Bekas Napi Korupsi Boleh Maju di Pilkada
Larangan bagi bekas narapidana korupsi untuk maju dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada tidak tertera di Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
Kasus terbaru, Bupati Kudus Muhammad Tamzil yang ditangkap tangan KPK karena diduga menerima hadiah atau janji pengisian jabatan, Juli 2019. Pada 2014, Tamzil pernah divonis bersalah dalam kasus korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Kudus. Setelah bebas pada 2015, dia maju pada Pilkada Kudus 2018 dan terpilih.
Alasan ketiga, Arief pernah mengatakan dasar pencantuman pelarangan pencalonan mantan napi korupsi di pilkada diadopsi dari persyaratan calon presiden yang melarang mantan napi korupsi.
”Pemilu kita ini, kan, jelas untuk memilih presiden, DPD, DPR, dan kepala daerah sehingga mestinya, kan, punya regulasi yang sama. Kan, mereka nanti berpartner dalam menjalankan pemerintahan,” katanya.
Menkumham Yasonna H Laoly, di Kompleks Parlemen, Jakarta, membenarkan, larangan bagi mantan napi korupsi maju di pilkada tidak diatur dalam PKPU No 18/2019. Menurut dia, sekalipun larangan tersebut bertujuan baik, mencantumkannya dalam PKPU adalah hal yang bertentangan dengan mekanisme pembentukan perundang-undangan.
”Ketentuan yang menghilangkan hak seseorang itu harus diatur dengan undang-undang. Itu merupakan hal yang paling prinsipil,” kata Yasonna.
Sementara di Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pilkada maupun UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan aturan perundang-undangan lainnya, larangan itu tidak diatur. Ditambah lagi, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan yang menyatakan mantan napi korupsi bisa menjadi peserta pilkada.
Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 menyatakan, mantan napi korupsi dapat maju di pilkada setelah lima tahun mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara. Selain itu, mantan terpidana harus mengumumkan secara terbuka rekam jejaknya sebagai mantan napi korupsi.
Oleh karena larangan tak bisa diatur di PKPU, Yasonna melanjutkan, keputusan soal eks napi korupsi yang ingin maju di pilkada diserahkan kepada partai politik. Partai politik harus mengutamakan bukan mantan napi korupsi saat menyeleksi bakal calon kepala/wakil kepala daerah.
Aturan itu, menurut dia, sudah cukup. Sebab, sejauh ini dia melihat partai politik berkomitmen untuk tidak mengikutsertakan mantan napi korupsi dalam kontestasi pilkada.

Golkar Yakin Imba Tak Terganjal PKPU
Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Partai Golkar Sulawesi Utara tak terlalu khawatir syarat PKPU soal larangan eks napi korupsi maju pilkada akan mengadang Jimmy Rimba Rogi di Pilkada Manado 2020. PKPU itu sebenarnya ‘lagu lama’ yang kembali diulang, padahal aturan ini sudah berulang kali mentah disengketakan Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi.
Putusan MK No 51 tahun 2016 dan No 42 tahun 2015 yang menegaskan mantan napi kasus korupsi yang ingin mencalonkan diri menjadi kepala daerah cukup mengumumkan kepada publik bahwa dirinya mantan napi koruptor. Imba memang berstatus eks narapidana kasus korupsi.
Juru Bicara Partai Golkar Sulut, Ferryando Lamaluta mempertanyakan apakah PKPU tersebut sudah sesuai UU. "Kita lihat ke depan perkembangan PKPU tersebut. Pengalaman PKPU yang bertentangan dengan UU itu gugur. Ada aturan lebih tinggi yakni UU Pemilu," ujar Wakil Ketua DPD I Golkar Sulut ini kepada tribunmanado.co.id, Kamis (5/12/2019).
Sepengetahuannya, UU tidak mengatur larangan eks terpidana korupsi untuk ikut pilkada. "Saya juga tidak tahu maksudnya KPU," ungkapnya. Harusnya KPU berkaca pada kasus lalu ada yurisprudensi soal mantan terpidana korupsi. "Kan lalu (pemilu) sudah dilarang di PKPU, PKPU digugat akhirnya calon mantan terpidana korupsi tetap bisa ikut pemilu DPR," katanya.
Atas dasar itu saja, ia yakin Imba bisa dicalonkan sebagai Wali Kota Manado. PKPU 18 tahun 2019 tentang pencalonan kepala daerah bakal mengancam para eks narapidana korupsi. KPU mensyaratkan partai politik maupun calon dari jalur perseorangan bukan mantan terpidana korupsi.