Rupiah Berpeluang Menguat: Begini Prediksi Saham Indonesia
Gabungan antara sentimen eksternal dan internal masih akan menopang pergerakan rupiah di awal pekan ini. Jumat (14/6).
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Gabungan antara sentimen eksternal dan internal masih akan menopang pergerakan rupiah di awal pekan ini. Jumat (14/6), rupiah di pasar spot menguat 0,20% menjadi Rp 14.155 per dollar Amerika Serikat (AS). Setali tiga uang, kurs tengah rupiah Bank Indonesia juga menanjak 0,84% ke Rp 14.166 per dollar AS.
Menurut Direktur Garuda Berjangka Ibrahim, sentimen penguatan rupiah masih datang dari pernyataan dovish The Federal Reserve pada pertengahan pekan lalu, di mana ada potensi penurunan suku bunga AS dalam jangka pendek.
Baca: Strategi Sinarmas Land Hadapi Penurunan Bunga Properti
Pada saat yang sama, BI juga memilih mempertahankan suku bunga acuan atau BI 7-Day Repo Rate (BI-7DRR). "Kedua sikap bank sentral ini memengaruhi tren positif capital inflow di pasar keuangan dalam negeri," kata Reny Eka Putri, Ekonom Pasar Uang Bank Mandiri, akhir pekan lalu.
Namun, ia menyatakan bahwa tetap ada sentimen domestik yang dapat menghadang pergerakan mata uang Garuda. Misalnya saja, data neraca perdagangan yang akan di keluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini. Mengingat, neraca dagang masih diprediksi defisit walau tak sebesar bulan April lalu.
Reny pun masih memprediksi rupiah bergerak di level Rp 14.105-Rp 14.2200 per dollar AS. Sedangkan Ibrahim menebak, mata uang Garuda di kisaran Rp 14.070-Rp 14.210 per dollar AS.

Adu Kuat Sentimen Global vs Lokal
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali terkoreksi pada perdagangan akhir pekan lalu. Jumat (21/6), IHSG ditutup turun 0,32% ke 6.315,44. Meski begitu, asing masih melakukan aksi beli pada saham di Indonesia dengan nilai beli bersih sebesar Rp 366,55 miliar pada perdagangan akhir pekan lalu.
Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana menjelaskan, IHSG di awal pekan ini masih rawan terkoreksi. Hal ini lantaran eskalasi perang dagang masih menjadi faktor yang mendominasi dan bisa menjadi pemberat IHSG.
Baca: Pemerintah Diminta Tak Buru-buru Undang Maskapai Asing: Ini Alasannya
Dia memperkirakan, data neraca perdagangan dan ekspor impor berpeluang besar hasilnya tidak sesuai dengan ekspektasi pasar. Jika benar, maka akan mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan tentunya ke bursa saham.
Chris Apriliony, analis Jasa Utama Capital Sekuritas, justru memperkirakan IHSG dapat menguat pekan depan. "Sentimen yang mempengaruhi adalah data neraca dagang Mei 2019 yang akan diumumkan pada Senin ini diperkirakan surplus," kata dia. Hal ini akan mempengaruhi penguatan rupiah.
Chris menambahkan, hasil sidang sengketa Pilpres yang diperkirakan tidak rusuh juga akan menguatkan IHSG. Faktor positif dari dalam negeri lainnya yakni sentimen positif dari insentif pajak yang diumumkan Presiden Joko Widodo.
Karena itu, Chris memproyeksikan, IHSG akan bergerak menguat di rentang 6.240-6.370 pada Senin (24/6). Sedangkan Herditya memperkirakan, IHSG melemah di kisaran 6.220-6.335.

Analis: Kebijakan BI yang longgar jadi sentimen positif saham perbankan
Sikap Bank Sentral Indonesia (BI) yang cenderung dovish atau berpotensi melonggarkan kebijakan moneternya, dinilai mampu memberikan dampak positif bagi saham sektor perbankan jangka panjang. Hanya saja, untuk jangka pendek dampak pelonggaran moneter BI masih akan terganjal kondisi likuiditas ketat.
Dalam rapat bulan Juni 2019, BI memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) di level 6%. Hal tersebut untuk menjaga otot rupiah dan membantu pemerintah menjaga defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) agar tidak melebar.
Kepala Riset PT Samuel Sekuritas Indonesia Suria Dharma menilai, tren kebijakan moneter yang cenderung dovish bisa memberikan sentimen positif bagi sektor perbankan. Apalagi, Suria menilai sejak 2017, kinerja sektor keuangan merupakan satu-satunya sektor yang tumbuh lebih baik dari return Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Baca: Khawatirkan Korban Warga Sipil: Ini Perintah Trump untuk Habisi Pemerintahan Iran
"Issue-nya sekarang adalah likuiditas, karena loan to deposit ratio (LDR) yang telah mencapai 94%," kata Suria kepada Kontan.co.id, Jumat (21/6).
Di sisi lain, dia optimistis pertumbuhan kredit tahun ini bisa mencapai 11% secara industri, dengan risiko kredit macet atau non performing loan (NPL) yang masih cukup baik dan terjaga. Adapun penopang pertumbuhan kredit perbankan 2019, masih datang dari kredit korporasi khususnya infrastruktur dan consumer.
Meski menahan suku bunga acuan, BI memutuskan menambah kebijakan akomodatif melalui penambahan likuiditas. Yaitu menurunkan giro wajib minimum (GWM) rupiah sebesar 50 basis poin (bps) atau 0,5%, baik untuk bank umum konvensional dan bank umum syariah.
Masing-masing rasio GWM rupiah bank umum konvensional dan bank umum syariah saat ini sebesar 6% dan 4,5%. Dengan GWM rata-rata masing-masing tetap sebesar 3%.
"GWM sudah diturunkan 50 bps. Walau enggak besar, tapi lumayan untuk menambah likuiditas hingga Rp 25 triliun ke sistem perbankan," jelasnya.
Suria juga menekankan bahwa potensi BI untuk memangkas suku bunga acuannya di 2019, minimal satu kali cukup terbuka lebar. Ini dilihat dari konsensus Bloomberg yang menunjukkan sebagian besar pelaku pasar meyakini The Fed akan memangkas suku bunga acuannya 25bps di Juli.
Bahkan, kebanyakan pelaku pasar memperkirakan potensi The Fed memangkas suku bunga acuannya tahun ini, bisa mencapai tiga kali. Selain rencana pelonggaran moneter The Fed, perkembangan neraca perdagangan Tanah Air juga menjadi perhatian.
"Untuk saham yang dijagokan hingga akhir tahun ada BBCA (anggota indeks Kompas100) dan BBRI (anggota indeks Kompas100), tapi harganya sudah premium. Jadi pilihan lebih kepada BBNI (anggota indeks Kompas100) yang potential upside-nya masih tinggi," ujarnya. (kontan/Arfyana Rahayu/Yusuf Imam Santoso)