Wawancara Eksklusif Mahfud MD, Sipil Pertama Jabat Menkopolkam: Kaget saat Prabowo
Ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyusun Kabinet Indonesia Maju, ada sebuah keunikan di posisi Menteri Koordinator Politik
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID - Ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyusun Kabinet Indonesia Maju, ada sebuah keunikan di posisi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam). Jokowi memilih Prof Dr Mahfud MD SH, orang sipil pertama yang menjabat Menkopolhukam semenjak kementerian itu ada.
Sebagai Menkopolhukam, Mahfud MD mengkoordinasikan sejumlah kementerian, termasuk Kementerian Pertahanan. Secara mengejutkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjuk Prabowo Subianto, bekas rivalnya dalam Pilpres 2019, menjadi Menteri Pertahanan (Menhan).
• Manado Kalahkan Sulut soal Upah, 14 Kabupaten-Kota Pakai UMP
Berikut petikan wawancara eksklusif tim Redaksi Tribun Network, dipimpin Regional Newspaper Director Febby Mahendra Putra, dengan Mahfud MD di kantor Kemenkopolkam, Jakarta, Selasa (19/11).
Apakah Presiden Jokowi sempat memberitahu atau minta pendapat Anda sebelum menunjuk Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan)?
Tidak. Saya juga kaget kok. Ketika muncul nama Pak Prabowo, saya kaget betul.
Tidak menyangka, Pak Prabowo ke situ (jadi Menhan).
Saya pikir Pak Prabowo akan menjadi Ketua Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden). Tapi beliau mau menjadi Menhan, ya saya kaget. Saya pikir bagus juga karena dia punya latar belakang soal itu.
Saya menyatakan kaget itu bukan berarti tidak setuju. Kaget karena tidak menyangka.
Sepengetahuan saya, tidak hanya dalam konteks Menteri Pertahanan ya, semua menteri yang diangkat ini merupakan pilihan Presiden Jokowi secara independen.
Masukan-masukan mungkin saja ada, tetapi dia tetap memilihnya sendiri. Makanya ada yang kaget juga, kok itu jadi Menteri Agama, kok itu jadi Menteri Pendidikan. Surprise. Artinya apa, tidak bisa orang mengintervensi Presiden.
Baru-baru ini saya sampaikan ke Pak Jokowi, "Pak satu hal yang mendapat apresiasi dari masyarakat, penyusunan kabinet kali ini Bapak independen. Tidak mau didikte." Saya katakan itu ke beliau.
Presiden menegaskan para menteri koordinator mempunyai hak veto terkait dengan kementerian yang berada di bawah koordinasinya. Muncul selentingan, hak veto diperlukan supaya Anda bisa mengontro Menhan Prabowo, benarkah?
Ah tidak. Selama ini Pak Rabowo sebagai Menhan tidak ada masalah. Apa yang dilakukan oleh Pak Prabowo sebagai Menteri Pertahanan tidak ada sama sekali berbenturan dengan policy Presiden.
• Begini Alasan DPR Akan Bubarkan BNN dan BNPT
Saya kira baik-baik saja. So far so good, dan saya kira begitu jua untuk selanjutnya. Harus diingat, Indonesia menganut sistem presidential.
Dalam rapat Menkopolhukam, Prabowo selalu hadir?
Baru rapat satu kali beliau persis kunjungan ke Tangerang, Pandeglang, atau apa, jadi yang hadir (rapat) Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan). Tapi tidak apa-apa, karena dia resmi memberitahu. Bukan hanya Pak Prabowo sih, Pak Tito (Mendagri Tito Karnavian) waktu itu juga tidak hadir karena sedang tugas di Jawa Timur.
Anda pernah menjadi ketua tim sukses Prabowo Subianto dalam Pilpres 2014 lalu. Apakah hal itu lebih memudahkan Anda berkomunikasi dengan Prabowo?
Tidak, biasa saja. Komunikasi saya dengan Pak Prabowo, yang dulu satu tim, maupun komunikasi saya dengan Pak Yasonna (Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly) yang dulu timnya Pak Jokowi. Sama saja kok, karena kami kan sudah sama-sama dewasa.
Politik itu adalah pilihan, dan kalau sudah dipilih, ya sudah. Bersatu untuk bangsa dan negara ini. Tidak ada kekhususan.
Apa makna hak veto yang secara eksplisit disampaikan Presiden?
Sebenarnya hak veto dimaksud tidak dalam arti yuridis formal, tetapi dalam arti pengendalian. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) tentang Menko, kan' disebutkan Menteri Koordinator tugasnya mengkoordinasikan, mensinkronisasikan, dan mengendalikan. Mengendalikan ini kalau ada yang tidak bisa dikendalikan kan' bisa di veto.
Sebenarnya itu bermula dari pengalaman masa lalu. Ada Menteri Koordinator yang melapor ke Presiden, "Pak saya semenjak jadi Menko kok sulit mengendalikan, para menteri tidak konsisten sehingga para investor jadi terganggu."
Dalam pidatonya Presiden mengatakan, "Saya tidak ingin mendengar lagi ada menteri kalau diundang oleh Menko tidak datang, lalu tidak setuju pada keputusan." Kalau memang tidak setuju ya berdebat, namun setelah diputuskan ya harus menurut.
Tapi menurut saya tidak perlu ribut-ribut soal veto, wong ini tidak ada apa-apa, baik semua sampai sekarang. Tidak ada yang berbenturan.
Tapi pada periode lalu kan pernah terjadi benturan seperti itu?
Makanya Presiden mengatakan, boleh Anda berdebat di dalam rapat, bahkan dalam empat kali rapat terakhir perdebatan berlangsung seru. Namun kalau sudah diputuskan, semuanya harus tunduk.
Ini negara. Jadi harus ada yang mengkomando. Konsekuensi dari demokrasi kan' harus begitu.
Anda merupakan orang sipil pertama yang menjadi Menkopolhukam. Apa maknanya orang sipil mendapat amanah sebagai Menkopolhukam?
Begini, saya membayangkan pada masa lalu Menkopolhukam dianggap sebagai pusat pengendalian pertahanan dan keamanan. Sifatnya lebih militeristik, karena pada waktu itu kan situasinya belum begitu baik.
Sekarang sudah lebih demokratis, sehingga munculnya orang sipil seperti saya yang dipentingkan adalah bagaimana melaksanakan visi dan program pemerintah. Saya ini nembak saja tidak bisa..ha...ha..ha.
• Mengenal Angkie Yudistia, Salah Satu Staf Khusus Presiden Jokowi, Penyandang Disabilitas Berprestasi
Dulu ada orang hebat-hebat (yang menjabat Menkopolkam). Ada Pak Sudomo (Laksamana TNI Sudomo), Pak SBY (Jernderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono), Pak Agum (Jenderal TNI Agum Gumelar), wah hebat-hebat.
Saya bukan orang hebat, tapi saya dipercaya oleh Presiden Jokowi. Tentu Presiden tahu apa yang dibutuhkan dunia polhukam ini. Lalu saya diberi amanah.
Saat Anda diangkat sebagai Menkopolhukam, kontroversi mengenai Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih berlangsung. Dalam konteks itu, apakah Anda dimintai pendapat atau memberikan saran kepada Presiden?
Tidak ada pesan khusus tentang itu. Pokoknya saya dininta meningkatkan upaya pemberantasan korupsi. Begitu pula soal undang-undang terbaru (Undang-undang KPK), yang tengah menjadi kontroversial, tidak ada dipesankan kepada saya.
Sebelum diangkat menjadi menteri, saya sudah share (berbagi) pengalaman dan pendapat. Saya katakan ada kecenderungan orang menginginkan Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terkait KPK.
Tapi kan Perppu bukan satu-satunya jalan. Karena ada orang lain yang menolak Perppu. Oleh sebab itu, saya katakan ada pilihan berupa legislatif review (peninjauan kembali UU di parlemen) atau judicial review (uji materiil terhadap undang-undang di MK).
Saya sendiri berada dalam kelompok yang mengusulkan Perppu. Sekali lagi Perppu bukan satu-satunya. Dalam hidup bernegara itu, kalau ada banyak pilihan kan' harus ada yang memutuskan.
Sekarang Presiden sudah memutuskan tidak akan mengeluarkan Perppu, dalam konteks menunggu hasil judicial review di Mahkamah Konstitusi. Dari situ bisa dilihat nanti apakah perlu Perppu atau tidak.
Atau mungkin pandangan masyarakat saat itu sudah bergeser, sudah berubah karena melihat perkembangan situasi. Kita lihat, tetapi intinya pemberantasan korupsi harus segera dikonsolidasikan agar lebih menguat.
Menurut Anda bagaimana peluang judicial review terkait Undang-undang KPK?
Menurut saya 50-50. Artinya peluang sama-sama kuat. Kan selalu ada kejutan di Mahkamah Konstitusi.
Dulu waktu saya masih di MK, orang mengira tidak bakalan berani membongkar kasus sadapan pembicaraan rahasia para pejabat. Orang mengira saya takut, ternyata bikin kejutan.
Waktu saya membubarkan Badan Pengelola (BP) Migas, semua orang tidak percaya. Orang mengira MK tidak mungkin berani membubarkan, soalnya lembaga itu begitu kuat selama bertahun-tahun.
Saya bubarkan juga bisa. Masih ada peluang 50-50. Namun kalau saya disuruh memprediksi, MK akan mengabulkan sebagian permohonan. Kan ada 11 permohonan yang diajukan. Tidak semua dikabulkan. Kita lihat saja.
Terkait Papua apa prioritas Anda?
Saya baru berdiskusi dengan Pak Sutiyoso (Mantan Kepala Badan Intelijen Negara/BIN Sutiyoso) soal Papua. Menurut Pak Sutiyoso, sebenarnya tidak sulit-sulit amat menangani kelompok separatis di Papua.
Kelompoknya banyak, tapi setiap kelompok tidak lebih dari 30 orang. Masing-masing kelompok tidak mesti bisa menyatu.
Pendekatan terhadap kelompok separatis itu adalah penegakan hukum. Yang separatisme itu kita lawan menggunakan penegakan hukum.
Sedangkan orang yang cuma ikut-ikut kita kembalikan ke masyarakat. Kita lindungi mereka, kita bangun kembali keberanian mereka untuk menyatakan diri sebagai warga negara Indonesia yang sah.
Soal posisi Papua dalam bingkai NKRI sudah final, tidak bisa dikutak-katik lagi. PBB telah mengesahkan Pepepra (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969. Sudah final. Pepera itu tidak bisa diulang. (dennis)