tuhan menghadirkan nilai-nilai keagamaannya adalah untuk kemaslahatan manusia, maka seyogyanya setiap individu tidak "membajak Tuhan",

sehingga hilang akal sehatnya dan menyakiti sesama manusia yang tercipta dari Tuhan yang Maha Kuasa.

Rumah ibadah dibangun untuk menjadi tempat berkomunikasi yang tenang dan damai antara manusia sebagai yang tercipta (al-makhluq) dengan Sang Penciptanya (al-Khaliq),

maka seberapapun jumlah masyarakat di suatu tempat, meskipun minoritas dari segi kuantitas, tapi mereka juga adalah warga negara Indonesia

yang wajib mendapatkan pelayanan prima dari Negara sehingga mereka mampu beribadah tanpa ada rasa takut di sekeliling mayoritas yang berbeda keyakinan dengannya.

Wallahua'lam.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Aib untuk Like

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved