Berita Terkini
Veronica Koman jadi DPO, Polisi Minta Warga Melapor jika Menemukan Jejaknya
Penetapan Veronica sebagai buronan dikeluarkan setelah aktivis hak asasi manusia itu 2 kali mangkir dalam panggilan pemeriksaan polisi
TRIBUNMANADO.CO.ID - Tersangka kasus provokasi dan penyebaran berita bohong tentang Papua Veronica Koman, resmi masuk dalam daftar pencarian orang ( DPO) Polda Jawa Timur ( Jatim).
Penetapan Veronica sebagai buronan dikeluarkan setelah aktivis hak asasi manusia itu 2 kali mangkir dalam panggilan pemeriksaan polisi.
"Penyidik juga melalukan upaya jemput paksa dari 2 rumah keluarga di Jakarta.
Namun tidak menemukan yang bersangkutan Veronica Koman," kata Kapolda Jatim Irjen Luki Hermawan, Jumat (20/9/2019).
Sebelum mengeluarkan DPO untuk Veronica Koman, penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim juga melakukan gelar perkara lanjutan bersama Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) dan Divisi Hubungan Internasional (Hubinter) Mabes Polri.
Selain mengeluarkan DPO, penyidik juga mengirim surat permohonan red notice kepada polisi internasional melalui Mabes Polri.
"Karena sudah DPO, kami minta siapapun warga Indonesia yang menemukan Veronica Koman, harap menghubungi polisi," kata Luki.
Luki menyebut Veronica Koman sudah membuka komunikasi dengan pihak KBRI Australia.
Sayangnya dia tidak menyebut detil tentang apa komunikasi yang dimaksud.
"Kita sudah berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan mereka sudah sampaikan sudah ada komunikasi antara Veronica Koman dengan KBRI Australia," jelas Luki.
Baca: Polda Jatim Siap Hadapi Kompolnas: Dilaporkan Koalisi Masyarakat Sipil Terkait Veronica Koman
Baca: Polisi Anggap Saldo di Rekening Veronica Koman Tak Wajar, Begini Tanggapannya
Baca: Imigrasi Duga Veronica Koman Ada di Australia
Dia berharap, komunikasi yang dijalin antara pihak KBRI Australia dengan Veronica Koman baik untuk proses penyidikan kasus yang sedang ditangani Ditreskrimsus Polda Jatim.
Sebelumnya Polda Jawa Timur telah memblokir rekening aktivis Veronica Koman yang kini berstatus tersangka terkait kerusuhan di Papua.
"Sudah kita lakukan kemarin itu pemblokiran," ungkap Kepala Bidang Humas Polda Jatim Kombes Frans Barung Mangera ketika dikonfirmasi, Jumat (19/9/2019).
Penyidik Ditreskrimsus Polda Jatim menetapkan Veronica Koman sebagai tersangka.
Dia dijerat sejumlah pasal di 4 undang-undang, pertama UU Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, KUHP Pasal 160, dan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Postingan Veronica Koman dalam rangkaian aksi protes perusakan bendera di Asrama Mahasiswa Papua Surabaya, Jatim, dianggap memprovokasi dan menyulut aksi kerusuhan di Papua.
Salah satunya pada 18 Agustus 2019. Salah satu unggahan yang dimaksud ialah "Anak-anak tidak makan selama 24 jam, haus dan terkurung disuruh keluar ke lautan massa."
Veronica 2 kali tidak merespons surat panggilan pemeriksaan sebagai tersangka.
Panggilan pertama ditujukan di 2 rumah keluarganya di Jakarta Barat dan Jakarta Selatan.
Kemudian, surat dikirimkan kepada Veronica yang saat ini disebut berada di Australia.
BERITA TERPOPULER: Terkuak Siapa Pemilik Jet Pribadi Syahrini, 1 Sosok Bongkar Fakta: Bakal Diketawain Pemilik Aslinya
BERITA TERPOPULER: Kala Soeharto Hendak Diracuni Perempuan yang Ngaku-ngaku Anak Pak Harto saat G30S/PKI
BERITA TERPOPULER: Ramalan Zodiak Besok Jumat 20 September 2019: Leo Jadi Teladan, Virgo Harus Berani Ambil Risiko
Pada 18 September 2019 kemarin adalah batas waktu terakhir dia menghadiri panggilan pemeriksaan, setelah polisi memberikan waktu tambahan 5 hari sejak 13 September 2019.
Sebelumnya pakar HAM PBB pada Senin (16/9/2019) menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk melindungi hak-hak pembela HAM Veronica Koman dan orang-orang lainnya yang melaporkan tentang protes di Papua dan Papua Barat.
Melansir VOA Indonesia, dalam pernyataan yang dikeluarkan di Jenewa, para pakar itu “menyerukan diambilnya langkah-langkah segera untuk melindungi kebebasan menyatakan pendapat,” dan mengambil tindakan atas berbagai “gangguan, intimidasi, campur tangan, pembatasan kegiatan dan ancaman" bagi orang-orang yang melaporkan aksi protes di Papua itu.
Veronica Koman, kata pernyataan itu lagi, adalah seorang pengacara yang telah mengalami gangguan dan pelecehan secara online karena melaporkan apa yang dituduhkan sebagai pelanggaran HAM di Papua.
Ia telah dinyatakan sebagai “tersangka” oleh para pejabat Indonesia yang menuduhnya menyebarkan informasi palsu dan memicu kerusuhan setelah ia melaporkan tentang aksi-aksi protes dan serangan yang bersifat rasis atas mahasiswa Papua di Jawa Timur.
Aksi-aksi protes dan serangan rasis itu telah memicu sejumlah demonstrasi.
“Kami menyambut tindakan pemerintah Indonesia atas insiden yang bersifat rasialis itu, tapi kami juga mendesak diambilnya langkah-langkah yang segera untuk melindungi Veronica Koman dari “segala bentuk pembalasan dan intimidasi dan mencabut semua tuduhan atasnya, supaya ia bisa melanjutkan tugasnya melaporkan secara independen tentang situasi HAM di Indonesia,” kata pernyataan para pakar HAM itu.
Para pakar yang menyusun pernyataan itu adalah:
1. Clement Nyaletsossi Voule, Pelapor Khusus PBB tentang Hak Untuk Berkumpul Secara Damai,
2. David Kaye, Pelapor Khusus PBB untuk Mendorong dan Melindungi Kebebasan menyampaikan pendapat dan pernyataan,
3. Dubravka Simonovic, Pelapor Khusus tentang Kekerasan atas Perempuan,
4. Meskerem Geset Techane, Ketua Kelompok Kerja tentang Diskriminasi atas Perempuan, dan
5. Michel Forst, Pelapor Khusus Tentang Situasi Pembela Hak Asasi Manusia.
Selain itu dalam sidang Dewan HAM PBB (Human Rights Council) menggelar masa sidang regulernya di Jenewa, Swiss, sejak tanggal 9 hingga 27 September 2019, nama Veronica Koman juga disinggung.
Sejumlah LSM yang peduli dengan isu Papua, secara terpisah menyampaikan "oral intervention" (semacam pernyataan lisan) ke sidang Dewan HAM PBB.
Menurut ketentuan PBB, kalangan LSM atau Komnas HAM suatu negara yang terakreditasi ke lembaga tersebut diperbolehkan berpartisipasi dalam sesi sidang sebagai "peninjau".
Meski sebagai peninjau, mereka juga diberi hak untuk menyampaikan pendapat dalam diskusi dan perdebatan yang terjadi.
Untuk kasus Papua, Pernyataan Lisan kalangan LSM dalam Sidang Dewan HAM PBB kali ini disampaikan oleh Irene Valotti.
Dia berbicara atas nama LSM Franciscans International, Dewan Gereja-Gereja Dunia, Westpapua-Netzwerk, Koalisi Internasional untuk Papua, VIVAT International, Geneva for Human Rights - Global Training serta LSM TAPOL.
Berbeda dengan penjelasan delegasi Indonesia, kalangan LSM ini menilai situasi di Papua di saat ini sangat menegangkan.
"Sejak 9 Agustus 2019, aksi protes yang diwarnai kekerasan terjadi di berbagai wilayah Papua dan Papua Barat, yang dipicu oleh rekaman video aparat keamanan memaki mahasiswa Papua di Surabaya sebagai "monyet", "babi" dan "anjing"," ujar Irene.
Namun, katanya, bukannya merespon dengan dialog, Pemerintah Indonesia malah menerjunkan lebih dari 6000 pasukan ke wilayah itu, sehingga memicu kekerasan lebih lanjut.
"Kami menerima laporan adanya tiga orang warga Papua yang dibunuh di Jayapura, melibatkan milisi pro pemerintah Indonesia," jelasnya.
"Tindakan polisi di Kabupaten Deiyai mengakibatkan 8 warga Papua tewas," tambah Irene.
Koalisi LSM ini menyebut, langkah Pemerintah Indonesia menutup akses internet bukan hanya melanggar hak kebebasan berekspresi tapi juga menyulitkan untuk menverifikasi fakta di lapangan.
"Kami juga sangat prihatin atas penggunaan UU kejahatan siber sebagai taktik untuk mengkriminalisasi pembela HAM seperti Veronica Koman," ujarnya.
Koalisi LSM mendesak Pemerintah Indonesia segera menghentikan pelanggaran HAM di Papua.
"Kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan dialog politik dengan pihak-pihak terkait di Papua sehingga memungkinkan adanya solusi damai dan berkelanjutan atas konflik berkepanjangan ini," paparnya.
Sikap Pemerintah Australia
Melansir abc news indonesia, Pemerintah Australia mungkin saja akan menyerahkan Veronica Koman yang kini diperkirakan berada di Sydney jika ada permintaan dari Pemerintah Indonesia.
Prosedur ini bisa terjadi jika Indonesia menerbitkan "red notice" ke Interpol.
Media The Guardian hari Rabu (18/9/2019) melaporkan bahwa pihak berwajib Australia tampaknya menolak untuk mengesampingkan penyerahan Veronica yang kini dijadikan tersangka dalam kasus Papua.
Pihak Departemen Luar Negeri Australia (DFAT) yang dihubungi secara terpisah menyatakan persoalan ini bukan di wilayah mereka, dengan jurubicaranya mengatakan masalah ini ada di ranah Kepolisian Federal Australia (AFP).
Seorang jurubicara AFP menjelaskan, "Setiap pertanyaan tentang permasalahan ini harus ditujukan ke pihak berwajib Indonesia."
Sistem "red notice" Interpol seringkali disalahgunakan oleh rezim otoriter untuk mengejar para pembangkang atau lawan politik pemerintah yang telah meninggalkan negara itu.
Padahal sistem ini seharusnya digunakan untuk mencari dan menangkap orang-orang yang dicari yang akan dituntut atau menjalani hukuman.
Menurut catatan saat ini ada sekitar 58.000 red notice di seluruh dunia, dan hanya sekitar 7.000 yang dipublikasikan.
Pasal 3 konstitusi Interpol jelas-jelas melarang lembaga itu melakukan "segala intervensi atau kegiatan yang bersifat politik, militer, agama atau ras".
Sebelumnya Indonesia pernah mengeluarkan red notice untuk pemimpin gerakan Papua merdeka Benny Wenda pada 2011 namun terpaksa mencabutnya pada tahun 2012 karena terbukti bermotivasi politik, dan tidak berdasarkan pertimbangan pelanggaran kriminal.
Sementara itu, kelompok Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) mengatakan akan melanjutkan perjuangan mereka untuk merdeka dengan membawanya ke tingkat PBB.
SUBSCRIBE YOUTUBE TRIBUNMANADO TV:
Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com dengan judul Cueki Desakan PBB, Polri Tetapkan Veronica Koman Buronan, Reaksi Australia yang Tampung Veronica