Begini Prediksi BI soal Tekanan Kenaikan Harga Rendah setelah Natal
Bank Indonesia (BI) memperkirakan tekanan kenaikan harga pada Januari 2020 atau pada 3 bulan mendatang akan lebih rendah
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) memperkirakan tekanan kenaikan harga pada Januari 2020 atau pada 3 bulan mendatang akan lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya. Sementara tekanan kenaikan harga pada April 2020 atau 6 bulan mendatang diperkirakan lebih tinggi.
Berdasarkan survei penjualan eceran yang dilakukan BI, Indeks Ekspektasi Harga Umum (IEH) 3 bulan yang akan datang adalah sebesar 149,2 atau lebih rendah dari IEH bulan September 2019 yang menunjukkan angka 153,1.
• Tensi Politik Memanas Jelang Pilkada: GSVL Sebut SDM Sulut 3 Terbawah
Sementara itu, IEH 6 bulan yang akan datang terlihat sebesar 173,9 atau lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang sebesar 164,3. Bila melihat penjualan eceran pada 3 dan 6 bulan mendatang, responden memperkirakan penjualan eceran pada 3 bulan mendatang akan mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari Indeks Ekspektasi Penjualan (IEP) 3 bulan yang akan datang sebesar 155,7 atau lebih rendah dari bulan sebelumnya yang sebesar 159,8.
"Ini sejalan dengan normalisasi penjualan pasca-libur Natal dan Tahun Baru," tulis BI dalam rilis terkait survei penjualan eceran, Selasa (10/12).
Sementara penjualan eceran pada 6 bulan mendatang diperkirakan meningkat. Hal ini tercermin dari IEP 6 bulan yang menunjukkan angka 154,3 atau lebih tinggi dari periode sebelumnya yang sebesar 137,0.
Penjualan eceran mengalami pertumbuhan pada Oktober 2019. Hal ini terlihat dari Indeks Penjualan Riil (IPR) pada bulan tersebut yang sebesar 215,7 atau tumbuh 3,6 persen yoy (year on year). Peningkatannya cukup signifikan, apalagi dibandingkan pertumbuhan pada bulan September 2019 yang sebesar 0,7 persen.
Menurut Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dilakukan Bank Indonesia (BI), pertumbuhan penjualan eceran terutama didorong oleh peningkatan penjualan kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau yang tumbuh 6,7 persen yoy, sementara pada bulan sebelumnya peningkatan hanya tercatat 1,4 persen yoy.
"Ini didorong oleh sub komoditas bahan makanan dan sub komoditas makanan jadi," tulis BI dalam hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) yang terbit, Selasa.
Kenaikan IPR pada bulan Oktober 2019 ini disebabkan peningkatan penjualan eceran yang didukung oleh penurunan kontraksi pada kelompok Peralatan Informasi dan Komunikasi yang semula mengalami pertumbuhan negatif 4,1 persen yoy menjadi pertumbuhan -1,6 persen yoy.
Meski begitu, laju IPR pada Oktober 2019 tertahan perlambatan kelompok suku cadang dan aksesoris. Kelompok ini mencatat pertumbuhan sebesar 18,0 persen yoy atau lebih rendah dari pertumbuhan pada bulan sebelumnya yang mencapai 19,0 persen yoy.
• Jokowi Kantongi Nama Anggota Dewan Pengawas KPK
Penjualan eceran pada bulan November 2019 diperkirakan akan tumbuh lebih lambat dari bulan Oktober 2019, meski begitu pertumbuhannya akan tetap positif. Hal ini terlihat dari IPR November 2019 yang diproyeksikan akan tumbuh 3,4 persen yoy.
Ekonomi Tumbuh 5,1 Persen
Terkait pertubuhan ekonomi, Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan tahun 2020 berkisar 5,1 persen - 5,5 persen. Adapun proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2019 mencapai 5,1 persen.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Endy Dwi Tjahjana mengatakan, pertumbuhan ekonomi 2020 sedikit lebih optimis lantaran proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2020 sebesar 3,1 persen atau lebih tinggi dibanding tahun 2019 yang hanya 3 persen.
"Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) tahun 2020 diproyeksi hanya 2% atau lebih rendah dibandingkan proyeksi tahun ini sekitar 2,3% dan China yang tahun depan diproyeksi 6% atau lebih rendah dibanding proyeksi tahun ini 6,3%. Ini sedikit banyak mempengaruhi ekonomi secara global," ujar Endy dalam diskusi di Ayana Hotel Labuan Bajo, Senin (9/12).
Endy bilang penopang ekonomi tahun depan masih mengandalkan konsumsi rumah tangga. Menurutmya, dengan kondisi ekonomi global dan perang dagamg yang masih terjadi membuat konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah masih jadi andalan.
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti mengatakan kondisi global dinilai menantang sepanjang tahun ini. Bahkan, tahun 2019 dinilai menjadi tahun yang paling berat untuk perekonomian dalam negeri.
"Jadi kita melihat angka 5,1 persen itu angka yang durable untuk tahun ini ... Tapi kita expect ya itu deket-deket 5,1 persen, di atas 5 persenlah karena kita masih punya dari sisi konsumsi kita masih quite strong, governance support untuk konsumsi khususnya di masyarakat yang berpendapatan di bawah juga banyak," kata Destry di gedung BI, Jakarta, Senin (2/12).
Dia menjelaskan, penyebab loyonya perekonomian di tahun ini karena negara tujuan ekspor terbesar Indonesia juga mengalami perlambatan ekonomi, yakni China, India dan Eropa. Namun, menurut Destry, ada sisi positif dari dalam negeri.
"Untung aja B20 udah jalan. Jadi kalau kita liat impor oil and gas itu turunnya signifikan jadi udah impact-nya, udah agak mengurangi di neraca perdagangan kita yang akhirnya memengaruhi neraca transaksi berjalan," lanjutnya.
Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto menilai pertumbuhan ekonomi tahun 2020 lebih baik karena berbagai faktor, seperti akan dibuatnya Ombibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Ombibus Law Perpajakan.
• Dapat Penghargaan Wilayah Bebas Dari Korupsi, Bawensel: Ini Hadiah Akhir Tahun Buat Polresta Manado
Menurutnya, meski ekonomi global belum pulih dan perang dagang belum akan selesai, tapi Indonesia tidak akan terdampak bila mampu menjaga dua hal yakni konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah.
"Pertumbuhan ekonomi 5,1 persen sudah ditangan dari dua faktor ini, tapi bisa lebih baik bila didukung investasi dan ekspor, dan sumber pertumbuhan ekonomi baru lain seperti pariwisata," ujar dia
Masih menurut Endy, pada kuartal IV-2019, konsumsi rumah tangga diprediksi mencapai 5,02% atau naik tipis dibandingkan kuartal III-2019 yang mencapai 5,01 persen. Menurutnya, ada perlambatan konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2019. Pada kuartal II-2019, konsumsi rumah tangga mencapai 5,17 persen.
Hal ini karena pada segmen masyarakat menengah ke atas konsumsi cenderung turun karena lebih memilih untuk menyimpan uangnya dan akan dikonsumsi pada kuartal IV-2019. Sedangkan untuk masyarakat menengah ke bawah upah cenderung turun seperti nilai tukar petani. (kontan.co.id)