Breaking News
Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Putusan Sengketa Pilpres

Penjelasan Hakim MK Soal Dalil Pemilih di Bawah Umur, Data Ganda, NIK Kecamatan Siluman

Hakim menerangkan terhadap dalil termohon dan pihak terkait tidak menyampaikan jawaban dan/atau keterangan.

Penulis: Reporter Online | Editor: Rhendi Umar
KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO
Sidang putusan sengketa pilpres 2019 di MK, Jakarta, Kamis (27/6/2019) 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi ikut menjelaskan di persidangan soal dalil pemohon Tim Hukum Prabowo-Sandi soal indikasi kecurangan berupa pemilih di bawah umur, data ganda, NIK kecamatan siluman, dan rekayasa NIK, yang berpotensi penggelembungan suara.

Hakim menerangkan terhadap dalil termohon dan pihak terkait tidak menyampaikan jawaban dan/atau keterangan.

Adapun Bawaslu pada pokoknya menerangkan telah melakukan pengawasan tahapan pemutakhiran data pemilih di 34 provinsi yang pengawasan tersebut dilakukan oleh Bawaslu Provinsi.

"Untuk membuktikan keterangannya Bawaslu mengajukan alat bukti bertanda Bukti PK- 179 sampai dengan Bukti PK-200 berupa dokumen terkait pemutakhiran data pemilih di 22 wilayah provinsi, yaitu Provinsi Aceh, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi
Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Gorontalo, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Papua, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Papua Barat, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Bali, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Maluku Utara, Provinsi
Bengkulu, Provinsi Lampung, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kalimantan Timur, dan Provinsi Jambi," ujar Hakim MK

Baca: Tak Hanya Galih Ginanjar, Deretan Artis Ini Juga Pernah Bongkar Aib Mantan, Karier Nomor 4 Lenyap

Baca: Prabowo Rencanakan Konsultasi Jalur Hukum Lain, Jokowi Sebut Ini Hasil Final Putusan MK, Babak Baru?

Baca: Tak Sesukses Kariernya, Bisnis Kuliner 4 Artis Ini Tutup, Nomor 4 Malah Milik Chef Terkenal

Lebih lanjut dijelaskannya, Pemohon selama proses persidangan telah mengajukan berbagai dokumen yang dimaksudkan sebagai alat bukti untuk mendukung dalilnya, yang diberi tanda Bukti P-146A.

1 sampai dengan Bukti P-146A.30, serta Bukti P-146B.1 sampai dengan Bukti P146B.22.

"Alat bukti dokumen tersebut, berupa tabel Pemohon yang berisi data pemilih di bawah umur, data ganda, NIK kecamatan siluman, dan rekayasa NIK, telah diserahkan oleh Pemohon kepada Mahkamah namun tidak memenuhi syarat pengajuan alat bukti, sehingga Mahkamah tidak mengesahkannya sebagai alat bukti," jelas Hakim MK

Tidak disahkannya alat bukti tersebut oleh Mahkamah menurut hakim karena telah menempatkan dalil Pemohon sebagai dalil yang tidak dibuktikan.

Bahwa dalam kaitannya dengan substansi dalil tersebut, Pemohon mendalilkan adanya “indikasi” kecurangan dalam DPT yang “berpotensi” mengakibatkan penggelembungan suara.

"Menurut Mahkamah, dalil demikian bukanlah dalil yang sempurna karena Pemohon tidak menguraikan lebih lanjut mengenai kecurangan yang dilakukan Termohon dalam kaitannya dengan daftar pemilih,"tambahnya.

Menurut Hakim MK Pemohon seharusnya meyakini terjadinya tersebut dan bukan sekadar menyatakannya sebagai sebuah indikasi, yang justru menunjukkan adanya keragu-raguan pada Pemohon apakah benar terjadi kecurangan tersebut.

"Terlebih lagi seandainya benar terdapat kecurangan terkait daftar pemilih, quod non, Pemohon tidak menguraikan kerugian Pemohon yang diakibatkan oleh kecurangan tersebut,"jelasnya

Bahwa selanjutnya, Pemohon dalam dalil permohonannya juga menyatakan bahwa kecurangan demikian “berpotensi” mengakibatkan 1928 penggelembungan suara.

Populer: Kubu Prabowo-Sandiaga Cari Jalur Hukum Lain untuk Gugat Kembali setelah Terima Hasil Putusan MK

Populer: KABAR TERBARU Guru SMP Nikahi Mantan Murid, Pak Guru: Tak Bisa Diungkapkan dengan Kata-kata

Populer: VIDEO VIRAL Satu Keluarga Kompak Melakukan Pencurian, Ayah Pantau Suasana, Ibu & Anak Beraksi

Namun, sepanjang baru berupa potensi dan belum benar-benar terjadi maka Mahkamah tidak dapat menjatuhkan sanksi kepada siapa pun mengingat potensi penggelembungan suara bisa menguntungkan siapa
saja, baik Pemohon maupun Pihak Terkait.

"Berdasarkan pertimbangan hukum demikian, Mahkamah menilai dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum," jelasnya

Penjelasan Hakim MK, soal Dalil Penggelembungan Suara yang Diajukan Prabowo-Sandi

Sidang sengketa pemilihan presiden ( Pilpres) sudah selesai diputuskan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi ( MK), Kamis (27/6/2019).

Dalam isi putusan hakim tersebut hakim membacakan soal dalil indikasi penggelembungan suara yang diajukan pihak pemohon Calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Dalil penggelembungan suara ditemukan pemohon berdasarkan analisa atas jumlah suara tidak sah yang sangat besar jika dibandingkan jumlah suara tidak sah antara Pemilu DPD dengan Pemilu Presiden.

Salah satu indikasi penggelembungan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah adanya keanehan pada variasi persentase suara tidak sah yang sangat jauh rentang perbedaannya, yaitu antara angka 4,8% hingga yang tertinggi 36,1%.

Menurut Pemohon salah satu mekanisme untuk mengonfirmasi fakta dimaksud adalah dengan cara
membandingkan DPT sesuai penetapan yang sah dari Termohon, seluruh jumlah TPS, suara sah dan tidak sah, serta rekapitulasi seluruh daftar hadir.

Berita Selebritis Tribun Manado:

Baca: Song Joong Ki dan Song Hye Kyo Bercerai, Tagar SongSongCouple Jadi Trending Topic Dunia

Baca: Sekali Tusuk Ratusan Juta, Rahasia Awet Muda Barbie Kumalasari yang Bela Suami Iri Pernikahan Fairuz

Baca: Tak Hanya Galih Ginanjar, Deretan Artis Ini Juga Pernah Bongkar Aib Mantan, Karier Nomor 4 Lenyap

Tak hanya itu menurut Pemohon hal tersebut hanya dapat dibuktikan apabila Mahkamah memerintahkan Termohon membandingkan data tersebut untuk seluruh TPS di seluruh provinsi di Pulau Jawa, provinsi di Pulau Sumatera, provinsi di Pulau Kalimantan, Provinsi Bali, Provinsi NTB, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, tidak hanya terbatas dengan merekap seluruh daftar hadir (Formulir C7).

Tak hanya itu pemohon berpendapat telah terjadi kecurangan Pemilu 1929 yang mengakibatkan penggelembungan dan pencurian suara dengan jumlahnya berkisar antara 16.769.369 suara sampai dengan 30.462.162 suara.

Namun hal tersebut dibantah oleh pihak termohon Jokowi-Ma'ruf.

Mereka menyampaikan jawaban yang pada pokoknya menolak dalil-dalil Pemohon mengenai indikasi adanya penggelembungan suara karena tidak jelas dan tidak berdasar serta tanpa didukung fakta dan bukti.

Pemohon juga tidak mampu menguraikan sama sekali bagaimana Termohon melakukan penggelembungan suara tersebut.

Setelah Mahkamah mencermati secara saksama dalil Pemohon a quo,

Mahkamah berpendapat bahwa dalil adanya penggelembungan suara hanya didapatkan oleh Pemohon berdasarkan analisis terhadap jumlah suara tidak sah dan membandingkan jumlah suara tidak sah pada Pemilu DPD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Baca: Ahok sampaikan Pesan Khusus untuk KH Maruf Amin dan Jokowi setelah Putusan MK

Baca: Home Credit Indonesia Dorong Generasi Muda Kelola Keuangan Lewat Program Literasi Keuangan

Baca: Khamid Nikahi Wanita Asal Inggris Dengan Mahar Al Fatihah, Inilah Kisah Pernikahan Serupa

Menurut Mahkamah analisis yang dilakukan oleh Pemohon tidak didukung dengan bukti yang cukup dan hanya asumsi belaka. Oleh karenanya menurut Mahkamah dalil permohonan a quo tidak beralasan menurut
hukum. (Rhendi Umar/Tribunamanado.co.id)

SUBSCRIBE YOU TUBE TRIBUN MANADO:

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved