Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Gunung Agung Kembali Meletus: Bagi NASA Itu Berita Bahagia Bagi Kehidupan Umat Manusia

Jika warga Bali dan seluruh Indonesia was-was dengan aktivitas Gunung Agung yang kian meningkat, para peneliti dan ilmuwan NASA justru sebaliknya

Editor: Siti Nurjanah
ANTARA FOTO/NYOMAN BUDHIANA
Api membakar hutan lereng Gunung Agung setelah terjadinya lontaran batu pijar dari kawah, terlihat dari Desa Culik, Karangasem, Bali, Selasa (3/7/2018). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi mencatat terjadinya erupsi Gunung Agung dengan tinggi kolom abu mencapai 2.000 meter yang disertai lontaran batu pijar sejauh dua kilometer. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Gunung Agung yang terletak di wilayah Karangasem, Bali, kembali meletus pada Kamis (10/1/2019).

Petugas di Pos Pemantauan gunung api Agung di Desa Rendang menyatakan bahwa erupsi terekam seismograf dengan durasi sekitar 4 menit dengan amplitudo maksimum 22 mm.

Gunung Agung sendiri kini sedang berada dalam status Level III atau Siaga.

Dalam status ini, warga dihimbau untuk tidak beraktivitas dalam radius 4 km yang dianggap sebgaai zona perkiraan bahaya.

Baca: Nama Pemain yang Diincar Persib Bandung, Erwin Ramdani atau Frets Butuan?

Tentu saja kondisi dan status ini membuat warga di sekitar Gunung Agung harus berada dalam kondisi waspada.

Namun jika warga Bali dan seluruh Indonesia was-was dengan aktivitas Gunung Agung yang kian meningkat, para peneliti dan ilmuwan NASA justru sebaliknya.

Menurut mereka, meletusnya Gunung Agung itu berpotensi menyelamatkan dunia dari perubahan iklim.

Kok begitu?

Baca: DBD Meningkat di Sulut, Ada Warga Gunakan Pengobatan Alternatif dari Daun Pepaya hingga Kaki Anjing

Gunung Agung
Sky News
Gunung Agung

Hal tersebut diucapkan pada Februari 2018 silam.

NASA berharap bisa memanfaatkan gunung berapi yang meletus di pulau itu—ya benar, Gunung Agung—untuk mempelajari efek lebih lanjut.

Para peneliti itu berharap, dengan melacak letusan Gunung Agung, mereka bisa tahu lebih banyak tentang bagaimana bahan kimia yang dilepaskan ke atmosfer bisa digunakan untuk melawan perubahan iklim.

Setelah Gunung Agung bangun dari tidur dan kemudian meletus pada akhir November tahun lalu, secara konsisten gunung itu menuangkan uap dan gas ke atmosfer.

Fenomena ini cukup khas meskipun beberapa gunung berapi begitu kuat sehingga bisa menyebabkan apa yang dikenal dengan “musim dingin vulkanik”.

Letusan gunung berapi terbesar dalam sejarah yang tercatat terjadi di Gunung Tambora pada 1815.

Letusan ini menyebabkan “Tahun Tanpa Musim Panas”, menyebabkan turunnya salju di Albany, New York, pada Juni setahun berikutnya.

Baca: Kini Giliran Mucikari ES dan T yang Merasa Dijebak Vanessa Angel

Gunung Agung.
 
Gunung Agung.

Bagi para peneliti, Gunung Agung bisa menjadi kesempatan mereka untuk mengetahui bagaimana gunung berapi mempengaruhi iklim seperti Gunung Tambora.

Penelitian ke Gunung Agung dimulai dengan penerbangan sepuluh jam ketika sebuah gunung berapi di Filipina meletus pada 1991.

Para ilmuwan telah mengambil tren selama letusan skala yang lebih kecil pada 1982 dari gunung berapi El Chichon di Meksiko, tapi tidak ada yang seperti apa yang mereka lihat di Gunung Pinatubo di Filipina yang disebut sebagai letusa terbesar abad ke-20.

Memuntahkan satu kubik mil batu dan abu ke udara dan 20 juta ton gas belerang dioksida ke atmosfer, Gunung Pinatubo tidak hanya menghancurkan masyarakat sekitar tapi sejumlah gasnya yang dikeluarkannya mempengaruhi keseluruhan planet kita.

Ketika Pinatubo meletus, sejumlah besar gas yang dikeluarkan menyebar ke seluruh dunia.

Sejurus kemudian, terjadi reaksi kimia, ketiga gas bercampur dengan uap air yang menghasilkan tetesan “super dingin” kecil yang dikenal sebagai aerosol.

Pada gilirannya, aerosol itu memantulkan dan menyebarkan sinar matahari ke bumi.

Sejumlah besar aerosol memantulkan cahaya yang cukup jauh dari bumi sehingga suhu global rata-rata turun satu derajat Fahrenheit selama beberapa tahun.

Baca: Luna Maya Emosi Gara-gara Ucapan Ariel Noah, Sampai Ditenangkan Melaney Ricardo

Letusan seperti ini, menurut The New York Times, adalah influencer alami bumi.

Para ilmuwan berharap mereka dapat memanfaatkan letusan ini untuk mempelajari peristiwa besar berikutnya—dan berpotensi menyelamatkan planet ini dari serangkaian dahsyat yang mengerikan.

Menurut para ilmuwan itu, letusan Gunung Agung identik dengan Pinatubo. Itulah sebanya NASA berharap bisa mengirim balon ke udara yang dilengkapi perangkat untuk mengukur dampak letusan gunung berapi di atmosfer bumi.

NASA berharap bisa mempelajari efeknya selama bertahun-tahun yang akan datang.

Jika letusan Gunung Api bisa sebesar letusan tahun 1963, ia bisa memompa cukup belerang dioksida ke atmosfer untuk menghasilkan efek pendingin yang signifikan meski pada awalnya akan merusak lapisan ozon.

Tapi masalahnya, para peneliti itu tidak tahu persis kapan Gunung Agung meletus dengan letusan besar. (Moh Habib Asyhad)

Sumber: Grid.ID
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved