Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Kisah Pria Tua Buta yang Biayai 75 Yatim Piatu dari Hasil Memecah Batu, Sempat Tergoda buat Ngemis

Tak tangung-tangung, sebanyak 75 anak yatim paitu yang hingga kini sudah dibiayai oleh pria berusia 61 tahun itu.

Penulis: Indry Panigoro | Editor: Indry Panigoro
KolaseTribunmanado.co.id/KOMPAS.com/ Ryana Aryadita
Kisah Pria Tua Buta yang Biayai 75 Yatim-Piatu dari Hasil Memecah Batu, Sempat Tergoda buat Ngemis 

Pria itu sehari-hari mencari nafkah sebagai pemecah batu.

Namun, ia bukan pemecah batu biasa.

Sebab, sejak 18 tahun lalu, Sarono kehilangan penglihatannya.

Kendati demikian, indra yang berkurang ini tak menyurutkan semangatnya untuk mencari rezeki halal.

"1999 sudah rabun parah. 2001 itu sudah enggak melihat total. Kadang saya kecebur got, tabrak tiang listrik, tetapi ambil hikmah semua nikmat Allah," ucap Sarono.

16 tahun memecah batu

Pria 61 tahun ini ternyata sejak tahun 2003 menjadi pemecah batu.

Ia memutuskan untuk menjalani pekerjaan tersebut lantaran pekerjaan sebelumnya, baik sebagai pedagang telur asin dan pedagang pisang goreng, tak mendapatkan hasil.

"Dari 2003 saya merenung sambil melamun saya sempat dagang telur asin, pisang goreng, tetapi setelah itu menganggur 3 bulan," kata dia.

Sempat terbesit di pikirannya untuk menjadi pengemis ketika itu. Namun, ia sadar bahwa tubuhnya masih bisa bekerja meskipun satu indranya tak berfungsi lagi.

"Sempat tergoda setan buat ngemis tetapu alhamdullillah enggak tergoda. Pas itu saya lagi pulang, ada tumpukan material saya kepentok jatoh. Saya pegang itu batako, saya berpikir 'Ini kan dari pasir akhirnya saya coba getokin'. Nah itu awal mula bagaimana saya jadi pemecah batu," ujar Sarono sembari mengingat-ngingat peristiwa 16 tahun lalu.

Pak Sarono, tunanetra yang bekerja sebagai pemecah batu untuk biayai 75 anak yatim, Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur.
 

Memutuskan untuk menjadi pemecah batu juga bukanlah hal yang mudah.

Ia sempat mengalami kesulitan pada awal melakukan pekerjaan tersebut lantaran tak ada satu pun pembeli.

"Sudah banyak (pasirnya) tetapi enggak ada yang beli. Terus ada ibu-ibu nanyain ini buat apa, saya bilang ini buat pasir, alhamdullillah dia nawar, dia beli," kata dia.

Sarono mengaku tak mematok harga untuk menjual hasil pecahan batu yang telah menjadi pasir.

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved