Kisah Mengerikan saat Tsunami Menerjang Pulau Jawa Akibat Letusan Krakatau 1883
berikut ini bisa menjadi gambaran betapa mengerikannya tsunami yang terjadi ketika Gunung Krakatau meletus.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Tsunami Banten menimbulkan dampak mengerikan sekaligus duka mendalam, karena selain jumlah korban jiwa yang tak sedikit, ada beberapa pesohor yang turut menjadi korban.
Gunung Anak Krakatau yang diduga menjadi salah satu penyebab dari tsunami Banten memang memiliki cerita kelam sebagai penyebab tsunami.
Artikel berjudul Letusan Gunung Krakatau Lebih Hebat dari Bom Atom yang dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 1983 berikut ini bisa menjadi gambaran betapa mengerikannya tsunami yang terjadi ketika Gunung Krakatau meletus.
Baca: VIDEO Begini Penampakan Jalan Gubeng Surabaya setelah Proses Pengurukan Dinyatakan Selesai
Baca: Andi Drummer Seventeen Akhirnya Ditemukan, Ifan: Kita Bukan hanya Partner Kerja
Baca: Naikkan Harga Roti, Presiden Sudan Terancam Digulingkan Rakyatnya
---
Seorang yang mengalami pribadi kedahsyatan letusan Krakatau dan berhasil mempertahankan hidupnya adalah seorang controleur yang ditempatkan di Beneawang, ibu kota afdeling Semangka, yang letaknya di Teluk Semangka, Lampung.
P.L.C. Le Sueur, pejabat Belanda itu, melaporkan kepada atasannya dalam sepucuk surat tertanggal 31 Agustus 1983 sebagai berikut:
"Pada hari Minggu sore, menjelang pukul empat, sewaktu saya sedang membaca di serambi belakang rumah saya, tiba-tiba saja terdengar beberapa dentuman yang menyerupai letusan meriam.
Saya mengira bahwa residen yang menurut rencana akan tiba besok dengan kapal bersenjata pemerintah mempercepat jadwal kunjungannya.
Saya segera mengumpulkan para kepala adat dan pejabat setempat ke pantai. Tetapi kami tidak melihat ada kapal di laut. Baru saja saya sampai ke rumah, seorang pesuruh melaporkan bahwa air laut mulai naik dan beberapa kampung di pantai sudah tergenang.
Saya segera berangkat lagi untuk menertibkan keadaan di antara rakyat yang mulai panik dan memanggil-manggil nama Allah. Saya menyuruh membawa wanita dan anak-anak ke tempat-tempat yang letaknya lebih tinggi. Air surut lagi dengan cepat, tetapi mulai hujan abu.
Sekitar pukul empat pagi saya dibangunkan oleh orang-orang yang memberitakan bahwa di kaki langit terlihat cahaya kemerah-merahan. Saya merasa khawatir. Pukul enam pagi, hari Senin, saya pergi ke pantai. Permukaan air laut jauh lebih rendah dari biasanya.
Sementara batu karang yang biasanya tak nampak, kini menjadi kering. Selanjutnya saya mendengarkan guruh sambung-menyambung, sehingga saya khawatir bahwa masih ada hal-hal yang lebih mengerikan yang akan menimpa kami.

Setiba di rumah saya menyuruh memanggil Van Zuylen (pembantu saya) untuk menulis rancangan surat kepada residen tentang apa yang terjadi. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat, tetapi cuaca begitu gelap, sehingga lampu-lampu masih menyala.
Sejurus kemudian kata Van Zuylen: "Maaf tuan, untuk sementara saya berhenti menulis saja. Saya merasa gelisah."
Baru saja ia mengatakan itu, ketika kami mendengar ribut-ribut. Laki-laki, perempuan dan anak-anak berlarian sambil berteriak: "Banjir! Banjir!"