Hukuman Mati Koruptor
Gerindra Dukung Jokowi Terapkan Hukuman Mati untuk Koruptor, Mahfud MD: Saya Setuju
Ketua DPP Partai Gerindra Desmond J Mahesa mengatakan, hukuman mati bagi terpidana korupsi perlu diterapkan di Indonesia.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Isu penerapan hukuman mati kepada pelaku korupsi di Indonesia, menjadi perbincangan hangat belakangan ini.
Berawal dari pernyataan Presiden Joko Widodo yang mendukung aturan hukuman mati untuk koruptor diterapkan asalkan ada kehendak kuat dari masyarakat, telah membuat para menteri dan anggota DPR RI buka suara.
Ketua DPP Partai Gerindra Desmond J Mahesa mengatakan, hukuman mati bagi terpidana korupsi perlu diterapkan di Indonesia. Hal ini, kata dia, untuk memberikan efek jera.
"Kalau ini dalam rangka efek jera dalam rangka tidak terjadi lagi korupsi ya harus kita lakukan. Kenapa tidak dalam rangka kepentingan nasional," kata Desmond di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (10/12/2019).

• Terpidana Korupsi Bakal Dihukum Mati, DPR dan Pemerintah Sepakat, Asalkan Masyarakat Kehendaki
Desmond menilai, pernyataan Presiden Jokowi sudah jelas bahwa hukuman mati bisa ditetapkan jika atas kehendak rakyat.
Oleh karena itu, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) harus direvisi.
"Makanya pak Jokowi bilang kalau masyarakat mau, berarti UU-nya harus diubah," ujar dia.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo menjelaskan penerapan hukuman mati dapat diatur sebagai salah satu sanksi pemidanaan dalam Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) melalui mekanisme revisi di DPR.
"Itu yang pertama kehendak masyarakat, kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU pidana tipikor, itu (bisa) dimasukkan," kata Jokowi usai menghadiri pentas drama 'Prestasi Tanpa Korupsi' di SMK 57, Jakarta, Senin (9/12/2019).
• Presiden Jokowi Sebut Aturan Hukuman Mati Bagi Koruptor Bisa Diterapkan di Indonesia, Jika Ada Ini
Jokowi meyakini, jika ada keinginan dan dorongan kuat dari masyarakat, maka DPR akan mendengar. Namun, ia menekankan, semuanya akan kembali pada komitmen sembilan fraksi di DPR.
"Sekali lagi juga termasuk yang ada di legislatif," kata dia.
Saat ditanya apakah pemerintah akan menginisiasi rancangan atau revisi UU yang memasukkan aturan soal hukuman mati bagi koruptor, Jokowi tak menjawab dengan tegas.
Soal Hukuman Mati untuk Koruptor, Mahfud MD: Sejak Dulu Saya Setuju
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyebutkan bahwa dirinya setuju dengan hukuman mati terhadap para koruptor.
Namun diberikan hukuman mati atau tidak, kata dia, hal tersebut merupakan urusan hakim dan jaksa.
"Iya itu (hukuman mati) tergantung hakim dan jaksa. Saya sejak dulu sudah setuju hukuman mati koruptor, karena itu merusak nadi, aliran darah sebuah bangsa, itu dirusak oleh koruptor," kata Mahfud di Kantor Kemenkopolhukam, Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2019).
Mahfud mengatakan, saat ini aturan soal hukuman mati terhadap koruptor sudah ada dalam undang-undang (UU).
UU yang dimaksud adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Soal hukuman mati tersebut, tercantum dalam Pasal 2 tentang Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Mahfud mengatakan, apabila koruptor tersebut korupsi dalam jumlah yang besar karena rakus, maka dia pun setuju untuk menghukumnya dengan hukuman mati.
"Sebenarnya kan sudah ada ancaman hukuman mati kalau melakukan pengulangan dan atau melakukan korupsinya di saat ada bencana. Itu sudah ada, cuma kriteria bencana itu yang belum dirumuskan," kata dia.
Dalam UU tersebut, bencana yang dimaksud dijelaskan kembali dalam penjelasan Pasal 2 Ayat 2 yang berbunyi:
Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
• Profil Artha Theresia Silalahi, Calon Hakim Agung Setuju Hukuman Mati, Dikenal Bergelimang Harta
Dengan demikian, kata dia, jika hukuman mati itu akan diterapkan, maka tak perlu lagi ada UU baru.
"Karena perangkat hukum yang tersedia sudah ada. Makanya sudah masuk di UU, artinya pemerintah serius, tapi kan itu urusan hakim," kata dia.
"Kadang kala hakimnya malah mutus bebas, kadang kala hukumannya ringan sekali. Kadang kala sudah ringan dipotong lagi. Ya sudah itu, urusan pengadilan. Di luar urusan pemerintah," tutup dia.
SUBSCRIBE YOUTUBE TRIBUNMANADO OFFICIAL:
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Gerindra Sebut Hukuman Mati Perlu Diterapkan Guna Berikan Efek Jera