Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Sejarah Indonesia

Tulisan Soe Hok Gie Tentang Tahanan Politik Setelah G30S

30 September 1965 atau G30S, yang terjadi hingga 1 Oktober 1965 adalah puncak dari gejolak politik yang dialami Indoneisa pada masa Pemerintahan

Penulis: Rizali Posumah | Editor: Rizali Posumah
Tangkapan layar youtube metrotvnews
Soe Hok Gie 

TRIBUNMANADO.CO.ID - 30 September 1965 atau G30S, yang terjadi hingga 1 Oktober 1965 adalah puncak dari gejolak politik yang dialami Indoneisa pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno.

Kala itu 7perwira Angkatan Darat diculik dan gugur oleh mereka yang menjadi bagian dari kelompok militer G30S .

Mayat para jenderal ini ditemukan di Lubang Buaya, tepatnya di kawasan Pondok Gede, Jakarta.

Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta simpatisannya kemudian dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas peristiwa G30S tersebut. 

Selanjutnya penangkapan tanpa proses pengadilan berlangsung terhadap orang-orang PKI, simpatisan PKI hingga semua organisasi yang dianggap berafiliasi dengan PKI.

Mereka yang ditangkap sering mengalami penyiksaan hingga tak jarang mengakibatan kematian. 

Berita Populer

Baca: VIDEO Jeritan Vanessa Angel Saat Diginiin 2 Pria, Teriak Auuu hingga Sumber Susunya Terlihat Jelas

Baca: Cerita Sulemi, Anggota Cakrabirawa Penjemput AH Nasution saat G30S PKI: Saya Katakan Sesuai Lihat

Baca: Detik-detik Polisi Gerebek Istri yang Seorang Bidan Berduaan dengan Dokter di Kamar, Kronologinya

Soe Hok Gie, seorang aktivis mahasiswa yang sering menulis di media pada masa itu, pernah menulis artikel yang menggambarkan bagaimana nasib para Tahanan Politik (tapol) 'komunis' ini. 

Artikel Soe Hok Gie ini berjudul Persoalan Tawanan Politik, terbit Maret tahun 1969 di Mahasiswa Indonesia.

Tribun Manado menyadur artikel ini dari buku: Soe Hok Gie  Sekali Lagi, terbitan Kepustakaan Populer Gramedia.

Gie menyebut dalam artikelnya, angka 80 ribu tawanan politik yang titangkap setelah terjadi peristiwa G30S. 

"Jumlahnya turun naik sesuai dengan irama pelepasan dan penangkapan baru," tulis Gie. 

Jumlah yang terbanyak terdapat di Jawa Tengah, ada 55 ribu dan tersebar di penjara-penjara maupun kamp-kamp tawanan darurat yang dibangun secara kilat di Jogja, Ambarawa, Nusakambangan, Pekalongan dan sejumlah daerah lainnya. 

Gie menjelaskan, sebagian besar dari mereka ditawan sejak akhir 1965 ketika terjadi gelombang penangkapan terhadap kaum komunis dan simpatisannya.

Baca: Breaking News - Truk Terperosok, Petugas Tilang Disalahkan Karena Salah Memberi Petunjuk

Baca: Sosok Rachmat Gobel, Putra Daerah Gorontalo Jabat Pimpinan DPR RI, Dikenal sebagai Pengusaha Besar

Baca: Gadis Ini Panjat Doa untuk Korban Gempa Ambon dan Maluku

"Tidak pernah dijelaskan berapa lamakah batas waktu penahanan mereka tetapi seorang juru bicara Kodam V Jaya menyatakan bulan Januari (1969) yang lalu, bahwa kepada tawanan G30S tidak ada batas waktu penahanan," ungkap Gie. 

Gie membeber, untuk penahanan seorang yang dianggap komunis tidak memerlukan prosedur yang sulit. Dengan istilah: Ada Indikasi Terlibat G30S, saja seseorang dapat ditahan.

"Ini benar-benar merupakan penyimpangan daripada prosedur hukum yang biasa karena keadaan darurat (yang tidak diketahui di mana batas waktunya)," ujar Gie. 

Gie juga turut membeber sejumlah seniman dan sastrawan yang ikut ditangkap dan dituduh komunis seperti Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, T.W. Kamil, dan Ina Slamet. 

"Dalam perlakuan kadang-kadang tidak dipikirkan tentang asal mereka, apakah ia seorang penyair (yang memerlukan buku dan alat-alat tulis) ataukah seorang buruh listrik. Pernah titipan majalah Budaya Jaya untuk tawanan intelektuil ditolak begitu saja oleh pengawas kamp," tulis Gie.

Keadaan fisik para tahanan ini jauh daripada memuaskan, walaupun terdapat perbedaan dari kamp ke kamp. Walaupun angka-angka kematian tidak pernah diumumkan secara resmi dari "cerita cerita burung" dapat diketahui bahwa jumlahnya cukup tinggi.

Di beberapa tempat mereka dipekerjakan di luar kamp untuk membangun jalan-jalan, gedung dan membantu pekerjaan di sawah. Bagi mereka keadaan lebih baik.

Baca: Remaja Perempuan Ini Jadi Korban Perbuatan Bejat Ayah Tirinya, Diusir Ibu Kandung, Dianggap Pelakor

Baca: 30 Anggota DPRD Bitung Terbang Perdana ke Jakarta

Baca: Lionel Messi Dihantui Rasa Penasaran

"Di beberapa tempat komandan-komandan kamp mengizinkan mengantarkan makanan dari rumah untuk membantu mereka. Tetapi walaupun demikian keadaan fisik mereka tidak memuaskan," tulis Gie.

Dalam artikelnya, Gie juga menulis kematian seorang profesor yang ikut jadi tawanan politik pada masa itu. Profesor tersebut meninggal dunia dalam tahanan.

"Prof. Dr Sukirno (Ketua HSI) meninggal dunia karena kurang perawatan (menurut sumber-sumber yang sampai pada saya)," tulis Gie.

Perlakuan terhadap para tawanan politik tersebut, menurut Gie, dengan sendirinya membuat reputasi Indonesia amat buruk di mata dunia. 

"Di dunia timur adalah wajah jika PKI dibubarkan karena bertujuan untuk menumbangkan pemerintah. Dan juga wajar kalau terhadap mereka dilakukan tindakan-tindakan yang keras."

Namun, kata Gie, menahan orang selama bertahun-tahun tanpa batas waktu, membiarkan mereka mati perlahan-lahan dan membunuh mereka secara kejam adalah hal-hal yang tidak dapat diterima oleh dunia beradap Internasional. 

"Dari jumlah 80.000 itu barangkali hanya beberapa ratus yang telah diadili Mahmilub maupun Mahmildan. Secara teoritis mereka dibagi-bagi dalam kategori A-B-C tetapi sampai berapa jauh diadakan, penelitian lebih lanjut untuk mempelajari kesalahan mereka. Tidak ada seorang pun yang tahu," ujar Gie.

Gie kemudian menantang pemerintah saat itu agar bisa melepaskan tawanan-tawanan politik tersebut, apabila tidak berhasil membuktikan kesalahan mereka. 

"Jika tidak, maka kita terpaksa mengakui bahwa kita tidaklah lebih baik dari Pemerintah Hindia Belanda atau Czarist Rusia yang termasyur dengan Kamp Digul dan Siberianya," tulis Gie. (tribunmanado.co.id/Rizali Posumah)

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved