Demonstran Pakai Jaket Almamater Polos Demo di KPK
Puluhan massa pendukung revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memenuhi pelataran Gedung Merah Putih
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID - Puluhan massa pendukung revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memenuhi pelataran Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (18/9). Mereka menamakan diri mereka sebagai Laskar Pancasila.
Pantauan di lokasi, massa yang hadir sebagaian besar dari kalangan remaja, berbaju bebas. Mereka membawa spanduk berisi dukungan kepada UU KPK yang telah direvisi maupun kepada lima komisioner baru KPK.
Baca: Romahurmuziy Diare, Majelis Hakim Tunda Persidangan
Dua mobil komando terparkir di jalan. Mobil itu memuat beberapa orator yang terus berpidato secara bergantian. Di bawah mereka para remaja Laskar Pancasila tersebut duduk sembari mengibarkan bendera merah putih.
Saat pembacaan deklarasi berlangsung, beberapa massa tersebut tampak bersiap mengenakan jaket almamater polos. Mulai dari warna hijau, kuning, sampai cokelat. Setelah mengenakan almamater, mereka kemudian berdiri di depan tulisan KPK lalu mendengarkan orasi.
Tribun Network mencoba bertanya kepada seorang peserta aksi yang mengenakan jaket almamater biru. Mengenakan topi merah secara terbalik, dia menyebut dirinya berasal dari kampus swasta di bilangan Jalan Proklamasi, Jakarta Selatan.
"Dari UBK," kata massa aksi tersebut lalu pergi.
Pada pukul 16.50 WIB, massa aksi tersebut kemudian membubarkan diri. Sejumlah massa yang mengenakan jaket almamater kemudian melepaskan atribut mereka. Mereka menaruh jaket tersebut di kantong plastik hitam berukuran besar.
Bentrok dengan Polisi
Sekelompok massa aksi yang membawa bendera Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bentrok dengan aparat kepolisian di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (18/9). Pantauan Tribun Network di lokasi, massa aksi HMI hanya terdiri dari sekitar 10 orang. Mereka menuntut penolakan terhadap Revisi Undang-Undang KPK dan pembatalan Irjen Pol Firli Bahuri sebagai Ketua KPK 2019-2023.
Baca: Dian Dicegat Polisi saat Gendong Jasad Cucu
Bentrokan diawali ketika massa HMI mendekati gerbang Gedung Merah Putih KPK. Aparat kepolisian menghadang massa HMI untuk dapat mendekat. Bentrokan lantas pecah. Beberapa massa HMI bahkan terlihat ada yang diamankan polisi.
Di tempat yang sama juga tengah berlangsung unjuk rasa massa pendukung RUU KPK yang sejak pekan kemarin selalu hadir tiap sore. Untuk mencegah bentrok dua kubu ini, polisi menghalangi massa beratribut HMI agar tidak mendekati massa pedemo pro revisi UU KPK. Massa HMI terus mendekat agar bisa masuk ke dalam pagar Gedung KPK, namun polisi terus menghalangi.
Seorang anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang sempat diamankan polisi mengaku mendapat tindak kekerasan. Dia mengaku dipukul beberapa oknum polisi. Bukan hanya dirinya, empat temannya yang diamankan mengalami perlakuan yang sama dari polisi.
"Saya lihat sendiri dan saya juga korban dipukuli. Ini bengkak ini, bibir saya pecah," ujar Rusdi Bicara selaku koordinator aksi Himpunan Mahasiswa Islam se-Jakarta di depan gedung KPK, Rabu (18/9). Semua berawal saat massa aksi yang berjumlah 50 orang tersebut datang untuk unjuk rasa di depan gedung KPK.
Saat bentrokan terjadi, Rusdi Bicara mengaku sedang mengamankan peserta aksi. Saat itu ada beberapa oknum polisi menarik lalu memukul Rusdi. Rusdi dan empat temannya sempat ditahan polisi selama 20 menit.
"Waktu ditahan dipukuli lagi dan dipaksa untuk jongkok seakan-akan kita ini teroris. Padahal kita datang ke sini untuk menyuarakan aspirasi," ucap dia.
Sebanyak 18 Orang Gugat UU KPK Revisi
Sebanyak 18 orang mengajukan permohonan uji materi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (18/9). Mereka menyatakan pembentukan hasil revisi UU KPK tidak memenuhi ketentuan.
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono mengatakan pihak MK telah menerima berkas permohonan tersebut. Pada berkas itu terdapat 18 pemohon yang berasal dari berbagi latar belakang. Mereka di antaranya 15 orang mahasiswa dari berbagai universitas, seorang politikus, seorang wiraswasta dan seorang yang tidak mencantumkan jenis pekerjaannya.
Satu dari sekian poin pada pokok perkara yang diminta pemohon adalah menyatakan pembentukan hasil revisi UU KPK tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945.
Baca: Menpora Terjerat Suap Rp 25,5 M: Istana Hormati KPK
"Diterima di kepaniteraan karena MK tidak boleh menolak perkara," kata Fajar, Rabu (18/9).
Setelah menerima permohonan uji materi, MK akan memproses permohonan tersebut sesuai hukum acara. MK akan memverifikasi kelengkapan permohonan menurut Fajar. Kelengkapan tersebut antara lain permohonan tertulis, identitas pemohon, daftar alat bukti dan alat bukti. Setelah sejumlah persyaratan yang diminta lengkap, MK akan meregistrasi permohonan.
"Kalau sudah diregistrasi, baru disidangkan," ujar Fajar.
Meski undang-undang tersebut belum diberi nomor, MK akan tetap memproses permohonan uji materi tersebut. "Undang-undang dimaksud belum diundangkan, belum ada nomor, maka sebetulnya belum ada objetcum litis-nya. Langkah selanjutnya diproses sesuai hukum acara," tutur Fajar.
Menurut Fajar ada kemungkinan pada masa tahapan proses registrasi hingga masuk tahapan persidangan pengujian undang-undang, undang-undang yang diujikan telah diberi nomor. "Hal itu akan dinasihatkan majelis hakim kepada pemohon ketika sidang pendahuluan," kata Fajar.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai produk cacat hukum.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan revisi UU KPK tidak masuk program legislasi nasional (Proglegnas) 2019. Menurutnya elemen masyarakat sipil akan berbondong-bondong melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
"Karena dinilai produk cacat hukum, diyakini akan banjir JR di MK. Ketika itu benar-benar terjadi, maka harusnya pemerintah dan DPR malu karena legislatif menciptakan aturan yang buruk," kata Kurnia, Rabu (18/9).
Kurnia mengatakan narasi yang dibangun DPR dan pemerintah menyebut revisi UU KPK sebagai upaya penguatan KPK telah terbantahkan. Pasalnya, poin-poin dalam revisi tersebut justru berpotensi melemahkan kinerja KPK. Menurut Kurnia hampir semua substansi dalam revisi undang-undang tersebut sangat mudah didebat.
Menurut Kurnia, pengesahan RUU KPK cacat formil. Dia menyebut DPR tidak taat kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan.
Pada pasal 45 ayat (1) UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan pembahasan sebuah RUU harus berdasarkan Prolegnas. Padahal, lanjut Kurnia, RUU KPK tidak masuk Prolegnas tahun 2019 sehingga telah terjadi pelanggaran formil.
"Tidak mungkin Prolegnas Prioritas 2017 itu disahkan 2019 di tengah Prolegnas Priorotas 2019 masih banyak yang belum dituntaskan oleh DPR," ujarnya.
Selain tidak masuk Prolegnas prioritas 2019, kata Kurnia, rapat paripurna di DPR tak memenuhi kuorum. "Ketika Paripurna dihadiri 80-100 orang saja yang mana tidak mencapai kuorum," katanya.
Oleh sebab itu, Kurnia meyakini masyarakat yang mendukung kinerja KPK akan berbondong-bondong melakukan uji materi UU 30/2002 di MK. "Pasti akan banyak elemen masyarakat ataupun orang yang akan mengajukan uji materi terhadap UU yang baru saja disahkan DPR. Poinnya bisa di Formil dan lainnya banyak," ujar Kurnia.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP Arsul Sani mengatakan masyarakat berhak mengajukan uji materi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) yang telah direvisi. Arsul mengatakan PPP menghormati semua elemen masyarakat sipil yang ingin mengajukan permohonan tersebut.
Arsul mengatakan DPR tidak khawatir undang-undang KPK yang baru saja direvisi tersebut digugat. Menurutnya DPR akan memberikan keterangan soal revisi undang-undang yang baru saja disahkan tersebut di dalam persidangan kepada hakim MK.
"Nanti DPR juga diberi kesempatan untuk memberikan keterangan oleh MK. Ya nanti kita sampaikan semuanya sejelas-jelasnya," kata Arsul, Rabu (18/9).
Menurut Arsul uji materi bisa dilakukan apabila revisi UU KPK telah resmi diundangkan. Hasil revisi yang baru saja disahkan akan diserahkan kepada presiden. Setelah itu hasil revisi dimasukkan ke lembaran negara untuk segera diundangkan.
"Prosesnya pimpinan DPR mengirimkan RUU yang sudah disetujui Rapur (rapat paripurna, red) DPR kepada presiden untuk ditandatangani dan diundangkan," pungkasnya. (Tribun Network/gle/ham/fik/Kompas.com)