KPK Minta Politisi PDIP Serahkan Diri
Jelang Rakernas I dan HUT ke-49, kader PDIP terseret kasus suap. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta politisi PDIP Harun Masiku.
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID - Jelang Rakernas I dan HUT ke-49, kader PDIP terseret kasus suap. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta politisi PDIP Harun Masiku untuk menyerahkan diri. Hal ini berkaitan dengan ditetapkannya Harun sebagai tersangka kasus suap penetapan anggota DPR 2019-2024 yang juga menjerat Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
• Jokowi Jemput Investasi ke Abu Dhabi
"KPK meminta tersangka HAR (Harun Masiku) segera menyerahkan diri ke KPK," kata Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (9/1/2020). Harun diduga menjadi pihak yang memberikan uang kepada Wahyu agar membantunya menjadi anggota legislatif melalui mekanisme pergantian antar waktu.
Menurut Lili Pintauli, kasus ini bermula saat DPP PDIP mengajukan Harun Masiku sebagai penganti Nazarudin Kiemas sebagai anggota DPR RI, yang meninggal pada Maret 2019. Namun, pada 31 Agustus 2019 KPU menggelar rapat pleno dan menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin Kiemas.
Wahyu kemudian menyanggupi untuk membantu Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR terpilih melalui mekanisme PAW. "WSE (Wahyu) menyanggupi membantu dengan membalas: 'Siap mainkan!'," ujar Lili.
Sebagai pihak pemberi suap, HAR dan SAE disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Selain meminta Harun menyerahkan diri, KPK juga meminta kepada pihak lain yang terkait untuk bersikap kooperatif.
"Dan pada pihak lain yang terkait dengan perkara ini agar bersikap koperatif," kata Lili.
Dalam kasus ini, Wahyu disebut meminta dana sebesar Rp 900 juta kepada Harun untuk membantu penetapan Harun sebagai anggota DPR 2019-2024 melalui mekanisme pergantian antar-waktu. "Untuk membantu penetapan HAR sebagai anggota DPR-RI pengganti antar-waktu, WSE (Wahyu Setiawan) meminta dana operasional Rp 900 juta," kata Lili.
• PLN Peduli Serahkan Bantuan Bagi Korban Bencana Banjir dan Longsor di Sangihe
Atas permintaan itu, pada pertengahan Desember 2019, Harun memberikan Rp 200 juta kepada Wahyu. Uang itu diterima Wahyu melalui mantan anggota Badan Pengawas Pemilu yang juga orang kepercayaannya, Agustiani Tio Fredlina, di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.
Selanjutnya, pada akhir Desember 2019, Harun kembali menitipkan uang kepada Agustiani sebesar Rp 450 juta.
Rencananya, dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 400 juta akan diberikan ke Wahyu. Namun, belum sampai ke tangan Wahyu, KPK telah menangkap pihak-pihak terkait melalui operasi tangkap tangan, Rabu (8/1/2020).
"Tim menemukan dan mengamankan barang bukti uang Rp 400 juta yang berada di tangan ATF (Agustiani Tio Fredlina) dalam bentuk dolar Singapura," kata Lili. Selain Wahyu, KPK juga menetapkan Agustiani Tio Fridelina, Harun Masiku, dan pihak swasta bernama Saeful sebagai tersangka.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP, Djarot Saiful Hidayat membenarkan bahwa kantor DPP PDIP sempat akan digeledah penyidik KPK terkait kasus yang menjerat Wahyu. "Iya, aku udah kontak DPP tadi," ujar Djarot membenarkan kejadian itu saat ditemui di JI-Expo Kemayoran pada Kamis, 9 Januari 2020.
Kendati demikian, kata Djarot, para penyidik KPK tidak diizinkan menggeledah dengan alasan penyidik tak memiliki bukti-bukti. "Kami menghormati proses hukum, tapi mereka tidak dilengkapi bukti-bukti yang kuat seperti surat tugas dan sebagainya," ujar Djarot.
Djarot mengatakan, PDIP tidak akan mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan terkait proses OTT Harun. ”Kami tidak akan melakukan intervensi, siapa pun yang bersalah akan diberikan sanksi tegas. Oknum-oknum ini tidak mewakili partai karena yang mereka lakukan merupakan perbuatan individu,” katanya.
Djarot mengatakan, kasus yang menimpa Harun diduga terkait proses PAW terhadap caleg PDIP, Nazarudin Kiemas, yang meninggal pada Maret 2019.
Meski telah meninggal, Nazarudin mendapat suara terbanyak pada pileg 2019. Setelah itu, posisinya diisi oleh caleg PDI-P lain, Rizky Aprilia, yang kemudian dilantik menjadi anggota Komisi IV DPR. Kasus suap yang dilakukan oleh Harun diduga untuk menggeser Rizky dari posisinya di Komisi IV DPR.
Melalui cuitan bernada bertanya, Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief menyeret dua staf Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto di pusaran OTT KPK terhadap komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Apa kata Hasto? "Sampai saat ini kita belum tahu, karena itu kita menunggu keputusan dan apa yang disampaikan oleh KPU. Kabarnya KPU akan mengeluarkan press realese terkait masalah tersebut," kata Hasto di JI Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (9/1/2020).
"Untuk itu mari kita lihat upaya yang dilakukan KPK adlaah hal yang positif, kemudian saya sebagai sekjen tentunya saja bertanggungjawab terhadap pembinaan kader-kader partai," sambungnya.
• Warga Terganggu Aksi Balap Liar, Satlantas Polres Bitung dan Polsek Maesa Lakukan Penindakan
Institusi Kena Sanksi Publik
Pengamat politik dari Unsrat, Ferry Liando menilai kasus operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan jadi pelajaran bagi institusi. Baik penyelenggara pemilu maupun parpol.
Meski dilakukan oknum, ada sanksi publik bagi institusi terkait nama baik dan kepercayaan. Menjadi penyelenggara (pemilu) rentan diganggu karena banyak pihak yang berkepentingan.
Kejahatan bisa terjadi karena 3 faktor yakni niat, kesempatan dan tekanan eksternal.
Bisa jadi peristiwa ini karena tekanan eksternal terutama yang berkepentingan terhadap kebijakan KPU. Namun demikian apapun faktor yang melatarbelakangi peristiwa itu, hal ini tidak bisa dibenarkan. Kejadian itu harusnya tidak boleh terjadi.
Walaupun pelakunya hanya satu orang namun bisa menggagu institusi secara keseluruhan. Ini pukulan berat yang harus ditanggung institusi. Butuh waktu panjang untuk memulihkan nama baik dan kepercayaan publik.
Bagi penyelenggara pemilu, kejadian ini menjadi pelajaran bagi penyelenggara lain untuk selalu berhati-hati. Namun demikan jika benar ada dugaan keterlibatan elit partai besar di Indonesia dalam kasus ini, harusnya di buka secara terang benderang ke publik.
Biar juga publik yang akan memberikan penilaian tersendiri. Tidak boleh ada korupsi yang motifnya ada pengaruh parpol. Proses hukumnya lagi berjalan. Perlu pembuktian untuk benar bahwa elite parpol tersebut perlu ada sanksi politik. (ryo/dtc/kps)