Ini Dampak Sosial Bila Anak Bermain Media Sosial Sejak Dini
Berdasarkan data UNESCO, masyarakat Indonesia masih sangat aktif dalam menggunakan media sosial.
Di sisi lain, American Academy of Pediatrics (AAP) baru-baru ini merilis temuan dari studi komprehensif tentang dampak sosial media terhadap anak-anak dan keluarga.
Jejaring sosial sedang meningkat, dan penelitian menemukan bahwa 22% remaja masuk ke situs media sosial favorit mereka lebih dari 10 kali sehari, dan 75% memiliki telepon seluler.
Penyakit ini juga disebut "depresi Facebook" (fenomena baru di mana "berhadapan dengan teman" dan penindasan online mengarah pada gejala depresi), paparan konten yang tidak pantas, dan menulis pesan tentang seks.
Seorang ahli saraf terkemuka dari Inggris, Baroness Susan Greenfield mengatakan sosial media memiliki efek buruk pada kematangan emosional anak-anak, membuat mereka memiliki mental seperti anak berusia tiga tahun.
Menurutnya, terlalu sering menggunakan media sosial dan video game membuat anak-anak tidak dapat berkomunikasi satu sama lain dan berpikir untuk diri mereka sendiri.
Ini terjadi karena mereka terus mencari sesuatu untuk mengalihkan perhatian mereka.
“Apa yang saya prediksi adalah orang-orang akan menjadi seperti anak usia tiga tahun, dalam hal emosional, keberanian ambil risiko, keterampilan sosial yang buruk, identitas diri yang lemah dan fokus yang pendek,” katanya.
Berdasarkan penelitian tahun 2014 dari Virginia University dan Harvard University, para siswa lebih memilih mendapat kejutan elektrik daripada dibiarkan berpikir sendiri tanpa gangguan selama 10 menit.
Menurut Greenfield, riset tersebut menunjukan manusia perlu stimulasi konstan dari lingkungan mereka setiap saat dan tak lagi mampu merenungkan isi pikiran sendiri. Tentu hal ini dapat sangat merugikan bagi anak-anak.
Greenfield juga menambahkan penggunaan perangkat yang berlebihan juga memberi efek jangka panjang pada kepekaan bahasa tubuh untuk membaca, hidup, bekerja, sekolah dan dalam hubungan antar sesama.
Ia juga mengklaim anak-anak yang menggunakan media sosial dan aktif menggunakan perangkat digital rentan menderita depresi dan rendah diri, serta menjadi lebih narsistik.
Oleh karenanya, orangtua harus kembali memperkenalkan kegiatan nyata seperti berkebun, olahraga dan membaca sebagai cara untuk mengurangi waktu anak bermain dengan ponsel dan menstimulasi imajinasi mereka.
Namun, anak-anak membutuhkan contoh yang nyata. Ini berarti orangtuanya harus lebih dulu mampu melakukan detoks digital.
Ahli detoks digital bernama Tanya Goodin menyebutkan, berdasarkan riset, anak-anak yang dijauhkan dari perangkat digital selama seminggu lebih peka terhadap komunikasi non-verbal pada orang lain daripada anak yang aktif bermain gawai.(