Berita Terkini
Sosok Benny Wenda, Aktor Intelektual Aksi Rusuh di Papua yang Pernah Dihukum 25 Tahun Penjara
Kerusuhan yang terjadi di Jayapura diduga dilakukan aktor penunggang yang berdarah papua yaitu Benny Wenda
Penulis: Rhendi Umar | Editor: Rhendi Umar
TRIBUNMANADO.CO.ID - Kerusuhan yang terjadi di Jayapura diduga dilakukan aktor penunggang yang berdarah papua yaitu Benny Wenda.
Rangkaian insiden rusuh yang bermula dari tindakan represif polisi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, telah didesain untuk menciptakan kerusuhan oleh Benny Wenda.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut, Benny Wenda telah melakukan pergerakan politik di luar negeri di luar negeri.
Bahkan, Moeldoko melihat Benny telah menyebarkan informasi tidak benar kepada pihak asing maupun masyarakat Bumi Cenderawasih.
"Dia mobilisasi informasi yang missed, yang tidak bener. Itu yang dia lakukan di Australia, di Inggris lah," ucap Moeldoko, di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Menurut Moeldoko, penanganan Benny tentu dilakukan secara politik dan tidak bisa menggunakan cara militer.
"Ini lebih politik karena dia bergerak di front politik dan kami sudah lakukan (komunikasi dengan otoritas Inggris)," tutur mantan Panglima TNI itu.
Sosok Benny Wenda
Benny Wenda mendapat penghargaan sebagai peaceful campaigner for democracy alias pengampanye perdamaian untuk demokrasi.
Penghargaan Oxford Freedom of the City Award itu diberikan pada tanggal 17 Juli 2019.
Pria kelahiran Papua yang kini jadi warga negara Inggris itu mengklaim sebagai pemimpin gerakan Papua merdeka, namun tak diakui oleh milisi OPM di Papua.
Namun Indonesia mengecam keras pemberian award kepada bernama Benny Wenda.
Siapa sebenarnya Benny Wenda, Ini Penjelasannya.
BERITA TERPOPULER: Peluang dan Dampak Bagi Malaysia Setelah Ibu Kota Indonesia Resmi Dipindahkan ke Kaltim, Apa Saja?
BERITA TERPOPULER: Nia Ramadhani Tampil Maraton dengan Suaminya saat Kondangan, Bikin Dia Nggak Diceramah Online Lagi
BERITA TEROPULER: Sandiaga Uno Diusir dan Ditampar Prabowo Subianto? Ini Pengakuan Terbuka Wagub Jakarta ke 30
Benny Wenda lahir di Lembah Baliem, Papua, 17 Agustus 1974.
Benny merupakan tokoh perjuangan rakyat Papua di Inggris.
Sekitar tahun 1970, Benny hidup di sebuah desa terpencil di kawasan Papua Barat. Di sana, dia hidup bersama keluarga besarnya.
Mereka hidup dengan bercocok tanam. Saat itu, dia merasa kehidupannya begitu tenang, "hidup damai dengan alam pegunungan." Kira-kira kalimat itulah yang dia rasakan.
Sampai satu saat sekitar tahun 1977, ketenangan hidup mereka mulai terusik dengan masuknya pasukan militer.
Saat itu, Benny Wenda mengklaim pasukan memperlakukan warga dengan keji.

Benny menyebut di situsnya, salah satu dari keluarga menjadi korban hingga akhirnya meninggal dunia.
Benny mengaku kehilangan satu kakinya dalam sebuah serangan udara di Papua.
Tak ada yang bisa merawatnya sampai peristiwa pilu itu berjalan 20 tahun kemudian. Saat itu, keluarganya memilih bergabung dengan NKRI.
Kondisi demikian, harus diterima dan dihadapi Wenda. Tetapi rupanya, dia berusaha melawan pilihan orang-orang dekatnya.
Berita Populer: Siswa SMP Tewas Tertusuk Pisau, Keluarga Korban Sempat Tutupi Kasus, Ini Kronologinya
Berita Populer: Daftar Nama 13 Artis Jadi Anggota DPR RI, Ada yang Masuk 5 Caleg dengan Suara Terbanyak
Berita Populer: 20 Caleg DPR dan DPD Suara Terbanyak, Artis Kalahkan Fadli Zon & Anak SBY hingga Ada 4.132.681 Suara
Singkat cerita, setelah era pemerintah Soeharto tumbang, gerakan referendum dari rakyat Papua yang menuntut pembebasan dari NKRI kembali bergelora.
Dan saat itu, Benny Wenda melalui organisasi Demmak (Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka), membawa suara masyarakat Papua.
Mereka menuntut pengakuan dan perlindungan adat istiadat, serta kepercayaan, masyarakat suku Papua. Mereka menolak apapun yang ditawarkan pemerintah Indonesia termasuk otonomi khusus.
Lobi-lobi terus dia usahakan sampai akhirnya pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, pemberlakuan otonomi khusus adalah pilihan politik yang layak untuk Papua dan tak ada yang lain.
Saat itu sekitar tahun 2001, ketegangan kembali terjadi di tanah Papua.
Operasi militer menyebabkan ketua Presidium Dewan Papua meninggal.
Benny terus berusaha memperjuangkan kemerdekaan Papua.
Pertentangan Wenda berbuntut serius. Dia kemudian dipenjarakan pada 6 Juni 2002 di Jayapura. Selama di tahanan, Wenda mengaku mendapatkan penyiksaan serius.
Dia dituduh berbagai macam kasus, Salah satunya disebut melakukan pengerahan massa untuk membakar kantor polisi, hingga harus dihukum 25 tahun penjara.
Kasus itu kemudian di sidang pada 24 September 2002. Wenda dan tim pembelanya menilai persidangan ini cacat hukum.
Benny Dibantu Kabur LSM Eropa
Benny dikabarkan berhasil kabur dari tahanan pada 27 Oktober 2002.
Dibantu aktivis kemerdekaan Papua Barat, Benny diselundupkan melintasi perbatasan ke Papua Nugini dan kemudian dibantu oleh sekelompok LSM Eropa untuk melakukan perjalanan ke Inggris di mana ia diberikan suaka politik.
Dan sejak tahun 2003, Benny dan istrinya Maria serta anak-anaknya memilih menetap di Inggris.
Pada tahun 2011, Pemerintah Indonesia pernah mengeluarkan Red Notice dan Surat Perintah Penangkapan Internasional untuk penangkapan Wenda karena melakukan sejumlah pembunuhan dan penembakan di Tanah Air.
Wenda mengklaim, red notice itu sudah dicabut.
Benny dan Istri tinggal di Inggris
Benny dan istrinya Maria serta anak-anaknya memilih menetap di Inggris sampai dia diberi suaka politik di sana.
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di 2013, pemerintah pernah menyampaikan keberatan atas pembukaan 'kantor' Gerakan Separatis Papua di Oxford, Inggris.
Pembukaan "kantor" gerakan separatis Papua di Inggris tak lepas dari peran Benny Wenda.
Meski begitu pemerintah Inggris tetap menyatakan dukungan kepada NKRI.
Melalui Kedubesnya di Jakarta, pemerintah Inggris menegaskan sikapnya yang tidak mendukung kemerdekaan Provinsi Papua dan Papua Barat.
Selanjutnya Pemerintah Inggris juga mengatakan keputusan Dewan Kota Oxford tidak mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Inggris dan memandang bahwa keputusan untuk membuka kantor dimaksud sepenuhnya adalah keputusan Dewan kota Oxford.
Gigih Suarakan Kemerdekaan Papua
Perjuangan Benny Wenda dalam menggalang kemerdekaan Papua termasuk sangat gigih.
Sejumlah dukungan mengalir dari sejumlah negara yang tergabung dengan Melanesian Spearhead Group (MSG) seperti Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu.
Di Indonesia, Benny Wenda juga berhasil membangun aliansi dengan sejumlah tokoh OPM seperti Buchtar Tabuni, Goliath Tabuni, dan lainnya.
Benny Wenda cenderung memilih pendekatan lewat jalur lobi, diplomasi, dan anti-kekerasan.
Ia sempat mengirimkan surat terbuka kepada pemimpin Polri yang kala itu dijabat oleh Kapolri Jenderal Badrodin Haiti.
Pernah Kirim Surat Terbuka Untuk Kapolri
Benny Wenda sempat menulis surat terbuka kepada mantan Kapolri Badrodin Haiti tentang bantahan terlibat dalam penyerbuan Polsek Sinak di Kabupaten Puncak, Papua.
Berikut kutipan surat terbuka Benny Wenda untuk pemerintah RI.
Awal pekan lalu Kapolri Badrodin Haiti secara kekanak-kanakan menyalahkan saya atas kematian tiga anggota polisi, yang jelas-jelas tidak berkaitan dengan saya sama sekali. Saya menyangkal tuduhan yang tidak masuk akal itu. Tuduhan tersebut merupakan rentetan kebohongan baru yang disebarkan pemerintah Indonesia untuk menjauhkan kesalahan dari pelaku sebenarnya.
Kepolisian Indonesia sangat paham, saya tidak hanya tinggal sejauh 9.000 mil dari Indonesia dan hidup dalam pengasingan di Inggris, tapi saya juga merupakan pemimpin gerakan kemerdekaan yang mencintai perdamaian. Pun, sebagai nominator Nobel Perdamaian, selama ini saya selalu mengadvokasi solusi damai agar warga Papua dapat dengan tenang menjalankan hak dasar mereka untuk menentukan nasib sendiri melalui sebuah referendum kemerdekaan.
Kapolri Badrodin Haiti menuduh “kelompok Benny Wenda” secara langsung bertanggung jawab atas kematian anggota Polri meski dia tahu saya tidak pernah terlibat dalam tindak kekerasan apapun dan tidak memimpin kelompok apapun yang melakukan kekerasan.
Saya sungguh ragu jika Kapolri yakin sayalah yang harus bertanggung jawab atas penyerangan tersebut. Kalaupun dia benar-benar menuduh saya, maka dia sebenarnya sedang berbohong. Saya menyarankannya memeriksa fakta dan kembali belajar.
Menuduh, bagi seorang kepala kepolisian, adalah tindakan yang sangat tidak profesional dan menggelikan. Pada saat anggotanya menerima impunitas setelah membunuh warga Papua, Kapolri seharusnya sangat malu karena secara sengaja mengambinghitamkan seorang pemimpin perdamaian.

Militer dan kepolisian Indonesia memiliki sejarah yang panjang atas berbagai usaha mengaburkan kejahatan hak asasi manusia mereka. Tuduhan terhadap saya ini merupakan cerita lama yang kembali mereka gulirkan.
Saya mengingat dengan baik bagaimana pemerintah Indonesia berusaha membungkam kampanye pembebasan Papua dengan menerbitkan Red Notice atas nama saya kepada Interpol pada tahun 2011. Pemberitahuan itu belakangan diabaikan Interpol karena mereka menganggap itu sangat politis.
Mengapa setelah lebih dari setahun, otoritas Indonesia masih belum menemukan pelaku pembunuhan massal terhadap anak-anak Papua di Paniai, namun di sisi lain dalam 24 jam segera menyalahkan saya atas tewasnya beberapa anggota kepolisian?
Lagi-lagi, warga Papua dibunuh oleh otoritas Indonesia namun pelakunya tidak pernah dihadapkan ke meja persidangan.
Apakah ada keadilan setelah Peristiwa Paniai? Tidak.
Apakah ada keadilan setelah dua pemuda Papua ditembak di Timika 28 September lalu? Tidak ada.
Apakah ada keadilan setelah empat warga Papua ditembak dan disiksa hingga tewas di Yapen pada 1 Desember lalu? Tidak.
Daftar kasus terus bertambah.
Nyawa warga Papua tidak dipersoalkan oleh pemerintah Indonesia, tapi saat aparaturnya tewas, warga Papua segera disalahkan. Faktanya sebagai pembalasan, 50 personel militer dan kepolisian telah diterjunkan ke lokasi tewasnya tiga polisi.
Selain dipersalahkan Kapolri, saya juga diancam oleh Badan Intelijen Negara. Berdasarkan berita media, BIN telah mendeklarasikan pendekatan lunak terhadap Benny Wenda, namun jika saya menolak maka metode lain telah dipersiapkan. BIN menyatakan metode tersebut bersifat rahasia dan tidak dapat dipaparkan ke publik.
Lihat juga:BIN Akan Dekati Tokoh Separatis Papua Benny Wenda
Saya paham bahwa ancaman itu ditujukan untuk menakut-nakuti saya. Tapi saya tidak akan terintimidasi oleh otoritas Indonesia yang telah mengokupasi bangsa dan membunuh warga saya dan kini memaksa saya mengikuti cara kerja mereka.
Setelah ditangkap dan disiksa di Papua karena secara damai memimpin gerakan. Saya melarikan diri dan diberikan jaminan suaka oleh Inggris pada 2003. Di Inggris pulalah saya saat ini tinggal sebagai eksil.
Dengan cara apa BIN akan memaksa dan mendesak saya untuk “bekerja sama?”
Apakah pemerintah Indonesia mengancam akan mencampuri hukum Inggris dan menuntut saya dengan tuduhan palsu lagi? Ataukah metode lain yang disebut itu adalah dengan mengirim tentara Indonesia untuk membunuh saya di Inggris?
Jika BIN ingin saya bekerja sama, maka mereka harus membiarkan warga Papua menjalankan hak dasar mereka untuk menentukan nasib sendiri melalui referendum kemerdekaan sebagaimana diperjanjikan kepada kami pada tahun 1962.
Saya dan warga Papua tidak akan terintimidasi dengan ancaman kejahatan HAM. Pemerintah Indonesia merasa dapat menggertak warga Papua yang telah mendapatkan suaka untuk diekstradisi, dibungkam, dan disiksa lagi.
Indonesia Kecam Penghargaan Benny Wanda
Indonesia mengecam pemberian penghargaan kepada Ketua Persatuan Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP) Benny Wenda, oleh Dewan Kota Oxford, Inggris.
Benny Wenda mendapat penghargaan sebagai peaceful campaigner for democracy alias pengampanye perdamaian untuk demokrasi.
Dikutip dari keterangan Kementerian Luar Negeri, Indonesia menghargai sikap tegas Pemerintah Inggris yang konsisten dalam mendukung penuh kedaulatan dan integritas NKRI.
Karena itu, sikap Dewan Kota Oxford tidak memiliki makna apa pun.
"Indonesia mengecam keras pemberian award oleh Dewan Kota Oxford kepada seseorang bernama Benny Wenda."
"Pegiat separatisme Papua yang memiliki rekam jejak kriminal di Papua," tulis Kemenlu RI, Kamis (18/7/2019).
Indonesia lebih jauh menilai, pemberian award menunjukkan ketidakpahaman Dewan Kota Oxford terhadap sepak terjang yang bersangkutan, dan kondisi Papua dan Papua Barat yang sebenarnya.
"Posisi Indonesia terhadap kelompok separatisme akan tetap tegas. Indonesia tidak akan mundur satu inci pun untuk tegakkan NKRI," tegas pernyataan itu.
Benny Wenda masuk ke Inggris sejak tahun 2002, setelah mendapat suaka dari Pemerintah Inggris.
Sejak itu, tokoh separatis tersebut terus mengampanyekan pemisahkan Papua Barat dari NKRI, melalui kantornya di Oxford.
KBRI London menyatakan, penghargaan itu diberikan kepada orang yang salah.
Lantaran, sosok Benny Wenda merupakan pelaku penggunaan kekerasan dalam mencapai tujuan politiknya.
"KBRI London mempertanyakan dasar pemberian penghargaan tersebut sebagai “peaceful campaigner for democracy” atau pengampanye perdamaian."
"Di tengah banyaknya bukti yang mengaitkan yang bersangkutan dengan berbagai kekerasan bersenjata yang terjadi di Papua," tulis keterangan tersebut.
KBRI London menilai, penghargaan justru akan memberikan legitimasi kepada orang tersebut dan kelompoknya.
Terutama, dalam meningkatkan tindakan kekerasan bersenjata terhadap warga sipil dan aparat pemerintah yang bertugas menjaga Papua.
Bahkan, penghargaan itu merupakan kelanjutan dukungan Dewan kepada gerakan Papua Merdeka.
Setelah, sebelumnya memberi izin pembukaan kantor Free West Papua Campaign di Oxford pada 2013 lalu.
"Pemberian penghargaan kepada orang tersebut juga mengurangi kredibilitas Kota Oxford sebagai salah satu pusat pendidikan terkemuka di dunia," lanjut pesan tertulis itu.
KBRI London berpandangan, pemberian penghargaan dapat menghambat upaya peningkatan kerja sama Indonesia–Inggris, khususnya dengan Kota Oxford.
Terutama, di saat kedua negara tengah merayakan 70 Tahun hubungan diplomatik.
"Dengan tindakan itu, Dewan Kota Oxford kembali melukai perasaan rakyat Indonesia," sebut pernyataan itu. (Tribunmanado.co.id/Rhendi Umar)
SUBSCRIBE YOUTUBE TRIBUNMANADO TV:
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Istana: Benny Wenda Provokator, Aktor Intelektual Aksi Rusuh di Papua