Berita Heboh
Satpam Tewas 30 Menit Setelah Isap Darah karena Digigit Ular Weling, Dokter: Kesalahan Besar
Satpam mulanya berusaha menangkap ular weling atas laporan warga dengan modal sapu.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Dokter menyebut isap darah setelah digigit ular adalah mitos dan kesalahan besar.
Diketahui, seorang satpam di Serpong tewas setelah digigit ular weling (Bungarus candidus).
Satpam mulanya berusaha menangkap ular weling atas laporan warga dengan modal sapu.
Di tengah upaya menangkap, jari kelingking sang satpam tergigit.
Satpam tetap menangkap ular dan memainkannya.
Selang 30 menit, tepatnya pada Selasa (21/8/2019) pukul 19.30, Iskandar sang satpam mulai lemas.
Meski sempat dibawa ke rumah sakit, dia akhirnya meninggal.
Musliman, komandan sekuriti Cluster Michelia Gading Serpong, mengatakan bahwa Iskandar sempat mengisap darah dari bagian yang digigit ular, ternyata nyawanya tak tertolong.
Baca: Wanita Terkaya di Indonesia Ini Ungkap Syarat Jadi Suami 4 Anak Gadisnya: Pertama Harus Takut Tuhan
Baca: Profil Lukas Enembe, Gubernur Papua Jadi Pendukung dan Kini Kritik Jokowi, Ternyata Lulusan Unsrat
Baca: VIRAL VIDEO Perwira Polisi Tampar dan Tendang Anggota Polri -TNI, Ternyata Perayaan HUT
Baca: Ayah Kandung Suntik Anak Gadisnya yang Masih Berusia 14 Tahun Hingga 3 Kali
Baca: DAFTAR Nama Anggota Militer TPNPB OPM, Panglima Tinggi hingga Jenderal Kodap, Tabuni Cs Mendominasi
Kesalahan Besar
Dokter dan ahli gigitan ular dari RS daha Husada Kediri, Jawa Timur, Tri Maharani mengatakan bahwa upaya mengisap darah dari bagian yang digigit ular weling adalah kesalahan besar.
"Bisa ular weling tidak menyebar lewat darah meskipun saat digigit darah kita keluar. Bisa menyebar lewat getah bening," ungkap Tri.
Karenanya, Tri menegaskan bahwa upaya mengisap darah tidak akan mengeluarkan bisa ular yang telah masuk sedikit pun.
Dia mengungkapkan, keberhasilan penanganan gigitan ular yang beredar di media sosial hingga film dengan cara mengisap darah adalah mitos.
"Sama seperti ada orang yang bilang pakai bawang untuk obati gigitan ular, atau pakai micin untuk obati. Itu semua mitos," jelasnya ketika dihubungi Kompas.com, Jumat (23/8/2019).
Baca: Perwira Polwan Kirimi Mahasiswa Papua 2 Dus Miras saat Berdemo
Baca: Ahok dan Puput Nastiti Segera Miliki Bayi, Sahabat Ungkap Jenis Kelamin Anak ke-4 BTP, Kapan Lahir?
Baca: Cara Melupakan Kenangan Bersama Mantan, Buat Kenangan Baru
Jangan Banyak Bergerak
Pakar reptil dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amir Hamidy mengungkapkan, Iskandar sebenarnya memiliki kesempatan besar untuk sintas.
"Pertama karena kita tahu pasti jenis ular yang menggigit. Ular weling. Itu sudah ada antivenom-nya," ungkap Amir.
Salah satu tantangan terbesar dalam penanganan gigitan ular adalah identifikasi jenis yang menggigit.
Pasalnya, kerap kali ular langsung lari setelah menggigit.
"Dalam kasus satpam itu, karena satpamnya juga sempat memegang ularnya, kita sudah tahu pasti. Jadi akan memudahkan penanganan sebenarnya," ungkapnya.
Kematian Iskandar merupakan cermin kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang penanganan pertama korban gigitan ular.
Korban harusnya berusaha bergerak sesedikit mungkin alias diimobilisasi dan dibawa ke rumah sakit setelah mengalami gigitan.
Tindakan menangkap ular dan memainkannya turut berkontribusi pada kegagalan penanganan.
"Bisa dibayangkan gerakan sangat aktif saat menangkap dan memainkan ular. Itu mempercepat penyebaran bisa," kata Amir.
Potensi Selamat
Dr dr Tri Maharani menuturkan bahwa meskipun antibisa ular tidak tersedia, Iskandar sebenarnya tetap berpotensi besar untuk selamat.
"Kita tidak selalu membutuhkan antibisa ular. Bisa ular dapoat dilokalisasi dengan imobilisasi selama 24-48 jam," kata Tri.
Kasus gigitan ular, kata Tri, membutuhkan perhatian. Jumlah kasusnya hingga 135.000 per tahun, bersaing dengan HIV/AIDS dan kanker.
"Ïni tandanya gigitan ular ini adalah penyakit yang harus diberi perhatian," katanya.
"Perlu edukasi tentang penanganan pertama yang tepat di sekolah, masyarakat, dan rumah sakit."
Kasus ini adalah kejadian ke-40 kematian akibat gigitan ular pada tahun 2019.
Penanganan Setelah Digigit Ular Berbisa
Pakar toksinologi dan bisa ular Dr dr Tri Maharani, M.Si SP merupakan satu-satunya dokter dari Indonesia yang turut dalam tim pembuat pedoman penanganan gigitan ular berbisa dari lembaga kesehatan dunia atau WHO.
Dr dr Tri Maharani menjelaskan bisa ular bekerja dengan cara memblok saraf-saraf dalam tubuh, sehingga dapat terjadi kelumpuhan otot yang didukung oleh syaraf tersebut.
Penanganan pertama atau first aid korban gigitan ular menjadi satu hal penting guna mengurangi potensi keparahan yang muncul akibat bisa ular.
First aid dapat dilakukan dengan immobilisasi atau memperkecil gerakan bagian tubuh yang terkena gigitan.
Presiden Toxinology Society of Indonesia ini menegaskan, memijit bagian tubuh yang terkena gigitan dengan tujuan mengeluarkan bisa ular hanya akan memperparah keadaan.
"Karena bisa ular tidak lewat pembuluh darah, jadi kalau dikeluarkan darahnya itu tidak akan mengeluarkan venomnya. Ya venomnya tetap nyebar, korban bisa mati," ujar Tri.
"Tapi venomnya lewat kelenjar getah benging, yang harus dilakukan untuk tidak menyebarkan, dilakukan immobilisasi, dibuat tidak bergerak (bagian tubuh yang tergigit atau meminimalkan gerak anggota tubuh yang tergigit), dan untuk neurotoksin ditambahin pressure bandage," lanjut dia.
Tri menjelaskan, terdapat dua kegunaan pressure bandage immobilisasi. Pressure Bandage Immobilization.
Pertama, pressure compresses lymphatic drainage untuk melambatkan absorbsi venom dalam mikrosirkulasi.
Selain itu, dapat menginhibisi gross muscle movement yang menurunkan intrinsik local pressure dari stimulasi lymphatic dari stimulasi lymphatic drainage.
"Kalau imbolisasi saja maka hanya menginhibisi gross muscle movement yang menuntukan intrinsik local pressure dari stimulasi lymphatic drainage," papar Tri.
Perlu digaris bawahi, first aid yang salah menyebabkan kondisi korban masuk ke fase yang menjadikan organ tubuh rusak dan membutuhkan antivenom.