Breaking News
Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Sidang Uji Meteriil UU Tipikor: Ini Keluhan Kuasa Hukum KPK

Pihak pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengakui kesulitan mendapatkan data-data kehadiran anggota DPR RI

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
(KOMPAS.com/ACHMAD NASRUDIN YAHYA)
Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil ketua KPK Laode Muhammad Syarif, dan Wakil ketua KPK Saut Situmorang ajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU KPK terbaru 

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Pihak pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengakui kesulitan mendapatkan data-data kehadiran anggota DPR RI periode 2104-2019 saat mengesahkan revisi Undang-undang KPK. Padahal data presensi tersebut sangat dibutuhkan sebagai syarat formil persidangan.

Violla Reininda, selaku kuasa hukum tiga pimpinan KPK beserta sepuluh pemohon uji formil Undang-Undang KPK nomor 19 tahun 2019 atau Undang-Undang KPK baru, mengatakan upaya mendapatkan data anggota DPR RI peserta rapat, sudah dilakukan satu minggu sebelum permohonan uji formil didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi. 

Tatong Bara Tak Niat Ikut Pilgub, Malah Dukung ODSK

"Kami akses via online. Dengan kemudahan teknologi kan tentunya semua informasi itu bisa didapatkan via online dan DPR pun memberikan akses untuk itu. Dan kami memintakan memohonkan dokumen a, b, c, d tapi memang ada yang direspon tidak positif, ada juga yang diberikan dokumennya tapi salah dokumennya. Bukan seperti yang dimintakan," kata Violla, setelah sidang.

Violla Reininda merupakan kuasa hukum tiga pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Pimpinan KPK beserta sepuluh pemohon uji formil Undang-Undang KPK nomor 19 tahun 2019 atau Undang-Undang KPK baru ke Mahkamah Konstitusi. 

Tiga Hakim Mahkamah Konstitusi menghadiri sidang pendahuluan uji permohonan formil Undang-Undang baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru atau Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 di ruang sidang lantai 4 Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta Pusat. Bertindak selaku Ketua Majelis Hakim dalam sidang tersebut yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat. Kemudian dua anggota lainnya Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Wahiduddin Adams.

Dalam sidang sidang uji formil di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta Pusat, kemarin. Dalam sidang, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta pemohon, yakni tiga pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama 10 orang pemohon lain dan 39 kuasa hukum yang mengajukan uji formil Undang-Undang KPK nomor 19 tahun 2019 menghadirkan bukti berupa daftar hadir anggota DPR RI saat sidang pengesahan Undang-Undang-Undang tersebut.

Hal itu karena para pemohon mendalilkan proses pengesahan Undang-Undang tersebut di DPR cacat formil karena tidak memenuhi tiga perempat dari jumlah anggota DPR RI atau kuorum.

"Misalnya anda punya rekaman tanda tangan yang hadir dalam sidang paripurna itu, kemudian ada rekaman yang penuh juga untuk menghitung berapa orang yang hadir di situ. Itu yang perlu disodorkan kepada kami," kata Saldi.

Menurutnya, dalam uji formil semakin banyak bukti yang disampaikan maka akan kian penting untuk memahami perkara secara konperhensif.  Meskipun kuasa hukum pemohon, yakni Violla Reininda, dalam persidangan mengatakan  kesulitan mendapatkan bukti tersebut dan mengajukan bukti berupa kutipan berita, Saldi menilai hal itu tidak cukup.

Itu karena menurutnya, dalam penelitian, kutipan berita tergolong sumber tersier (lapis/peringkat ketiga), bukan primer. Sementara, uji formil mengandalkan kepada bukti-bukti formal misalnya daftar hadir tersebut.

Megawati Usir Pendukung Khilafah dari Indonesia

"Masih ada dua atau tiga peringkat bukti lagi di atasnya yang bisa disodorkan ke kami. Karena yang namanya formal itu mengandalkan kepada bukti-bukti formal yang ada," kata Saldi.

Meski begitu, ia mengatakan Hakim Konstitusi tentu akan berusaha untuk mendaparkan keterangan lebih komperhensif dari pihak lain.  Ia juga memastikan akan memerintahkan pihak lain untuk mendapatkan keterangan yang lebih komperhensif tersebut.

"Tolong dicarikan bukti yang tingkat akurasinya bisa lebih dipercaya. Karena nanti perintahnya tidak hanya kepada pemohon tapi akan ada pihak lain juga yang diperintahkan Mahkamah. Tapi sebagai orang yang membawa, prinsip dasarnya adalah siapa yang mendalilkan dia yang membuktikan. Apalagi ini uji formal," kata Saldi.

Masih menurut kuasa hukum pemohon, Violla Reininda, tetap berusaha meminta daftar hadir sidang paripurna pengesahan Undang-Undang tersebut dan rekaman CCTV ke DPR.  Hal itu dilakukan untuk mencari bukti atas dalil dalam permohonan uji formil yang menyatakan jumlah anggota DPR tidak memenuhi tiga perempat dari keseluruhan anggota atau kuorum saat pengesahan Undang-Undang KPK baru.

"Dokumen terpenting adapah tanda tangan daftar kehadiran di rapat paripurna terakhir. Termasuk CCTV juga. Karena yang dibutuhkan Mahkamah kan pada saat itu foto siapa saja yang hadir secara fisik," ujar Violla.

Dalam persidangan ia menjelaskan telah melampirkan bukti berupa kutipan berita yang menyatakan kondisi tersebut. Itu karena menurutnya selama ini ia kesulitan mengakses dokumen publik dari laman resmi DPR RI dan telah bersurat ke DPR RI.

Meski begitu, ia mengatakan tetap akan berusaha mencari bukti kuat lainnya sebagaimana yang dimintakan Hakim Konstitusi Saldi Isra di persidangan.

"Tentu kami akan mencoba berbagau macam cara, karena sumber informasi juga bukan hanya mendatangi DPR saja. Bisa juga bekerja sama dengan teman-teman pers. Karena kan kita juga harus akui tidak semua dokumen itu kita dapatkan di DPR. Bisa saja dari tiap grup Whats App atau berhubungan dengan pers secara langsung. Tapi apapun caranya akan kami coba," kata Violla.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ((KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN))

Apabila sampai sidang berikutnya yang direncanakan akan digelar pada 27 Desember 2019 DPR tidak juga memmberikan dokumen tersebut, maka pihaknya akan memohonkan kepada Mahkamah untuk meminta DPR untuk menyajikan dokumen yang dimaksud.

"Tapi kalau misalnya sampai perbaikan permohonan, sampai sidang selanjutnya tidak didapatkan dokumen itu maka kami akan memohonkan ke Mahkamah untuk meminta pihak terkait, DPR dan juga pemerintah untuk menyajikan dokumen yang dimaksud," kata Violla.

Ia pun berharap DPR berinisiatif untuk menyajikan dokumen terkait penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut. Bahkan berharap ketika publik meminta untuk mengakses dokumen tersebut, maka DPR bisa merespon dengan baik.

Isu Koalisi Nasdem dan PKPI di Pilkada 2020, Ketua PKPI Dampingi Lomban Daftar Calon Wali Kota

Sebab selama dokumen itu tidak dikategorikan sebagai dokumen rahasia maka menjadi hak publik untuk mengaksesnya. "Dokumen ini kan terkait dengan hak publik juga bagaimana penyelenggaraan negara dan pemberantasan korupsi. Masa' publik yang jadi konstituen anggota DPR sendiri tidak bisa untuk mengaksesnya," kata Violla.

Pertanyakan Legal Standing

Hakim Konstitusi Saldi Isra mempertanyakan kedudukan hukum atau legal standing tiga pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang yang mengajukan permohonan uji formil Undang-Undang KPK nomor 19 tahun 2019 atau Undang-Undang KPK baru.

Saldi mempertanyakan jabatan tiga pimpinan KPK yang tercantum dalam berkas permohonan uji formil tersebut karena pada sidang selanjutnya yang rencananya akan digelar pada 27 Desember 2019 tiga pimpinan KPK tersebut sudah tidak lagi menjabat sebagai pimpinan KPK.

"Tapi problemnya setelah 27 Desember kan tidak pimpinan KPK lagi. Nah itu harus dielaborasi, apakah mau ngambil posisi sebagai pimpinan KPK atau mau menjadi perseorangan warga negara saja. Sebab kalau sekarang meposisikan sebagai piminan KPK, tiba-tiba kan bisa ditarik oleh pimpinan baru KPK," kata Saldi.

Selain itu, Saldi juga meminta agar kuasa hukum menjelaskan kerugian konstitusi masing-masing dari 13 pemohon atau prinsipal. Saldi mengatakan, argumen yang menyatakan para pemohon merupakan pembayar pajak, tidak cukup karena sudah ada aturan baru yang menyatakan dalil pembayar pajak hanya berlaku dalam perkara yang berkaitan dengan Undang-Undang soal pajak negara.

"Itu penting untuk membutkikan nanti bahwa pemohon memang memiliki hak untuk mengajukan pemohonan,  sebab kalau legal standing nya tidak terurai dengan baik dan kami tidak bisa menelusuri kerugian kosntitusinal maka permohonan ini berhenti samai di legal standing itu," kata Saldi. 

Agus, Laode dan Saut Minta Tunda UU KPK

Tiga Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang bersama sepuluh pemohon dan 39 kuasa hukumnya meminta dalam provisinya agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menunda pemberlakuan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 atau Undang-Undang KPK baru.

Hal itu disampaikan seorang dari tim kuasa hukum pemohon yakni Feri Amsari di ruang sidang lantai 4 Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta Pusat pada Senin (9/12). "Kami mengajukan pengajuan formil kemudian MK dapat memutuskan, dalam provisi menyatakan menunda keberlakuan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK," kata Feri.

Dalam pokok permohonannya, para pemohon meminta Mahkamah agar mengabulkan permohonan para pemohonan untuk seluruhnya.  Pada petitum kedua, para pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai hukum yang mengikat.

Ketiga mereka meminta Mahkamah menyatakan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, mengalami cacat formil dan cacat prosedural sehingga aturan dimaksud tidak dapat diberlakukan dan batal demi hukum.

"Keempat, memerintahkan amar putusan Majelis Mahkamah Konstitusi untuk dimuat dalam berita negara atau majelis hakim Mahkamah Konstitusi mempunyai pendapat lain, kami memohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono," kata Feri.

Dalam permohonannya, Feri menjelaskan bahwa para pemohon merupakan para tokoh yang bergelut dalam bidang sosial kemasyarakatan, terutama pada isu pemberantasan korupsi yang memiliki kedudukan hukum sesuai putusan Mahkamah Konstitusi 003 Nomor 27.

Selain itu para pemohon juga merupakan orang-orang yang terkena dampak langsung atas berlakunya Undang-Undang KPK baru tersebut.  "Bahwa legal standing itu berkaitan dengan hak warga negara mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi, yang kemudian dianggap memiliki kedudukan hukum," kata Feri.

Ia juga menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 terdapat pembentukan peraturan perundang-undangan maka Undang-Undang KPK baru tersebut cacat formil karena tidak terpenuhinya kuorum saat kemudian rapat sidang paripurna.

Merujuk pada ketentuan Tata Tertib DPR, ia mengatakan kata 'Dihadiri' di dalamnya juga termasuk dalam ketentuan Undang-Undang 12 tahun 2011 tersebut yang menurutnya berarti harus dihadiri secara fisik.

"Dalam catatan kami, setidak-tidaknya tercatat 180 an Anggota DPR yang tidak hadir dan menitipkan absennya. Sehingga seolah-olah terpenuhi kuorum sebesar 287 hingga 289 anggota dianggap hadir dalam persidangan itu. Padahal sebagian besar diantara mereka melakukan penitipan absen atau secara fisik dalam persidangan itu," kata Feri.

Ia juga menyoroti tidak dilibatkannya pihak KPK dalam pembahasan Undang-Undang KPK baru tersebut.  Menurutnya, dalam putusan Mahkamah Konstitusi pernah dinyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif.

Sehingga, begitu Surat Presiden terkait pengiriman perwakilan-perwakilan sebagai perwakilan pemerintah dalam pembahasan Undang-Undang tersebut dikeluaekan maka menurutnya seharusnya perwakilan dari KPK juga dilibatkan.

Itu karena KPK merupakan bagian dari eksekutif dan lembaga yang berkaitan dengan pokok-pokok pembahasan yang diajukan perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

"Tetapi pemerintah melalui surat presiden itu hanya mengirimkan dua perwakilan pemerintah, yaitu Menteri Hukum dan HAM, dan Menpan RB. Menurut kami tidak salah dikirim dua ini, hanya semestinya juga dilibatkan KPK. Karena bagian dari eksekutif dan berkaitan langsung," kata Feri.

KPK Pamer Rp 63 Triliun, Kejaksaan Rp 698 Miliar

Dua lembaga penegak hukum seakan pamer kebolehan pada saat memperingati hari antikorupsi sedunia, Senin (9/12).  Ketua KPK Agus Rahardjo memamerkan prestasi KPK dalam bidang pencegahan korupsi, mengklaim menyelamatkan uang Rp 63,9 triliun. Adapun Kejaksaan Agung menyita barang rampasan senilai lebih dari Rp 698,67 miliar.

Setiap tanggal 9 Desember, seluruh negara di dunia memperingati Hari Antikorupsi Sedunia. Peringatan ini sebagai bentuk penghormatan atas upaya pemberantasan korupsi di seluruh dunia. KPK mengadakan peringatan di Kantor KPK Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan. Presiden Joko Widodo mengutus Wakil Presiden Ma'ruf Amin menghadiri acara.

Ketua KPK Agus Rahardjo memamerkan prestasi KPK dalam bidang pencegahan korupsi. Agus mengklaim KPK berhasil menyelamatkan Rp 63,9 triliun. "Kami ingin laporkan hasil pencegahan. Kami ingin sampaikan bahwa dari laporan yang kami dapat paling tidak potensi kerugian negara yang bisa dihemat Rp 63,9 triliun," kata Agus dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Harkordia) ini.

Dia menjelaskan asal duit yang bisa diselamatkan itu. Antara lain monitoring penyelenggaraan negara, supervisi penyelamatan aset, hingga penyelamatan uang negara dari gratifikasi.

"Itu dari monitoring penyelenggaraan negara merupakan kajian-kajian Rp 34,7 triliun, koordinasi dan supervisi dalam bentuk penyelamatan aset sebesar Rp 29 triliun, penyelamatan keuangan negara dari gratifikasi barang dan uang Rp 159 miliar," ujar Agus.

Adapun Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) memamerkan capaian kinerja pemberantasan korupsi. Mulai dari jumlah kasus yang ditangani hingga duit negara yang bisa dikembalikan. Sejak Januari hingga November 2019, Kejagung telah melakukan penyidikan 1.089 perkara tindak pidana korupsi. Selain itu, Kejagung juga sudah mengeksekusi 1.130 perkara.

"Penyidikan 1.089 perkara. Penyidikan 570 perkara. Penuntutan 921 perkara. Eksekusi 1.130 perkara," kata Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin dalam keterangan tertulisnya, Senin kemarin.

Burhanuddin menyebut pihaknya telah mengembalikan duit negara yang dikorupsi lewat mekanisme Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Menurutnya, Kejagung telah mengembalikan duit senilai Rp 698,7 miliar dari hasil korupsi kepada negara.

"PNBP bidang Tindak Pidana Khusus yang berasal dari pembayaran uang pengganti, denda, pendapatan penjualan hasil lelang tindak pidana korupsi dan hasil pengoperasian barang rampasan senilai Rp 698.686.766.688 dan USD 44.899, SGD 23,04," kata Burhanuddin.

Sementara Presiden Joko Widodo mengungkapkan alasan mengapa tidak hadir memenuhi undangan KPK untuk menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Sedunia yang digelar lembaga antirasuah itu.

Presiden Jokowi mengatakan, ingin memberikan kesempatan kepada Wakil Presiden Ma'ruf Amin untuk hadir dalam acara itu. "Ini kan Pak Ma'ruf belum pernah kesana , ya bagi-bagilah," ujar Presiden Jokowi saat dijumpai di SMK 57, Pasar Minggu, Jakarta Selatan

Pasalnya, selama lima tahun terakhir, Jokowi selalu menghadiri acara hari antikorupsi yang digelar KPK. Kali ini, ia memberikan kesempatan kepada Wapres Ma'ruf Amin yang baru menjabat untuk hadir pula di acara itu.

"Masak setiap tahun saya terus. Ini Pak Ma'ruf belum pernah ke sana, silakan Pak Ma'ruf, saya di tempat lain," kata dia.

Pentas Drama

Presiden Jokowi memilih memperingati Hari Antikorupsi Sedunia dengan menyambangi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 57, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Di SMK itu, Presiden menyaksikan pentas drama 'Prestasi Tanpa Korupsi'.

Dalam pentas itu turut tampil tiga menteri Jokowi yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama serta Menteri BUMN Erick Thohir. Jokowi berpesan kepada para siswa SMK untuk memetik pelajaran dari drama yang ditampilkan, yakni untuk menjauhi korupsi sekecil apa pun sejak usia dini.

Pentas ini merupakan bagian dari peringatan Hari Antikorupsi Sedunia yang dilakukan tiap 9 Desember. Jokowi mengapresiasi pentas drama antikorupsi yang digelar di SMK 57. Sebab, nilai-nilai antikorupsi memang sudah harus ditanamkan sejak usia dini.  Jokowi menyatakan korupsi menghacurkan kehidupan negara dan masyarakat.

"Karena korupsilah yang banyak menghancurkan kehidupan kita, kehidupan negara kita, kehidupan rakyat kita," kata Jokowi.

Jokowi mengingatkan para siswa bahwa tindakan korupsi sekecil apa pun tidak dapat dibenarkan. Mantan gubernur DKI Jakarta itu lantas mencontohkan pesan dalam pentas drama "Prestasi Tanpa Korupsi".

Pentas yang ditampilkan sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju itu bercerita soal seorang siswa yang ingin menggunakan uang kas untuk kepentingan pribadi. Menurut Jokowi, perbuatan siswa tersebut tak boleh dilakukan oleh siswa, termasuk masyarakat Indonesia.

"Jadi contoh yang bisa kita ambil dari drama tadi adalah, satu, kita tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan hak kita. Benar?" ujar dia.

Jokowi menyebutkan, pentas drama jtu juga bicara soal praktik nepotisme. Ini terlihat saat siswa mencoba masuk perguruan tinggi favorit menggunakan koneksi orang tuanya yang merupakan seorang pejabat. Politisi PDI-P ini menegaskan bahwa perbuatan seperti itu juga tidak boleh dilakukan.

"Yang namanya, KKN korupsi, kolusi, nepotisme tidak boleh," kata dia. Kepala Negara lantas meminta para guru juga untuk menanamkan jiwa antikorupsi kepada siswa sejak dini.

Wakil Presiden Ma'ruf Amin optimistis pemberantasan korupsi di Indonesia ke depan akan berjalan dengan baik. "Pemerintah optimis upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi pada tahun-tahun ke depan akan berjalan dengan baik," ujar Ma'ruf dalam sambutan di acara peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Gedung Penunjang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK), Kuningan, Jakarta.

Ia menambahkan, hal itu ditandai dengan membaiknya skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Transparency International Indonesia (TII) merilis skor IPK Indonesia Tahun 2018 mengalami kenaikan 1 poin dibandingkan dengan tahun 2017 yakni dari skor 37 menjadi 38.

Ma'ruf pun mengatakan, pemerintah juga telah menyiapkan strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan menerbitkan Perpres Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK). Stranas PK itu merupakan penjabaran komitmen pemerintah bersama KPK untuk mewujudkan upaya pencegahan korupsi yang lebih bersinergi, fokus, efektif dan efisien.

Uang rupiah
Uang rupiah (kontan.co.id)

Empat Kasus Korupsi Triliunan

Negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bertekad untuk saling bekerja sama dalam upaya pemberantasan korupsi. Oleh karena itu perjanjian pemberantasan korupsi itu ditandatangani di Meksiko pada 9 Desember 2003. Sejak saat itu, setiap 9 Desember diperingati sebagai Hari Antikorupsi Internasional.

Di Indonesia, upaya pemberantasan korupsi dilakukan oleh tiga lembaga penegak hukum yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, dan Kejaksaan Agung. Meski setiap tahun praktik korupsi terungkap dan koruptor dihukum, hal itu tidak serta merta membuat mereka jera.

Berikut sejumlah kasus korupsi dengan potensi kerugian negara terbesar yang pernah atau sedang ditangani aparat penegak hukum

1) Dugaan Korupsi Bupati Kotawaringin Timur, Kalteng

Awal Februari 2019, KPK menetapkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi sebagai tersangka terkait penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) kepada tiga perusahaan. Ketiganya adalah PT Fajar Mentaya Abadi, PT Billy Indonesia, dan PT Aries Iron Mining.

Masing-masing perizinan itu diberikan dalam kurun 2010 hingga 2012. Izin pertambangan yang diberikan diduga tidak sesuai dengan persyaratan dan melanggar regulasi.  Akibat perbuatan Supian, kerugian negara ditaksir mencapai Rp 5,8 triliun dan 711.000 dollar Amerika Serikut.

2) BLBI

Kasus yang merugikan negara sebesar Rp 4,58 triliun ini cukup menyita perhatian. Pada pertengahan tahun 2019, Mahkamah Agung membebaskan terdakwa yang juga mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Arsyad Temenggung. Padahal, sebelumnya Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta terhadap Syafruddin.

Dalam dua putusan sebelumnya, Syafruddin dinyatakan bersalah terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Pada pengadilan tingkat pertama, ia diganjar kurungan 13 tahun penjara dan denda Rp 700 juta subsider tiga bulan kurungan.

Sementara itu, pada tingkat banding, ia dihukum 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider tiga bulan kurungan Perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004. Syafruddin selaku Kepala BPPN melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM).

Selain itu, Syafruddin disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham. Padahal, Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan (misrepresentasi) dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak yang akan diserahkan kepada BPPN.

Perbuatan Syafruddin dinilai telah menghilangkan hak tagih negara terhadap Sjamsul Nursalim. Kini, KPK masih mempertimbangkan upaya peninjauan kembali atas putusan MA tersebut. Sementara di lain pihak, KPK telah menetapkan Sjamsul Nursalim atas perkara ini.

3) E-KTP

Setelah cukup lama tak terdengar perkembangannya, pada Agustus 2019 KPK mengumumkan empat tersangka baru untuk kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Keempatnya yaitu mantan anggota DPR, Miryam S Hariyani; Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) Isnu Edhi Wijaya; Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik Husni Fahmi; dan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tanos.

Sebelum keempat tersangka ini, delapan orang telah diganjar hukuman penjara termasuk mantan Ketua DPR, Setya Novanto. Tujuh orang lainnya yaitu dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, pengusaha Made Oka Masagung dan mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo.

Selanjutnya, pengusaha Andi Naragong dan Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo. Terakhir, mantan anggota Komisi II DPR Markus Nari. Dalam kasus ini, negara dirugikan Rp 2,3 triliun.

4) Kasus Hambalang

Kasus yang terjadi pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini cukup menyita perhatian. Sebab, banyak nama high profile yang terlibat di dalamnya. Sebut saja mantan Menpora, Andi A Mallarangeng dan juga adiknya, Choel Mallarangeng. Kemudian, dari 15 pejabat di Kemenpora yang diperiksa Kejaksaan Agung, dua jadi tersangka. 

Bahkan, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum dan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin juga sejumlah direksi BUMN dan pengusaha dipidana dalam kasus ini.

Ketua BPK Harry Azhar Azis saat menghadiri rapat terbatas di Kantor Presiden pada 30 Maret 2016 mengungkapkan, kerugian negara atas kasus proyek senilai Rp 1,2 triliun ini mencapai ratusan miliar. (Tribun Network/sen/ham/kompas.com/dtc/git)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved