News
Ini Isi RUU yang Dianggap Kontroversial Selain RKUHP, Hingga RUU Ketenagakerjaan : Termasuk Haid
Pasal-pasal yang menjadi kontroversi antara lain, pasal 81 mengenai cuti haid yang bakal dihapus lantaran nyeri haid
TRIBUNMANADO.CO.ID - Penolakan mahasiswa terhadap sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) masif disuarakan saat demonstrasi yang berlangsung di sejumlah daerah.
Dalam aksinya, massa menuntut beberapa hal, seperti meminta pemerintah membatalkan UU KPK versi revisi yang baru disahkan DPR.
Selain itu, massa juga meminta Presiden Joko Widodo membatalkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP). Protes juga disuarakan terhadap sejumlah RUU yang dinilai kontroversial, di antaranya:
Baca: Mahasiswi Ini Kecewa, Warganet Hanya Soroti Kecantikannya Bukan Pesan dari Aksi Demo
Baca: Demo Tolak RUU KUHP Berlanjut, AJI Manado Geruduk DPRD, Berikut Pasal Karet Ancam Kebebasan Pers
Baca: Tak Hanya Melakukan Unjuk Rasa, Para Demonstran Merusak dan Diduga Menjarah Ruangan Kantor DPRD
RUU Pertanahan
Salah satu tuntutan massa saat demonstrasi adalah menolak pengesahan RUU Pertanahan. Menurut Sekretaris jenderal konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika, setidaknya ada delapan persoalan dalam RUU ini.
Persoalan pertama, RUU Pertanahan dinilai bertentangan dengan UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
Meski dalam konsiderannya dinyatakan bahwa RUU ini menyempurnakan hal-hal yang belum diatur dalam UUPA, namun Dewi menyatakan, substansinya semakin menjauh dan saling bertentangan.
Kemudian kedua mengenai hak pengelolaan dan penyimpangan hak menguasai negara. Dewi mengatakan, HPL selama ini menimbulkan kekacauan penguasaan tanah serta menghidupkan kembali domain verklaring.
Domain verklaring adalah suatu pernyataan yang menetapkan suatu tanah menjadi milik negara jika seseorang tidak dapat membuktikan kepemilikannya.
Lebih lanjut, anggota Fraksi PDI-P, Arif Wibowo mengatakan, domain verklaring merupakan konsepsi kolonial yang rentan menjerat masyarakat hukum adat.
"Mereka masih rentan terkena prinsip domain verklaring, sebagaimana terlihat dalam Pasal 20 RUU Pertanahan," ucap Arief.
Sementara Dewi menilai, hak menguasai dari negara yang ditetapkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 dinilai diterjemahkan secara menyimpang dalam RUU ini. Hal ini kemudian melahirkan jenis hak baru yang disebut Hak Pengelolaan.
RUU ini juga dinilai tidak memiliki langkah konkret dalam administrasi dan perlindungan hak ulayat masyarakat adat.
Persoalan selanjutnya adalah hak guna usaha (HGU). Menurut Dewi, di dalam RUU Pertanahan, HGU diprioritaskan bagi pemodal skala besar.
Bahkan, RUU tersebut juga tidak mengatur keterbukaan informasi HGU seperti yang diamanatkan dalam UU Keterbukaan Informasi Publik.